Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Ishmah dalam Keterangan Syekh Mufid

1 Pendapat 05.0 / 5

Salah satu cara untuk mengenal hakikat pribadi Nabi Muhammad Saw selain dengan merujuknya langsung pada Al-Quran, sejarah dan riwayat yang mu’tabar, adalah mengenal dengan benar konsep kemaksuman atau ishmah.

Tentunya konsep ini pun tidak muncul secara sembarangan dan begitu saja, melainkan bertumpu pada dalil-dalil naqli seperti ayat Al-Quran dan riwayat, serta dalil aqli atau argumentasi akal.

Dan para ulama dari sejak dahulu telah berupaya menjelaskan makna ishmah tersebut dengan semua penelitian serta kajian yang telah mereka lakukan, sehingga sampai pada kesimpulannya masing-masing.

Oleh sebab itu dapat kita saksikan hingga saat ini, bahwa mereka memiliki perbedaan dalam menafsirkan konsep tersebut. Tentunya perbedaan ini memberikan pengaruh dan efek terhadap kita dalam melihat sosok Nabi. Maka dari itu sudah seharusnya bagi kita untuk mencari kebenaran dalam kasus ini sehingga pengenalan kita terhadap nabi pun menjadi benar pula.

Pada kesempatan kali ini kita akan melihat pandangan Syekh Mufid, salah satu ulama besar yang hidup pada akhir abab ke-4 H, terkait masalah ini. Di dalam kitabnya yang berjudul Awa’ilul Maqalat, ia banyak menjelaskan persoalan-persoalan akidah, salah satunya perihal persoalan ini.

Syeikh Mufid dalam penjelasannya mengenai ishmah, mula-mula ia merujuk kembali pada makna aslinya yang ada di dalam bahasa seperti yang sudah kita bahas dalam kajian sebelumnya. Di sini ia menemukan bahwa ishmah -yang bermakna sesuatu yang dengannya manusia terlindung dari hal lain-, bukanlah bagian dari jenis pekerjaan atau perbuatan, akan tetapi hal itu, sebagaimana ia jelaskan:

Ishmah dari Allah swt adalah taufik yang mana dengannya manusia selamat dari hal yang tidak dikehendaki apabila ia memiliki ketaatan. Hal ini seperti ketika kita memberikan sebuah tali pada seseorang yang dalam kondisi tenggelam supaya ia selamat dengan berpegangan padanya, ketika ia memegangnya maka kondisi itu disebut ishmah baginya disebabkan ia berpegangan dan selamat dari tenggelam, namun apabila ia tidak berpegangan maka tidak dikatakan ishmah..[1]

Dari penjelasannya di atas dapat kita pahami bahwa yang dimaksud ishmah olehnya adalah sebuah kondisi ketika berada dalam ketaatan terdadap Allah swt, sehingga hal ini tidak bisa dikategorikan ke dalam jenis pekerjaan atau perbuatan.

Lebih khusus lagi terkait kemaksuman Nabi, ia menjelaskan:

Sesungguhnya nabi kita, Muhammad Saw di antara orang yang tidak pernah bermaksiat pada Allah Swt dari sejak penciptaanya hingga wafatnya, tidak pernah bermaksud menentang dan mengerjakan dosa atau kesalahan baik dengan sengaja ataupun lupa..[2]

Dari sini bisa disimpulkan bahwa pandangan syekh Mufid terkait kemaksuman nabi atau ishmahnya beliau itu meliputi dosa atau kesalahan baik yang secara sengaja ataupun lupa, bahkan kondisi ini telah ada dari sejak awal keberadaan Nabi hingga wafanya. Wallahu A’lam.

[1] Syekh Mufid, Muhammad bin Muhammad bin Nu’man, Awa’ilul Maqalat, hal: 134 -135.

[2] Syekh Mufid, Muhammad bin Muhammad bin Nu’man, Awa’ilul Maqalat, hal: 62.