Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Nilai Perbuatan Non-Muslim di Hadapan Tuhan (bag 2)

1 Pendapat 05.0 / 5

Hal selanjutnya yang harus dijelaskan sebelum memasuki pokok bahasan, adalah bahwa kita harus membahas perbuatan-perbuatan baik Non-Muslim dengan dua cara, yang pada dasarnya merupakan dua isu. Pertama, menyangkut pertanyaan berikut: Apakah agama yang diterima Allah itu hanya Islam, ataukah ada agama lain yang diterima di sisi-Nya? Dengan kata lain, apakah yang diwajibkan kepada seseorang itu hanyalah beragama dengan agama tertentu, setidaknya agama yang dinisbahkan kepada salah satu Nabi Allah, dan tidak beda antara Islam, Kristen, dan bahkan Majusi? Atau, apakah pada setiap zaman hanya terdapat satu agama hakiki, dan tidak ada yang lain?

Kedua adalah setelah menerima bahwa agama yang benar pada setiap zaman itu hanya satu, maka kita bertanya: Apabila seseorang yang tidak mengikuti satu agama yang benar, tapi berperilaku sesuai dengan tuntutan agama yang benar tersebut, apakah amal baiknya berhak mendapatkan balasan pahala di akhirat? Dengan kata lain, apakah syarat diterimanya pahala amal saleh itu adalah bahwa pelakunya mesti memeluk satu agama yang benar tersebut?

lsu pertama dapat kita jawab secara ringkas bahwa pada setiap zaman, hanya ada satu agama yang benar, dan seluruh manusia harus mengikutinya dan tidak boleh mengikuti agama yang lain. Pemikiran yang berkembang akhir-akhir ini di tengah mereka yang mengaku kaum intelektual “tercerahkan” yang mengatakan bahwa seluruh agama samawi pada setiap zaman memiliki derajat kesahihan yang setara, adalah pemikiran yang rancu. Walaupun, di antara nabi-nabi itu tak ada perselisihan, juga tak ada pertentangan, karena mereka menuju satu tujuan dan menyembah satu Rabb. Para nabi diutus kepada umat manusia bukan untuk memecah belah mereka menjadi golongan-golongan, juga bukan untuk membuat mereka menjadi kelompok-kelompok yang saling bertentangan.

Namun, hal itu tidak berarti bahwa pada setiap zaman bisa terdapat banyak agama yang, dilihat dari sudut kebenarannya adalah sama, lantas manusia bebas memilih di antara agama-agama tersebut. Agama apa pun yang dia pilih, maka tanggung jawabnya untuk memeluk agama yang benar telah selesai. Tidak demikian, yang dimaksud adalah bahwa manusia harus beriman kepada seluruh nabi, di mana para nabi yang terdahulu memberitakan kedatangan nabi yang akan datang, terutama nabi paling mulia dan penutup mereka (Rasulullah Saw), dan bahwasanya nabi yang terkemudian pasti membenarkan risalah para nabi sebelumnya.

Salah satu konsekuensi beriman kepada seluruh nabi adalah tunduk kepada syariat nabi tertentu yang ada pada zamannya. Dan tentu saja, sudah semestinya di zaman terakhir ini manusia harus berperilaku sesuai dengan syariat terakhir yang Allah wahyukan kepada Nabi Penutup ini. lnilah makna Islam, yakni berserah diri kepada Allah dan menerima risalah semua rasul-Nya.

Sekarang banyak orang yang percaya bahwa manusia cukup beriman kepada Allah dan mengikuti salah satu agama samawi yang terbukti berasal dari Allah, serta melaksanakan perintah-perintah agama tersebut. Adapun bentuk syariat dan hukum tidaklah begitu penting. Isa a.s. adalah nabi, dan Muhammad Saw juga nabi. Sekiranya kita beramal sesuai dengan perintah-perintah Isa, pergi ke gereja sekali seminggu, amal kita itu pasti akan diterima. Begitu pula, bila kita mengamalkan perintah-perintah Nabi Muhammad Saw seperti mengerjakan salat wajib lima kali sehari, niscaya amal kita pun akan diterima pula. Mereka beranggapan bahwa yang terpenting adalah beriman kepada Allah dan beramal sesuai dengan hukum-Nya (maksudnya, hukum llahi yang mana pun).

Di antara yang meyakini pendapat seperti ini adalah George Jordaq (penulis buku Suara Keadilan Imam Ali), Khalil Gibran, dan sejumlah pemikir lainnya. Keduanya adalah sastrawan Kristen Lebanon yang termasyhur. Kedua orang ini bercerita tentang pribadi Rasulullah Saw dan Amir Al-Mukminun a.s., persis seperti seorang Mukmin yang meyakini keduanya. Sebagian orang bertanya, bagaimana mungkin mereka meyakini  Nabi Saw dan Imam Ali a.s. padahal keduanya adalah penganut Kristen? Jika perkataan itu benar, niscaya mereka menjadi Muslim, dan apabila mereka tetap sebagai orang Kristen, dapat dipastikan bahwa perkataan mereka terhadap Nabi Saw dan Imam Ali bukanlah keyakinan yang sesungguhnya.

Jawaban kita adalah bahwa kecintaan dan keyakinan mereka bukanlah kebohongan, tapi mereka mengikuti metode berpikir·yang tidak melihat adanya halangan dalam menganut beberapa agama. Mereka juga beranggapan bahwa seseorang tidak wajib beragama dengan satu agama tertentu. Apa pun agama yang diyakini, hal itu sudah dipandang cukup. Dengan demikian, ketika meyakini agama Kristen, mereka pun bisa mencintai Imam Ali a.s. Mereka berkeyakinan bahwa Imam Ali sendiri berpikir seperti mereka. George Jordaq berkata: “Ali bin Abi Thalib enggan mewajibkan seseorang menerima agama tertentu.”

Saya tidak sependapat dengan pemikiran tersebut. Benar, bahwa dalam agama tak ada paksaan, sebagaimana Allah berfirman, Tidak ada paksaan dalam agama… (QS AI-Baqarah: 256), tapi ini tidak berarti bahwa pada suatu zaman terdapat berbagai agama dan setiap orang berhak memilih agama yang diminatinya. Pada setiap zaman, hanya ada satu agama yang benar. Pada setiap zaman, datang seorang nabi yang membawa syariat Allah dan manusia diwajibkan mengikuti dan mengamalkannya, baik menyangkut ibadah maupun masalah-masalah lainnya, hingga berakhir pada periode penutup para nabi. Pada zaman Rasulullah Saw ini, jika seseorang ingin menemukan jalannya menuju Allah, orang tersebut harus mengikuti perintah-perintah agama yang dibawanya.

Al-Quran mengatakan: Dan barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan di akhirat, ia termasuk orang-orang yang merugi. (QS Ali Imran: 85)

Bila yang dimaksud dengan “Islam”dalam ayat ini adalah berserah diri (taslim) kepada Allah, bukan agama terakhir Nabi Muhammad yang dibawa untuk manusia, jawabannya adalah benar bahwa Islam itu artinya berserah diri (taslim) dan agama Islam tak lain adalah agama penyerahan (taslim). Hanya saja, hakikat taslim pada setiap zaman itu memiliki bentuk tertentu, dan bentuknya pada zaman kita adalah agama yang dibawa oleh Nabi Penutup Saw. Karenanya, kata “Islam” itu sendiri hanya sesuai untuk agama Islam ini.

Dengan kata lain, berserah diri (taslim) kepada Allah, pada dasarnya, mengharuskan diterimanya seluruh perintah Allah. Orang tersebut harus mengamalkan perintah-perintah-Nya, dan perintah-perintah-Nya yang terakhir, tak lain adalah agama yang dibawa oleh Rasulullah Saw.

Terdapat dua kelompok yang berpendapat tentang amalan Non-Muslim dihadapan Allah, yaitu ‘intelektual’ dan puritan. Kaum ‘intelektual yang tercerahkan’ dengan tegas menjawab bahwa orang Islam dan bukan Islam, pada dasarnya, tidak berbeda, bahkan seorang muwahhid (penganut tauhid) dan bukan juga tidak berbeda. Setiap orang yang beramal saleh, seperti mendirikan yayasan kesejahteraan, menemukan sesuatu atau menciptakannya, berhak menerima pahala atau ganjaran dari Allah.

Mereka berpendapat bahwa Allah Mahaadil sehingga Dia tak akan mengistimewakan salah seorang di antara hamba-hamba-Nya. Karena, bagi Allah, beriman atau tidaknya seseorang kepada-Nya tidaklah berpengaruh apa-apa, dan Allah tidak  akan menyia-nyiakan perbuatan hamba-Nya semata-mata karena dia tidak beriman dan tidak memiliki keterkaitan dengan-Nya. Lebih-lebih lagi, apabila ada seseorang yang mengenal Tuhannya, mengimani-Nya, dan berbuat baik, tapi dia tidak mengimani para rasul dan nabi-Nya, maka lebih pasti lagi amal salehnya tidak akan sia-sia dan haknya pun tidak akan terhapus.

Berbeda dengan mereka, kelompok puritan secara tegas menentang kelompok pertama. Kelompok ini memandang bahwa seluruh manusia mesti mendapat siksa dan tidak akan ada yang selamat kecuali sedikit saja. Mereka, dengan anggapan tersebut, berdalil bahwa manusia kalau tidak Muslim, pasti Non-Muslim. Yang Non-Muslim jumlahnya tiga perempat penduduk dunia, dan karena mereka bukan orang-orang Islam, mereka adalah penghuni neraka.

Begitulah logika pemikiran kedua kubu tersebut. Yang pertama tidak melihat di alam ini kecuali kedamaian dan keselamatan, sedangkan yang kedua tidak melihat sesuatu di dalamnya selain murka dan dendam kesumat, di mana kemurkaan Allah melebihi rahmat-Nya.

Namun, di hadapan kita ada alternatif ketiga, yaitu logika Alquran yang memberi kita pemikiran yang berbeda dengan dua pemikiran sebelumnya, yaitu suatu pemikiran yang penuh dengan aroma Alquran. Perspektif Alquran tidak sama dengan perspektif kaum “tercerahkan”, dan tidak pula sejalan dengan perspektif kaum ‘puritan ekstrem’.

Alquran membangun perspektifnya di atas dasar yang istimewa. Ketika manusia mengetahuinya, dia akan dipaksa mengakui bahwa satu-satunya pemecahan yaitu yang diberikan oleh Alquran itu, sehingga kita semakin yakin terhadapnya dan menyadari bahwa pengetahuan luhur ini bukanlah berasal dari manusia, melainkan pengetahuan yang memiliki asal-usul samawi.

Bersambung…..