Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Dimensi-Dimensi Haji yang Perlu Diketahui setiap Muslim(2)

1 Pendapat 05.0 / 5

Dimensi Kultural Haji

Komunikasi yang dilakukan oleh kelompok-kelompok muslim di musim haji bisa menjadi sebuah faktor yang paling bepengaruh dalam pertukaran budaya dan pikiran. Khususnya, reuni agung yang ada dalam pelaksanaan haji ini merupakan perwakilan hakiki dan alami dari kelompok-kelompok muslim dunia. Karena, dalam pemilihan personil untuk berziarah ke rumah Allah tidak ada sedikit pun faktor pemalsuan yang berpengaruh. Para penziarah Ka’bah dari berbagai kelompok, ras, keturunan, dan dengan bahasa yang mereka pergunakan untuk melakukan percakapan, bangkit dan berkumpul menjadi satu di tempat tersebut.

Oleh karena itu, dalam riwayat Islam kita membaca bahwa salah satu dari manfaat haji adalah penyebaran sunah-sunah Rasulullah saw. ke seluruh penjuru dunia.

Hisyam bin Hakam, salah seorang sahabat Imam Ash-Shadiq a.s. berkata, “Aku pernah bertanya kepada beliau tentang filsafat haji dan thawaf di sekeliling Ka’bah. Beliau menjawab, ‘Allah telah menciptakan hamba-hamba-Nya … dan Ia telah memberikan perintah-perintah kepada mereka bagaimana jalan untuk mendapatkan kebaikan agama dan dunia. Dan salah satu cara tersebut adalah dengan menetapkan berkumpulnya manusia dari barat hingga timur (dalam pelaksanaan haji) sehingga manusia bisa saling mengenal antara satu dengan yang lainnya dan masing-masing bisa saling mengetahui keadaan yang lainnya. Setiap kelompok saling menukar modal-modal perdagangan dari kota yang satu ke kota yang lain …. Begitu juga, supaya mereka mengenal sunnah, peninggalan-peninggalan, dan berita-berita dari Rasulullah saw., sehingga masyarakat akan senantiasa mengenang dan tidak melupakannya.’”

Dengan alasan ini pula, pada masa krisis politis -di mana para khalifah dan pemimpin arogan kejam tidak memberikan izin terhadap penyebaran hukum-hukum Islam kepada muslimin- dengan memanfaatkan kesempatan musim haji ini, mereka mampu menyelesaikan kendala-kendala yang mereka hadapi, dan mampu menyibakkan tirai yang telah menutupi wajah-wajah hukum Islam dan sunah Rasulullah saw. dengan melakukan kontak dan komunikasi dengan para imam ma’shum a.s. dan ulama besar Islam.

Dari sisi lain, haji bisa pula diangkat sebagai sebuah pertemuan besar dan konggres kebudayaan untuk mengumpulkan para ilmuwan dan pakar intelektual Islam selama mereka berada di Makkah, sehingga mereka bisa mengutarakan kepada sesamanya apa yang menjadi pikiran dan solusinya.

Pada prinsipnya, salah satu kemalangan besar -di mana dengan adanya perbatasan di antara negara-negara Islam telah menyebabkan munculnya perbedaan budaya di antara mereka- adalah karena kaum muslim dari setiap negara hanya memikirkan keadaan diri mereka sendiri. Tentu saja hal ini akan membuat masyarakat Islam yang tadinya bersatu menjadi sebuah masyarakat yang terkoyak dan bercerai-berai, dan pada akhirnya mereka akan hilang tanpa bekas. Ya! Dengan adanya pelaksanaan haji, kemuraman masa depan—seperti telah digambarkan di atas—akan bisa diantisipasi.

Betapa menarik ucapan Imam Ash-Shadiq a.s. dalam kelanjutan riwayat yang dinukilkan oleh Hisyam bin Hakam tersebut, “Apabila setiap kaum dan bangsa hanya berbicara tentang bangsa dan kaumnya sendiri, dan hanya memikirkan tentang apa problem yang terjadi di dalam dirinya, mereka semua akan berada di ambang kehancuran dan negara-negara mereka akan rusak. Demikian juga, keuntungan-keuntungan yang telah mereka peroleh sebelumnya akan menjadi terhenti dan berita-berita yang benar akan tertutupi oleh tirai kekaburan.”

Dimensi Ekonomi Haji

Berbeda dengan apa yang dipersepsikan oleh sebagian orang, memanfaatkan kongres besar haji ini dalam menguatkan pondasi perekonomian Islam bukan hanya tidak bertentangan dengan hakikat haji, bahkan berdasarkan riwayat-riwayat Islam, sisi ini adalah salah satu filsafat haji yang ada.

Apa sulitnya muslimin yang berada dalam pertemuan yang begitu besar ini meletakkan satu pondasi pembentukan sebuah pasar bersama yang islami dan mempersiapkan pusat pertukaran dan perdagangan di antara mereka? Karena perlu diketahui bahwa keuntungan dari transaksi semacam ini tidak akan masuk ke kantong musuh dan tidak pula akan menyebabkan perekonomian mereka bergantung kepada negara asing. Dan ini tidak berart sama penyembahan terhadap dunia, akan tetapi justru sebuah ibadah dan jihad.

Oleh karena itu, dalam riwayat itu pula, selain Hisyam bin Hakam telah mendengarkan penjelasan tentang filsafat haji dari Imam Ash-Shadiq a.s. secara tegas dan jelas, ia juga menangkap sebuah isyarat bahwa salah satu dari tujuan haji adalah untuk memperkuat perdagangan muslimin dan mempermudah hubungan perekonomian di antara mereka.

Dalam sebuah hadis yang lain, ketika menafsirkan ayat, “Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia dari Tuhanmu” (QS. Al-Baqarah [2]: 198), Imam Ash-Shadiq a.s. berkata, “Maksud dari ayat tersebut adalah usaha untuk mencari rezeki. Ketika manusia telah keluar dari keadaan ihramnya dan menyelesaikan pelaksanaan manasiknya, pada musim itu juga mereka melakukan transaksi jual beli. Dan melakukan hal ini bukan saja tidak berdosa, bahkan malah memiliki pahala.”

Makna dan kandungan yang sama terdapat pula dalam hadis dari Imam Ali bin Musa Ar-Ridha a.s. yang menjelaskan filsafat haji secara panjang lebar. Di akhir hadis beliau berkata, “Liyasyhadû manâfi’a lahum (supaya mereka menyaksikan manfaat-manfaat bagi mereka).”

Ucapan terakhir beliau ini (liyasyhadû manâfi’a lahum) selain mengisyaratkan tentang keuntungan maknawiyah, juga mengisyaratkan adanya keuntungan materi di mana keduanya, apabila dilihat dari satu sisi, sama-sama merupakan keuntungan maknawiyah.

Pendek kata, apabila ibadah yang agung ini dimanfaatkan secara benar dan sempurna, dan para peziarah rumah Allah dalam melakukan aktifitasnya di bumi suci ini mempunyai kesiapan kalbu untuk memanfaatkan kesempatan besar ini dalam menyelesaikan berbagai problem yang ada dalam masyarakat Islam dengan membentuk berbagai kongres politik, budaya, dan perekonomian, maka ibadah ini dari setiap segmennya akan mampu menjadi sebuah penuntas masalah. Mungkin dengan dalil ini pulalah Imam Ash-Shadiq a.s. berkata, “Tidak akan runtuh agama (Islam) selama rumah Ka’bah masih berdiri tegak.”

Demikian juga dalam sebuah hadis, Imam Ali bin Abi Thalib a.s. menegaskan bahwa melupakan rumah Allah berarti mati. Beliau berkata, “Jagalah kedudukan rumah Tuhanmu! Janganlah kamu kosongkan rumah Allah, karena sesungguhnya apabila kamu meninggalkannya, Allah akan menarik kesempatan itu darimu.”

Karena pentingnya hal ini, ketika muslimin pada suatu musim hendak meliburkan haji selama satu tahun saja, wajib bagi pemerintahan Islam untuk mengirimkan mereka ke Makkah dengan cara paksa.