Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Buruknya Israf dan Perilaku Berlebihan

1 Pendapat 05.0 / 5

Israf adalah suatu sikap jiwa yang memperturutkan keinginan yang melebihi semestinya. Menurut bahasa, Israf berarti Menginginkan sesuatu tidak dalam rangka melaksanakan ketaatan kepada Allah. Israf bisa juga berarti, berlebih lebihan melewati batas. Sedangkan menurut istilah, israf yaitu melampaui batas dalam hal makan, minum, berpakaian, bertempat tinggal, dan keinginan yang tersembunyi dalam jiwa manusia.

Allah Swt berfirman, “Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” (QS. Al-Isra: 26-27)

Dalam al-Quran, kata Israf memiliki arti lebih dalam dari apa yang ada di benak kita. Allah Swt memperkenalkan banyak orang sebagai pelaku Israfatau pemborosan. Sebagai contoh, Allah Swt menyebut Firaun sebagai orang yang boros dikarenakan memiliki kepribadian sombong, menjadikan Bani Israil sebagai budak dan mengaku dirinya tuhan.[1] Atau dalam ayat lain syirik yang merupakan pembangkangan dari tauhid juga disebut sebagai pemborosan.[2] Begitu juga Allah Swt menyebut kaum Nabi Luth yang melakukan penyimpangan seksual sebagai orang-orang yang Israf atau boros.

Dengan demikian, meneliti lebih jauh dalam kasus-kasus mereka yang disebut Israf dalam al-Quran dapat dipahami bahwa kata Israf mencakup segala bentuk perilaku berlebih-lebihan dari batasan yang ada, baik itu terkait keyakinan, perbuatan dan perilaku.

Namun terlepas dari makna umum dari kata Israf, banyak ayat al-Quran yang memperingatkan soal sikap boros dalam urusan ekonomi, termasuk ayat 141 surat al-An’am. Dalam ayat ini Allah Swt setelah mengingatkan tentang pepohonan dan produk-produk pertanian seperti kurma, zaitun dan delima, di akhir ayat menyebutkan, “…Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.”

Dalam ayat yang lain, Allah Swt berfirman kepada semua manusia, “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. al-A’raf: 31)

Ayat-ayat ini memperingatkan manusia soal Israf, berlebih-lebihan dan pemborosan baik terkait dengan pemberian kepada orang lain atau seseorang memanfaatkan nikmat ilahi untuk dirinya sendiri. Ayat paling penting terkait masalah pemborosan ini adalah ayat 26 dan 27 surat al-Isra, dimana Allah Swt memperingatkan hamba-hamba-Nya untuk tidak boros dan berlaku berlebih-lebihan, bahkan menyebut pelakunya sebagai saudara setan, “Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan“.[3]

Ada riwayat terkait masalah Israf dari Imam Shadiq as tentang seseorang yang sedemikian dermawannya, sehingga tidak ada lagi hartanya yang tertinggal buat dirinya. Imam Shadiq as menyebut orang itu sebagai pemboros, Israf.[4]

Dengan memperhatikan peringatan keras al-Quran dan hadis ini dapat disimpulkan bahwa manusia dalam menggunakan harta dan kekayaannya yang halal juga tidak dibenarkan dalam segala bentuknya. Tapi ia harus menggunakannya secara rasional, sesuai dengan perintah dan maslahat agama atau umum.

 


Foot Note:

[1] . Lihat QS. Yunus: 4, “…Sesungguhnya Firaun itu berbuat sewenang-wenang di muka bumi. Dan sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang melampaui batas.”

[2] . Lihat QS. Ghafir: 43, “Sudah pasti bahwa apa yang kamu seru supaya aku (beriman) kepadanya tidak dapat memperkenankan seruan apapun baik di dunia maupun di akhirat. Dan sesungguhnya kita kembali kepada Allah dan sesungguhnya orang-orang yang melampaui batas, mereka itulah penghuni neraka.”

[3] . Maksud dari saudara setan adalah saudara dalam berperilaku dan satu metode (Majma’ al-Bayan, jilid 2, hal 634).

[4] . Mizan al-Hikmah, jilid 4, hal 446.