Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Ideologi Islam; Perspektif Ruhaniah Masyarakat dan Sejarah

1 Pendapat 05.0 / 5

Dari dua artikel sebelumnya, kita bisa melihat bahwa Murtadha Muthahhari terlebih dahulu memetakan nalar atas masyarakat dan sejarah sebelum menjelaskan perspektif Islam dengan pandangan dunia ilahiahnya. Komprehensifitas agama Islam meniscayakannya untuk memerhatikan dimensi sosial kemasyarakatan yang merupakan bagian dari ideologi Islam. Oleh karena itu, penting sekali kita mengetahui bagaimana Islama memiliki pandangan terhadap masyarakat dan sejarah didasari dengan dalil naqli yaitu, ayat-ayat al-Qur’an. Pada artikel kali ini fokus pembahasan pada pandangan Islam mengenai masyarakat.

Pandangan Dunia Ilahiah; Dasar Ideologi Islam

Kalau kita bicara tentang ideologi Islam, maka pertanyaan selanjutnya adalah Islam yang mana? Karena banyak sekali ideologi yang mengatasnamakan Islam. Ideologi Islam yang dibahas oleh Murtadha Muthahhari adalah ideologi yang memiliki basis pandangan dunia Ilahiah. Pandangan dunia inilah yang kemudian akan mengatur perintah dan larangan dalam tindakannya.

Pandangan dunia ilahiah dapat kita lihat dari misi kenabian Muhammad SAW. Nabi Muhammad SAW memulai misinya dengan pernyataan (hadis Nabi) “Katakanlah, tidak ada Tuhan selain Allah, supaya kamu beroleh keselamatan.”  Kalimat “tiada Tuhan selain Allah” memiliki beberapa makna. Setidaknya Muthahhari menyebut ada tiga makna yang terkandung dalam kalimat tersebut.

Makna pertama, Kesadaran keberadaan Tuhan (tauhid). Kesadaran ini akan menghantarkan individu hingga masyarakat pada kesadaran akan keberadaan diri mereka di dunia ini. Kesadaran ini menjadi pondasi, dasar bagi bangunan sistem kemasyarakatan yang akan dibangun. Makna kedua ialah, kesadaran akan eksistensi dirinya dan kemanusiaannya. Setelah menyadari akan keberadaan Tuhan, manusia perlu menyadari bahwa dirinya merupakan manifestasi Tuhan. Di mana Tuhan telah berfirman dalam al-Qur’an “Dan aku tiupkan ke dalamnya, ruhku.”. Maka, manusia dipahami sebagai makhluk yang memiliki ruh di dalamnya dan masyarakatpun sebagai kumpulan dari manusia memiliki ruh juga. Ruh masyarakat.

Makna terakhir yang disebut Muthahhari dari pernyataan Nabi di atas ialah, kesadaran hak dan tanggungjawab kemasyarakatan. Hal ini diperkuat oleh ayat ke 75 surah an-Nisa yang berbunyi: “Mengapa kamu tak berjuang demi Allah sedang si tertindas di antara laki-laki, perempuan dan anak-anak, berkata: “Ya Tuhan Kami, keluarkanlah Kami dari kota ini yang orang-orangnya penindas dan berilah Kami pelindung dari sisi Engkau dan berilah Kami penolong dari sisi Engkau.””. (Q.S. An Nisa ayat 75).

Menurut Muthahhari, ayat tersebut di atas bertumpu pada dua nilai keruhanian untuk menggerakkan jihad. Nilai pertama, keniscayaan berjuang di jalan Allah. Nilai kedua, tanggungjawab manusia untuk menyelamatkan orang-orang tak berdaya dari cengkraman para penindas. Dengan demikian, ideologi Islam sebagai sebuah sistem kemasyarakatan didasari oleh tiga kesadaran. Kesadaran akan Tuhan, kesadaran tentang eksistensi manusia dan kemanusiaannya serta kesadaran akan tanggungjawab kemasyarakatan.

Masyarakat; Sebuah Entitas Ruhaniah

Hakikat masyarakat dalam Islam menurut Murtadha Muthahhari, bukanlah suatu komunitas tertentu, bukan satu ras saja, bukan satu jenis warna kulit saja. Karena hakikat masyarakat bukan berdasarkan hal-hal empiis tersebut, melainkan berdasarkan ruhaniahnya yaitu, keterhubungan dirinya dengan Tuhannya. Dengan demikian, bentuk masyarakat Islam ialah, masyarakat yang memiliki kepasrahan pada Tuhan, manusia yang menyerahkan dirinya pada kebenaran akal dan wahyu.

Hal ini diperkuat oleh ayat al-Quran yaitu, “Sungguh, Allah tak mengubah keadaan satu kaum sehingga mereka mengubah yang ada pada diri mereka sendiri”. (Q.S. Ar Ra’d ayat 11). Ayat ini menegaskan bahwa perubahan suatu masyarakat didasari oleh perubahan jiwanya, mentalitasnya. Maka, bukan fisiknya yang menjadikan suatu masyarakat berubah, tetapi yang lebih mendasar dari itu yaitu, ruhaniyahnya.

Menurut Murtadha Muthahhari, pandangan Islam bahwa hakikat masyarakat adalah dimensi ruhaninya, juga bisa dilihat dari bagaimana Islam mengisyaratkan faktor-faktor jatuh-bangunnya sebuah masyarakat melalui ayat-ayat a-Qur’an sebagai berikut:

    Keadilan dan Kezaliman

Jika terjadi penindasan pada suatu masyarakat hal ini akan membawa kehancuran masyarakat itu sendiri. Seperti penindasan yang dilakukan oleh Fir’aun terhadap bayi laki-laki. Fir’aun membunuh setiap bayi laki-laki yang lahir dan membiarkan bayi perempuan hidup. Terlepas dari faktor yang melatarbelakangi penindasan ini, tindakan tersebut membuat ketidakseimbangan dalam masyarakat hingga membentuk dua kelompok yang saling bertentangan. Tindakan Fir’aun dapat kita rujuk pada ayat 4 dari surah a-Qashshash, yaitu:

“Sungguhz Fir’aun telah meninggikan dirinya di bumi dan menjadikan penduduknya berkasta-kasta, dengan menindas satu golongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka, dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sungguh, ia termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.”(Q.S. Al-Qashash ayat 4).

Keadilan dan kezaliman adalah sebuah dorongan dalam kedalaman diri manusia yang kita sebut sebagai jiwa. Penindasan yang dilakukan oleh Fir’aun tak lain merupakan dorongan hasrat kuasanya terhadap segala sesuatunya.

    Persatuan dan Perpecahan

Murtadha Muthahhari menegaskan bahwa faktor lainnya sebuah masyarakat itu jatuh adalah perpecahan dan sebab dari masyarakat bersatu adalah persatuan. Persatuan abadi yang dapat mengikat sebuah tali persaudaraan adalah bersatu atas dasar keimanan, bukan atas dasar kebutuhan material. Oleh karena itu, dalam sistem ideologinya, Islam memerintahkan manusia untuk bersatu memegang teguh tali Allah dan melarang masyarakat untuk saling bercerai berai. Hal ini dapat dilihat dalam surah Ali Imran ayat 103 yang berbunyi:

“Dan berpegangteguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliah) bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu, sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara, sedangkan (ketika itu) kamu berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari sana. Demikianlah, Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu mendapat petunjuk.” (Q.S. Ali Imran ayat 103).

Persatuan yang abadi adalah persatuan hati, bukan materil.

    Pengamalan dan Pengabaian Amar Makruf Nahyi Munkar

Amar Makruf Nahyi Munkar di dalam Islam adalah sistem ideologi yang sangat jelas. Di dalam Islam dipertegas sekali mana yang menjadi perintah dan mana yang dilarang. Setiap penganutnya harus mengikuti aturan yang berlaku di dalam Islam baik dari segi akidah, hukum maupun akhlak. Pengabaian terhadap prinsip ini akan membuat sebuah masyarakat Islam akan hancur. Namun untuk membahas lebih jelas dan terperinci dibutuhkan pembahasan khusus.

Setidaknya Muthahhari mencontohkan sikap Bani Israil yang melecehkan kewajiban melarang orang lain berbuat kejahatan. Hal ini dapat dilihat dalam ayat 79 surah al Maidah, yaitu:

“Mereka saling tak melarang tindakan mungkar apapun yang mereka perbuat.” (Q.S. Al- Maidah ayat 79).

Di dalam Islam, Amar Makruf Nahyi Munkar sangat berurusan dengan jiwa manusia. Segala perintah dan larangan yang diatur di dalamnya tidak lain adalah jalan bagi jiwa untuk mendapatkan kestabilannya. Stabilitas jiwa didapatkan karena adanya koneksi dengan Allah SWT.

Dari tiga faktor penyebab jatuh-bangunnya suatu masyarakat di dalamnya semua tergantung bagaimana kualitas jiwa suatu masyarakat tersebut dibangun. Jiwa adalah dimensi dari ruhaniyah yang ada di dalam diri manusia.

Kesimpulan yang bisa kita ambil di sini, bahwa sistem masyarakat Islam dibangun berdasarkan hakikat masyarakat itu sendiri yaitu, dimensi ruhanuyahnya bukan materil atau bendawinya.