Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Marah: Antara Yang Dicela Dan Yang Dibolehkan

1 Pendapat 05.0 / 5

Banyak riwayat dan hadis yang menyatakan bahwa marah adalah perbuatan tercela dan berlawanan dengan norma agama, dan Islam menyarankan agar kaum Muslimin menjauhi sifat ini. Kali ini, beberapa riwayat tentang marah yang merupakan kunci dari keburukan adalah sebagai berikut:
Imam Shadiq as. berkata, “Marah adalah pintu segala keburukan.” (al-Bihâr, juz 73, bab 132, hadis ke-4)

Imam Ali as. pernah berkata, “Marah adalah keburukan. Jika engkau lepaskan, ia akan membinasakan.” (al-Mustadrak, juz 12, bab 53, riwayat no. 13376)
Beliau juga berkata, “Marah akan menghancurkan pelakunya dan membongkar cela-celanya.” (al-Ghurar, juz 2, h.31)

Beliau berkata, “Marah memunculkan dendam kesumat.” (al-Ghurar, juz 2, h.155)
Dalam riwayat lain di bawah ini marah dinyatakan sebagai penyulut api.
Rasulullah saw. bersabda, “Marah adalah sulutan api setan.” (al-Bihâr, juz 73, bab 132, hadis 15)

Imam Ali as. berkata, “Marah adalah api yang menyala. Barangsiapa menahannya berarti telah memadamkannya dan barangsiapa melepaskannya maka dialah yang pertama menyulutkan api dengannya.” (al-Mustadrak, juz 12, bab 53 riwayat no. 13376)
Beliau juga berkata, “Waspadalah terhadap marah! Sesungguhnya marah adalah salah satu tentara besarnya iblis.” (al-Bihâr, juz 32, bab 29, hadis ke-707)
Dalam riwayat lain, marah adalah bagian dari kegilaan. Imam Ali as. berkata, “Jauhilah marah! Karena marah awalnya gila dan akhimya adalah penyesalan.” (al- Mustadrak, juz 12, bab 53, riwayat no. 13376)

Beliau pernah berkata, “Marah adalah bagian dari gila. Sebab, pelakunya akan menyesal dan jika tidak menyesal, maka kegilaannya semakin kuat.” (al-Bihâr, bab 132, hadis 20)
Dan beliau berkata, “Marah dapat merusak akal dan jauh dari kebenaran.” (al-Mustadrak, juz 12, bab 53, riwayat no. 13376)
Begitu pula, Imam Shadiq as. pernah berkata, “Sesiapa yang tidak pernah mengalahkan kemarahannya niscaya tidak pernah mempunyai akalnya.” (al-Bihâr, juz 73, bab 132, hadis ke-33)

Setelah kita mengetahui dari riwayat hadis-hadis, bahwa marah adalah perbuatan buruk dan hina, pada bagian lain menahan marah merupakan perbuatan yang berkesan dan terpuji. Imam Ali berkata, “Penguasa yang terbaik adalah yang mampu menguasai kemarahannya.”

Beliau juga berkata, “Orang yang paling mampu berjalan dan berkata yang benar adalah orang yang tidak pernah marah.”
Atau beliau berkata, “Menanglah atas setan bagi orang yang mengalahkan kemarahannya dan menanglah setan atas orang yang dikuasai oleh kemarahannya.” (Ghurar al-Hikam, juz 2, h.274)
Imam pernah berkata, “Marah adalah musuh maka jangan sampai ia menguasai dirimu.”
Beliau berkata pula, “Sesiapa yang dikalahkan oleh kemarahan dan hawa nafsunya maka ia tergolong binatang.”

Dalam riwayat lain, orang yang mengalahkan kemarahannya adalah manusia yang terkuat. Rasulullah saw. bersabda, “Orang yang kuat bukan orang yang jago gulat tetapi orang yang kuat adalah orang yang dapat mengendalikan dirinya di saat marah.” (al-Bihâr, juz 77, bab 7, hadis ke-l)
Beliau pernah bersabda, “Yang benar-benar pemberani, yang benar-benar pemberani, yang benar-benar pemberani adalah orang yang sedang marah, ia geram sekali dengan mukanya yang merah padam serta tubuhnya bergetar, kemudian ia melumpuhkan kemarahannya.”
Imam Ali as. berkata, “Orang yang paling kuat adalah orang yang kuat menahan marahnya.”

Imam Baqir as. pemah berkata, “Tiada kekuatan seperti menahan marah.” (al-Bihâr, juz 78, bab 22, hadis ke-l)
Berikut ini adalah sebuah kisah yang disadur dari sejarah kehidupan Rasulullah saw.
Seorang Arab badui datang berkunjung ke Madinah dan menemui Rasulullah untuk mendengarkan pesan dan nasihat beliau. Kepadanya, Nabi bersabda, “Jangan marah!” Rasulullah mengatakan tidak lebih dari itu dan orang itu mengatakan, “Aku merasa puas dengan kata yang singkat ini.” Ketika ia telah kembali ke kampung halamannya, ia mendengar bahwa karena kebodohan sebagian orang dari sukunya yang merampas harta milik suku lain, terjadilah pertikaian, pertentangan, dan dua kabilah itu saling bertikai, beradu, dan melukai satu sama lain. Mendengar berita itu, ia langsung melompat, menyandang pedang dan siap berperang. Namun di tengah kondisi seperti itu, ia teringat pesan Rasulullah saw. yang mengatakan, “Jangan marah!” Karenanya ia berpikir, “Mengapa mesti mengumbar kemarahan, bertikai dan saling membunuh?” Setelah merenungkan, lalu ia berdiri di hadapan kepala-kepala suku lawan dan mengusulkan, “Bagi semua yang dirugikan dan dilukai, maka ia harus mendapatkan ganti rugi dari pelakunya dengan hartanya dan tidak harus menumpahkan darah seperti ini!”

Mendengar usulan orang itu, maka kemarahan pihak lawan menjadi reda. Dan mereka mengatakan, “Kami juga memiliki kemuliaan yang telah Anda katakan itu, karena itu kami juga akan menyampaikan kebenaran kami.” Begitulah yang terjadi, bahwa sabda Rasulullah saw. yang amat singkat itu telah mematikan api peperangan dan permusuhan yang sedang berkobar.

Dari riwayat ini, maka marah ada dua sisi. Yang pertama adalah marah itu perbuatan tercela, dan yang kedua mengendalikan marah adalah perbuatan terpuji. Ada juga sisi yang ketiga, yaitu anjuran marah dan orang yang menampakkan kemarahannya. Namun, riwayat tentang ini haruslah diperhatikan bahwa marah macam ini mempunyai alasan dan tujuan, yaitu marah yang benar dan di jalan Allah swt.

Tentang marah macam ini, Imam Ali as. berkata, “Barangsiapa yang mengasah senjata kemarahannya karena Allah niscaya akan mampu mengalahkan orang-orang kuat yang batil.” (al-Bihâr, juz 71, bab 89, hadis ke-6)
Beliau juga berkata, “Sesiapa yang bermusuhan dengan orang-orang fasik dan marah karena Allah niscaya Allah akan marah karenanya dan meridhainya di hari kiamat.” (al-Bihâr, juz 68, bab 27, hadis ke-17)
Ketika Imam menyampaikan salam perpisahan dan mengantarkan Abu Dzar di saat ia akan diasingkan dari Madinah, beliau berkata kepadanya, “Wahai Abu Dzar! Engkau marah karena Allah maka mohonlah kepada yang karena-Nya engkau marah! Sesungguhnya orang-orang takut kepadamu karena dunia mereka, sedangkan engkau takut karena agamamu, maka tinggalkanlah apa-apa yang di tangan mereka yang mereka takut kepadamu karenanya. Dan menjauhlah dari mereka karena takutmu atas agamamu. Alangkah butuhnya mereka kepada sesuatu yang engkau cegah diri mereka, dan alangkah cukupnya engkau dari apa yang mereka cegah dirimu. Kelak engkau akan tahu siapa yang beruntung dan siapa yang paling rugi. Seandainya langit dan bumi tertutup bagi seorang hamba, kemudian ia bertakwa kepada Allah, maka Allah akan memberikan jalan keluar baginya. Dan sungguh tiada yang dapat menyenangkan hatimu kecuali kebenaran dan tiada yang mengkhawatirkan melainkan kebatilan, andai engkau rela dengan dunia mereka niscaya mereka akan selalu mencintaimu dan andai engkau mempunyai utang dunia kepada mereka niscaya mereka akan melindungimu.”
Nabi Musa as. dalam munajatnya, bertanya, “Siapakah kerabat-Mu yang Engkau lindungi di bawah ‘Arsy-Mu di hari tiada perlindungan melainkan perlindungan-Mu?”
Allah swt. berfirman, “Orang-orang yang marah di kala larangan-larangan-Ku mereka halalkan, laksana macan di kala terluka.” (al-Bihâr, juz 13, bab 11, hadis ke-42)
Dari riwayat ini, maka dapat disimpulkan bahwa kekuatan emosional yang Allah karuniakan kepada manusia berguna agar kita mampu menjaga keutuhan, kehormatan, dan kemuliaan agama. Oleh karena itu, kita harus memanfaatkan kekuatan ini untuk melawan orang-orang yang menentang agama dan ajaran suci Nabi. Dalam rangka mernbela urusan ini, kita harus memanfaatkan sifat marah dengan sebaik-baiknya. Seorang Muslim sadar bahwa dirinya tergadai oleh nikrnat-nikmat Allah dan mendapatkan kemuliaan dari agama Allah, maka pada hakikatnya musuh Allah adalah musuh dirinya dan orang yang menentang hukum dan agama Allah berarti orang menentang kehormatan dirinya. Karena itu, seorang Muslim dalam semua kondisi di saat agama Allah dikecam dan hukum-hukum agama ditentang, dalam kondisi apapun, orang-orang mukmin ditugaskan oleh Allah untuk membelanya. Mereka memperlihatkan kemarahan mereka karena Allah memberi perintah kepada Nabi-Nya saw. agar bersikap keras dan marah terhadap orang-orang munafik dan kafir. Firman Allah, “Wahai Nabi! perangilah orang-orang kafir dan munafik, dan bersikaplah keras terhadap mereka.” (QS at-Taubah:73)
Demikian halnya salah satu sifat orang-orang mukmin dalam Al-Quran disebutkan, “Bersikap keras terhadap orang-orang kafir.” (QS al-Fath:29)
Adapun bersikap marah dan dendam terhadap saudara seagamanya adalah perbuatan tercela dan dilarang. Pada riwayat di bagian pertama, hal tersebut telah kami paparkan, yaitu yang menerangkan bahwa orang-orang mukmin diperingatkan agar dalam bentuk apapun tidak bermusuhan satu sama lain.
Setelah kita mengetahui bahwa marah diperbolehkan hanya terhadap para musuh, dan tidak terhadap orang-orang mukmin, berikut ini, kita ketengahkan bagaimana pandangan Islam tentang sikap dalam menghadapi perilaku kawan dan saudara seiman yang menyimpang.

Sebagaimana tersebut di atas, dalam hal ini Islam memberikan pandangan bersabar, memaafkan, dan menahan marah. Menurut Islam, untuk menghadapi banyak perselisihan dan perbedaan, penyimpangan moral dan pemahaman yang salah di tengah masyarakat adalah dengan bersabar dan memaafkan tanpa harus ribut, saling berdebat bahkan terkadang sampai terjadi pertikaian, dan tanpa harus mendatangi hakim. Dalam sumber-sumber Islam, di samping diterangkan nilai kedudukan sabar dan sabar dipandang sebagai sifat orang-orang mukmin yang sempurna, diterangkan pula buah hasil dari sifat sabar dan menahan marah.
Di dalam Al-Quran, Allah swt. menyatakan bahwa sabar dan maaf merupakan dua sifat yang kokoh (QS Ali Imran:134).

Dalam ayat lain, Allah mewasiatkan bahwa kejahatan tidak harus dibalas dengan kejahatan, tetapi harus dibalas dengan sikap yang baik (QS Fushshilat:34-35).
Oleh karena itu, Allah swt. memberi petunjuk bahwa dengan sabar dan ketabahan, maka kebencian berubah menjadi rasa cinta dan sayang. Di saat pertikaian terjadi, maka guncangan jiwa yang harus diredam bukan dengan memusuhi dan memerangi.
Diriwayatkan, suatu hari seseorang di hadapan Imam Ali as., mencela dan menghina budaknya yang bernama Qanbar. Supaya orang itu diam, maka Qanbar menghampirinya. Pada saat itu, Imam berkata, “Tahanlah hai Qanbar! Biarkanlah orang ini, sebab hal ini akan membuat Allah senang dan menyebabkan setan sedih serta membencimu. Demi Tuhan yang menumbuhkan bebijian dan menciptakan manusia! Tiada seorang mukmin yang membuat Tuhan tidak meridhainya sebagaimana dengan kesabarannya ia diridhai dan setan resah sebagaimana dengan diamnya (menahan marah) setan menjadi resah. Dan Dia tidak mengganjar orang-orang bodoh sebagaimana dengan ketidakpeduliannya Dia memberinya pahala.”

Sekarang akan kita kaji kesabaran, ketabahan dan menahan marah dalam pandangan orang-orang suci as. Beberapa riwayat hadis tentang hal ini akan menerangkan tiap keutamaan dari dua:sifat tersebut. Karena itu, perhatikanlah dengan saksama kandungan-kandungan beberapa riwayat berikut ini:
Imam Ali as. berkata. “Tabah adalah sebuah tabir yang menutupi kehancuran.” (Nûr al-Haqiqah dan Nûr al-Hadiqah, h.213)
Dalam riwayat lain, beliau mengatakan, “Tabah adalah sebuah cahaya yang hakikatnya adalah akal.”

Beliau juga berkata, “Tiada kemuliaan yang lebih tinggi daripada sifat tabah.” (al-Bihâr, juz 71, bab 93, hadis ke-32).
“Belajarlah tabah karena sesungguhnya tabah itu teman dan wakil orang mukmin.” (al-Bihâr, juz 79, bab 16, hadis ke-140)
Beliau pernah berkata, “Aku wasiatkan kepadamu sifat tabah, karena sesungguhnya tabah itu buah ilmu.” (al-Bihâr, juz 71, bab 93, hadis ke-35).
Dalam riwayat lain beliau berkata, “Sungguh menakjubkanku seseorang yang dikendalikan oleh ketabahannya di kala ia marah.” (al-Bihâr, juz 71, bab 93, hadis ke-13)

Sebuah riwayat dari Imam Shadiq as. telah menjawab pertanyaan, “Apakah dalam menghadapi perilaku yang buruk, dengan memaafkan dan menahan marah tidak menyebabkan kehinaan?” Seorang lelaki datang kepada Imam Ja’far Shadiq as. dan berkata, “Antara aku dan sekelompok orang berselisih tentang suatu masalah. Aku berniat untuk meninggalkan keributan, namun mereka mengatakan kepadaku, “Jika meninggalkan keributan ini, Anda akan merasa hina.” Tentang hal ini bagaimana menurut Imam?”

Imam menjawab, “Sesungguhnya orang yang hina adalah orang yang lalim.” (al-Mahajjat al-Baidha, juz 5, h.313)

Dari semua riwayat dapat disimpulkan bahwa untuk menciptakan kasih sayang dan persaudaraan antara orang-orang mukmin adalah dengan menghindari permusuhan dan pertikaian antara mereka. Pemuka agama mengajak orang-orang mukmin agar bersabar dan meredam api kemarahan dalam menghadapi perilaku yang tak pantas dan kesalahpahaman. Memaafkan itu sarat dengan nilai dan secara alami, banyak memiliki dampak positif, baik dari sisi duniawi maupun dari sisi ukhrawi.