Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Determinasi dan Kehendak Bebas

0 Pendapat 00.0 / 5

Mukaddimah

Selaras dengan penjelasan kami pada pelajaran yang lalu, bahwa Tauhid kepada Allah sebagai Pengaruh Mutlak Yang Mandiri merupakan salah satu pengetahuan yang bernilai tinggi dan berperan besar dalam pembinaan umat manusia. Oleh karena itu, Al-Qur’an sangat menekankan dan menyam-paikannya dengan ungkapan yang beragam sehingga dapat dipahami secara benar. Di antara ungkapan-ungkapan terse-but ialah bahwa setiap kejadian di alam ini terwujud dengan izin, masyi’ah, kehendak, qadha’ dan qadar Allah.

Pemahaman yang benar atas persoalan ini, di samping memerlukan kematangan akal-pikiran, juga membutuhkan kepada pengkajian dan penafsiran yang benar. Mereka yang tidak memiliki pencerahan akal yang semestinya, tidak mau berusaha menimba ajaran-ajaran para imam yang maksum dan penafsir hakiki Al-Qur’an, akan tergelincir dalam menafsirkan persoalan di atas itu sedemikian rupa sehingga menisbahkan segala pengaruh sebab-akibat hanya kepada Allah Swt., sembari menafikan pengaruh apapun dari sebab-sebab dan perantara, padahal penafsiran ini bertolak belakang dengan keterangan Al-Qur’an. Mereka berusaha meyakinkan kita –misalnya- akan kebiasaan (‘adah) Allah yang berlaku pada munculnya panas dari api, atau pada rasa kenyang dan segar setelah makan dan minum. Tanpa kebiasaan Allah, pada dasarnya api, makanan dan air itu tidak punya pengaruh sedikit pun dalam kejadian panas, kenyang ataupun hilangnya dahaga.

Konsekuensi buruk dari penyimpangan ini menjadi lebih jelas apabila kita mengkaji dampak-dampaknya pada tindakan-tindakan bebas manusia dan tanggung jawabnya. Bahwa timbulnya pemikiran ini adalah akibat penisbahan langsung segala tindakan manusia kepada Allah dan mena-fikan manusia sebagai pelaku tindakan dirinya secara mutlak. Atas dasar ini, tentu tidak seorangpun yang akan dimintai tanggung jawab atas tindakannya.

Dengan kata lain, bahwa dampak-dampak buruk pemi-kiran tersebut ialah keyakinan terhadap determinisime (keterpaksaan manusia) dan menampik tanggung jawab. Hal itu berarti menafikan ciri khas manusia yang paling penting, dan tidak bermanfaatnya setiap sistem pendidikan, moral, dan hukum, termasuk juga di antaranya syariat Islam.

Karena, jika kita mencabut kehendak bebas dari diri manusia atas tindakannya sendiri, tentu tidak lagi tersisa tanggung jawab, tugas, perintah, larangan, pahala dan siksa. Bahkan dapat melazimkan sia-sianya sistem alam itu; tanpa tujuan apapun di dalamnya. Sebab, penciptaan alam semesta ini –sebagaimana dijelaskan dalam ayat-ayat dan hadis-hadis serta dalil-dalil rasional– adalah untuk menyiapkan lahan yang sesuai bagi penciptaan manusia agar dapat mencapai kesem-purnaannya dan kedekatan dirinya di sisi Allah swt. sehingga ia layak mendapatkan anugerah-Nya, yaitu dengan cara menjalankan berbagai kewajiban Ilahi secara sadar dan bebas.

Adapun, asumsi bahwa manusia itu tidak memiliki kehendak bebas dan tanggung jawab, ia tidaklah berhak memperoleh pahala, kesenangan abadi dan keridhaan Ilahi. Dengan demikian, tujuan dari penciptaan manusia akan gugur, undang-undang penciptaan itu akan berubah menjadi pentas besar permainan; layaknya boneka yang bergerak dan memainkan perannya tanpa kehendak dan kebebasan pada dirinya, kemudian ia dihujat dan disiksa, atau disanjung dan diganjar mulia.

Faktor terpenting yang memperluas pemikiran yang berbahaya ini ialah ambisi politis pihak penguasa zalim. Mereka menjadikannya sebagai pembenaran atas perilaku busuk mereka, menyiasati rakyat awam untuk menerima pemerintahan zalimnya, dan meredam protes serta penen-tangan mereka. Maka, paham Jabariyah (determinisme) merupakan cara efektif yang utama untuk membius rakyat.

Ada sebagian orang yang sadar akan bahaya Jabariyah, akan tetapi karena tidak memiliki kemampuan untuk menolak paham itu sekaligus komit pada Tauhid yang sempurna, dan tidak berusaha menggali ajaran-ajaran Ahlul Bait yang suci nun mulia, mereka malah jatuh ke dalam paham tafwidh dan Qodariyah (kebebasan mutlak manusia). Mereka menganggap bahwa tindakan bebas manusia itu di luar jangkauan tindakan Allah. Dengan begitu, sebenarnya mereka telah terjebak ke dalam bentuk dalain dari penyimpangan pemikiran, dan telah merenggang jauh dari ajaran Islam.

Sementara mereka yang memiliki kesiapan pengetahuan yang memadai dan mengenal para pengajar dan penafsir hakiki Al-Qur’an, senantiasa terjaga dari penyimpangan-penyimpangan tersebut. Dari sisi lain, mereka percaya bahwa perbuatan mereka itu bersumber dari kekuatan yang Allah berikan kepada mereka, sehingga mereka bertang-gung jawab atas perbuatannya masing-masing. Dari sisi lain, merekapun menyadari adanya pengaruh Allah yang mandiri pada levelnya yang lebih tinggi, sehingga mereka mendapatkan kesimpulan yang jernih.

Di dalam hadis-hadis para imam As yang sampai kepada kita, terdapat keterangan-keterangan brilian mengenai masalah ini, yang tercatat di dalam kitab-kitab hadis di bawah judul “Kemampuan dan Menafikan Keterpaksaan dan Kebe-basan mutlak”. Selain itu juga dicatat di dalam bab-bab; Izin, Masyi’ah, Iradah, Qadha’ dan Qadar Ilahi. Terdapat sebagian hadis yang melarang orang yang minim kesiapan untuk mendalami persoalan-persoalan rumit tersebut, agar mereka tidak tertimpa penyimpangan.

Benar bahwa masalah determinisme dan kehendak bebas ini menyimpan berbagai dimensi. Meski bukui ini tidak relevan untuk mengulas semua dimensi itu, kami akan berusaha membahas beberapa di antaranya, mengingat pen-tingnya masalah ini, tentunya dengan metode yang seder-hana. Perlu kami tekankan pula kepada mereka yang ingin meneliti lebih dalam agar bersabar dan tekun dalam mengkaji dasar-dasar filosofis masalah ini.



Penjelasan seputar Kehendak Bebas

Pada hakikatnya, kemampuan memilih dan mengambil keputusan merupakan salah satu yang begitu gamblang disadari oleh manusia. Karena, setiap orang menyadari kemampuan itu dengan pengetahuan hudhuri (presentif) yang tidak mungkin mengalami kekeliruan. Sebagaimana juga –dengan pengetahuan hudhuri ini– ia dapat merasakan kondisi jiwanya. Seandainya ia ragu akan sesuatu, tentu ia tidak ragu akan keraguannya ini, sebab ia mengetahui kondisi ragunya itu secara hudhuri, dan ia tidak mungkin ragu akan penge-tahuan semacam ini.

Begitu pula, setiap orang dapat menge-tahui –hanya dengan sedikit konsentrasi pada dirinya– bahwa ia mampu berbicara atau tidak. Atau, dia yakin akan kemam-puannya untuk menggerakkan tangannya atau mendiam-kannya. Dia pun mampu untuk menelan makanan atau tidak.

Kehendak untuk melakukan satu perbuatan itu terkadang untuk memenuhi dorongan naluri hewani, seperti rasa lapar yang mendorong seseorang untuk makan dan rasa haus yang mendorongnya untuk minum, atau terkadang untuk meme-nuhi kebutuhan akal dan untuk merealisasikan nilai insani yang mulia, seperti seorang pasien yang meminum obat yang pahit dengan harapan pulih. Untuk tujuan mulia ini, ia rela untuk menahan dirinya dari mengkonsumsi makanan yang ia sukai. Atau pelajar yang meninggalkan kenikmatan duniawi demi memperoleh ilmu dan hakikat kebenaran serta tabah dalam menjalani berbagai kesulitan. Juga seperti prajurit yang gagah berani, sekalipun harus mengorbankan nyawanya demi meraih cita-citanya yang tinggi.

Pada hakikatnya, nilai seseorang itu akan tampak tatkala berbagai keinginannya saling berbenturan. Untuk mencapai kesempurnaan ruhani yang abadi, qurb (kedekatan) dan keridhaan Ilahi, ia akan menepikan hasrat-hasrat hewaninya yang rendah. Dan setiap tindakan yang dilakukannya secara lebih disadari, akan berpengaruh lebih kuat pula dalam penyempurnaan atau mengerdilan jiwanya, serta akan mewu-judkan kelayakan yang lebih besar dalam menerima pahala atau siksa.

Jelas bahwa kemampuan untuk melawan berbagai desa-kan hawa nafsunya tidaklah sama rata di antara semua orang dan dalam kaitannya dengan segala sesuatu. Kendati demi-kian, setiap orang, sedikit-banyaknya, memiliki anugerah Ilahi (kehendak bebas) ini. Dan, semakin ia melatih kemampuan resistensi ini, semakin ia dapat menguatkan kehendak bebasnya itu.

Oleh karena itu, kita sama sekali tidak ragu akan adanya kehendak bebas di dalam jiwa setiap manusia. Dan jangan sampai perkara yang sudah jelas ini dikeruhkan oleh berbagai keraguan. Seperti yang telah kami bahas dalam pelajaran sebelumnya, bahwasanya realitas kehendak bebas itu meru-pakan dasar yang begitu jelas telah diterima oleh semua sistem pendidikan, moral serta agama-agama samawi.

Tanpa kehendak bebas, tidak akan tersisa lagi peluang untuk validitas sebuah hak dan tanggung jawab, sanjungan dan hujatan, pahala dan siksa. Apa yang mengakibatkan kera-guan terhadap hakikat yang jelas serta mengarah kepada paham Jabariyah yaitu munculnya sejumlah keraguan yang harus dijawab secara tuntas. Untuk itu, kami akan berusaha mendiskusikannya secara padat sebagaimana di bawah ini.



Menjawab Jabariyah

Keraguan-keraguan paling serius yang dilontarkan oleh para penganut Jabariyah adalah berikut ini:

Keraguan pertama: kehendak seseorang itu muncul lantaran bangkitnya hasrat-hasrat subjektif dari dalam dirinya. Pada gilirannya, hasrat-hasrat ini bangkit bukan karena kehendak bebasnya, bukan pula karena faktor-faktor dari luar dirinya. Maka itu, tidak ada lagi tempat untuk sebuah pemilihan dan kehendak bebas.

Jawab: bangkitnya hasrat-hasrat itu merupakan lahan penyiap untuk kehendak. Timbulnya kehendak seseorang untuk melakukan suatu tindakan bukanlah kejadian determinatif dari bangkitnya hasrat-hasrat tersebut, sehingga kemampuannya menjadi hilang. Bukti atas hal itu ialah mun-culnya keadaan ragu dan bimbang pada diri manusia dalam berbagai kasus. Dalam keadaan ini, untuk mengambil suatu keputusan, ia perlu merenung, berpikir serta mempertim-bangkan untung ruginya suatu tindakan. Dan terkadang ia menemui kesulitan dalam melakukan semua ini.

Keraguan kedua: telah dibuktikan dalam berbagai disiplin ilmu, bahwa terdapat berbagai faktor yang heterogen yang mempunyai pengaruh dan peranan di dalam membentuk kehendak umat manusia. Faktor-faktor itu seperti keturunan dan pengaruh yang diakibatkan oleh bahan-bahan makanan dan obat-obatan tertentu. Demikian pula faktor-faktor sosial. Sesungguhnya beragamnya umat manusia di dalam tingkah laku dan sifat-sifat mereka itu tunduk kepada faktor-faktor semacam ini.

Yang perlu diperhatikan pula, bahwasanya teks-teks agama itu mendukung -dari dekat ataupun dari jauh, sedikit atau pun banyak- adanya pandangan dan pemikiran semacam ini. Oleh karena itu, tidaklah bisa diterima adanya pandangan yang menyatakan bahwa perbuatan seseorang itu timbul dari kehendak bebasnya.

Jawab: keyakinan terhadap adanya ikhtiar dan kehendak yang bebas itu tidak berarti menolak faktor-faktor ini serta pengaruh dan peranannya. Bahkan hal itu berarti bahwa meskipun faktor-faktor itu telah ada, akan tetapi manusia mempunyai pilihan dan kemampuan untuk melakukan perla-wanan. Ketika terjadi pertentangan di dalam dorongan-dorongan yang bermacam-macam, didapati bahwa seseorang itu mempunyai kemampuan untuk memilih sebagiannya.

Tentunya, faktor-faktor yang dominan akan menjadi sulit untuk dilawan, sesulit memilih suatu pekerjaan yang menentang keinginan-keinginannya. Akan tetapi, perlawanan dan pemi-lihan yang sulit semacam ini akan lebih berpengaruh pada kesempurnaan insani dan pada upaya meraih ganjaran yang berlipat ganda. Sebagaimana pula terkadang sebagian kondisi yang menggoncangkan serta interaksi-interaksi yang tajam, atau sebagian kondisi yang sulit merupakan sebab peringanan siksa atau penurunan tingkat kejahatan.

Keraguan ketiga: bahwa Allah Swt Mahatahu akan segala fenomena dan makhluk di alam semesta. Di antaranya, Allah mengetahui seluruh perbuatan-perbuatan manusia sebelum kejadiannya. Dan pengetahuan Ilahi itu tidak akan salah. Maka setiap fenomena itu pasti akan terjadi sesuai dengan ilmu azali yang abadi dan tidak mungkin bertentangan dengannya. Jadi tidak ada lagi peluang bagi manusia untuk memilih dan berkehendak bebas.

Jawab: pada hakikatnya, pengetahuan Allah itu berhu-bungan dengan setiap fenomena yang sesuai dengan kenya-taannya, dan perbuatan sengaja manusia itu telah diketahui oleh Allah sesuai dengan kenyatannya, yaitu bahwa perbuatan tersebut bersifat disengaja dan dikehendaki. Apabila perbuatan sengaja tersebut terjadi secara deterministik dan tak terpaksa, pengetahuan Allah berarti salah.

Misalnya, Allah Swt. mengetahui bahwa si fulan pada kondisi tertentu akan melakukan suatu perbuatan. Pengetahuan Ilahi ini tidak berhubungan hanya dengan perbuatan itu; terlepas dari berawalnya perbuatan tersebut dari kehendak si fulan itu. Akan tetapi, Allah mengetahui perbuatan itu sebagai sebuah kejadian yang muncul dari kehendak si fulan. Dengan demikian, ilmu Ilahi yang azali itu tidak menafikan kehendak bebas manusia.

Keraguan lain berkaitan dengan masalah qadha’ dan qadar yang –menurut mereka- tidak sesuai dengan kehendak bebas manusia. Dan hal ini akan kita bahas pada kajian mendatang.