Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Konsepsi Kausalitas dan Urgensinya

1 Pendapat 05.0 / 5

Konsep kausalitas merupakan konsep yang cukup sentral dalam perbincangan ilmiah dan filsafat. Terutama tema ini berkaitan dengan asal-usul alam semesta, dan pada gilirannya mengenai status keberadaan manusia. Dalam percakapan sehari-hari kita nyaris kita tak dapat keluar dari rezim pengetahuan kausasi dalam melihat suatu hubungan-hubungan di alam maupun fenomena sosial kita.

Misal kita berkeyakinan bahwa fenomena kenakalan remaja adalah lantaran diakibatkan oleh pendidikan keluarga yang lemah. Sementara pendidikan keluarga yang lemah adalah pula sebagai akibat dari minimnya pengetahuan mengenai asas, pola dan sistem pendidikan itu sendiri. Sehingga seakan-akan pendidikan diserahkan begitu saja pada lembaga-lembaga pendidikan.

Maka kausalitas dimengerti sebagai keterkaitan antara satu fenomena dengan fenomena yang lain. Kita dapat bayangkan bila tak ada konsepsi kausalitas dalam pikiran kita. Maka seluruh tatanan fenomena, kejadian, peristiwa hanya akan terlihat sendiri-sendiri, meskipun berurutan tapi tak saling terkait satu sama lain. Lebih dari itu, pikiran kita tidak akan mungkin bergerak dan berkembang. Karena perkembangan suatu pemikiran baik pada ranah sains, keagamaan, sosial, hukum ekonomi atau politik bertumpu pada suatu penyelidikan akan sebab-sebab yang memungkinkan suatu fenomena mewujud.

 

Kedudukan dan Proses Terbentuknya Konsep Kausalitas

Secara konsepsi, kausalitas berciri rasional, ia merupakan konstruksi akal pikiran dalam menangkap hubungan kebergantungan pada realitas. Kemampuan akal pikiran dalam hal ini lantaran ia memiliki potensi-potensi konseptual tertentu yang mampu melahirkan konsepsi-konsepsi baru yang tak lagi berciri ilmiah-inderawi. Penerimaan akan kemampuan akal–yang tidak sekedar sebagai alat pengetahuan–sebagai sumber pengetahuan (rasional) jelas merupakan anti-tesis dari pandangan empiris yang tak mengakui kemampuan rasio dalam melahirkan konsep di luar ikatannya dengan obyek indrawi.

Namun begitu, kaum rasional dalam konteks afirmasinya terhadap rasio sebagai sumber pengetahuan paling tidak terbagi menjadi dua mazhab utama: Cartesian-Kantian dan Disposesi (yang dianut umumnya oleh filsuf muslim). Cartesian-Kantian menerima keberadaan prinsip-prinsip niscaya yang berciri rasional, termasuk konsepsi kausalitas, namun prinsip tersebut telah menjadi nature (bawaan: inate idea) dalam pikiran tanpa kaitan terlebih awal dengan obyek alam melalui persepsi inderawi. Berbeda dengan itu, mazhab disposesi (nadhariah intiza’) memandang bahwa prinsip niscaya-aksioma akal berupa kausalitas tak serta merta aktual dalam pikiran, ia mesti terkait terlebih dahulu dengan persepsi akan obyek.

Perbedaan dua kerangka epistemologis di atas sudah barang tentu akan berimplikasi pada pertanggungjawaban obyektivitas konsep. Secara sederhana dapat kita persoalkan, apakah arti nilai suatu prinsip-prinsip niscaya rasional kausalitas yang telah berdiri di alam pikiran sebelum atau tanpa keterkaitannya di alam obyektif? Apa makna sebab sebagai sebab tanpa keterkaitannya dengan realitas/fenomena yang disebut sebagai sebab? Soal demikian sejak awal justru telah diantisipasi oleh pandangan disposesif yang mempertautkan hubungan konsep kausalitas dengan persepsi akal atas obyek. Yakni bahwa prinsip-prinsip rasional niscaya merupakan konsepsi yang lahir atas sorot pandang akal akan konsep (persepsi)yang muncul dalam dirinya.

Dalam pandangan Disposesi, alam obyektif yang dipersepsi secara inderawi dengan rasio sendiri sebagai sumber konsepsi memang berbeda dalam konteks sumber pengetahuan, sebagaimana juga diyakini oleh kaum rasional. Namun perbedaan sumber antara alam dan rasio merupakan suatu perjalanan akal berupa tahapan pengetahuan yang bergerak linier. Mula-mula akal membentuk pengetahuan empiris lalu dengan kapasitas rasionalnya ia mengkonstruksi konsep-konsep baru yang kelak membentuk prinsip-prinsip niscaya dalam berpikir.

Itu sebabnya ide rasional kausalitas untuk pertama kalinya muncul (dikenal dalam benak) berdasar kehadiran sejumlah konsepsi (tasawwur) dalam jiwa. Artinya dengan sepenuh sadar, jiwa kita menyadari kehadiran pengetahuan (sebagai akibat), dimana kehadiran ini tiada lain bertumpu pada keberadaan diri itu sendiri (sebagai sebab-internal). Terlebih bahwa jiwa pun dengan sepenuhnya menyadari bahwa kehadiran konsepsi bukanlah rekayasa alam mental dalam menciptakan konsep tersebut secara sengaja. Sehingga dengan begitu sudah terang kehadiran konsepsi dalam benak membutuhkan sebab eksternal sebagai obyek persepsi.

 

Urgensi Kausalitas

Baqir Sadr dalam karyanya ‘Falsafatuna’, menyebut tiga perkara penting yang ketiga-tiganya bergantung pada prinsip kausalitas. (1) pembuktian realitas obyektif dari persepsi indera, (2) seluruh teori dan hukum sains yang didasarkan pada eksperimen, (3) kemungkinan penarikan kesimpulan-kesimpulan dalam bidang filsafat (metafisika) dan sains apapun.

Pada ranah pembuktian realitas obyektif dari persepsi indera misalnya, kita dapat memperhatikan bahwa persepsi inderawi sebagai gambaran pikiran akan sesuatu obyek tak bernilai obyektif, persis karena ia hanya gambaran alam mental yang tak berciri material. Maka mengaitkan ia pada realitas sebagai subyek yg digambarkan membutuhkan konstruksi nalar kausalitas, dimana pikiran kita menyadari bahwa persepsi tersebut adalah sebagai akibat yang memiliki sumbernya di realitas sebagai sebab. Adakah mungkin kita mempersepsi sesuatu secara indera tanpa adanya sesuatu tersebut? Pertanyaan ini akan memperkuat kita akan kepastian nilai niscaya konsepsi kausalitas.

Dapat kita kemukakan, bahwa bahkan dalam hal yang sifatnya sederhana: persepsi indrawi. Terdapat peran rasio dengan prinsip-prinsip rasional niscayanya yang meyakinkan diri kita bahwa ada realitas obyektif yang berdiri independen di luar pengetahuan. Karena itu kesadaran yang dibangun adalah kesadaran realis yang selalu apresiatif dan afirmatif pada kenyataan sehingga menghindarkan manusia dari jebakan-jebakan idealistik-fantasional yang terkurung oleh pikirannya sendiri.

Begitu pula dalam dunia sains, dimana amat sangat bertumpu pada eksperimen. Seorang peneliti di dalam disiplin-disiplin pengetahuan saintifik dalam upaya melahirkan suatu teori amat bergantung pada suatu penelitian yang berupa eksperimen. Misalnya, seorang peneliti medis yang berusaha menemukan obat penangkal virus berupa vaksin, di dalam pikirannya yang terdalam mesti harus terdapat kepercayaan pada prinsip kausalitas, bahwa ada sekian bahan-bahan (mungkin berupa cairan) yang memungkinkan dapat menangkal menyebar atau beraksinya suatu virus. Dan justru atas keyakinan demikian suatu penelitian-eksperimen menjadi mungkin dilakukan.

Kesimpulan

Manusia tidak saja bernalar dengan kausalitas namun mampu mengembangkan sistem kausalitas pada tataran teoritis, sehingga mampu sampai pada keharusan akan adanya wujud mutlak sebagai sumber dari segala yang maujud. Dan konsep kausalitas nantinya tidak saja berkisar pada dunia obyektif material tapi juga dapat menjadi fondasi untuk menyingkap pola-pola metafisik sehingga dapat memberi makna yang luas akan hakikat kehidupan.