Membiasakan Diri untuk Berpikir dan Bertafakur
- Dipublikasi pada
-
- pengarang:
- Syahid Murtadha Muthahhari
- Sumber:
- buku kumpulan ceramah Syahid Murtadha Muthahhari
Untuk bisa menyelamatkan jiwa, akal, iman, dunia, dan akhiratnya dari cengkeraman dominasi hawa nafsu yang menyesatkan, manusia tidak mempunyai jalan lain kecuali dengan memperkuat sisi kekuatan akalnya. Salah satu jalan untuk bisa memperkuat kekuatan akal adalah berusaha menjadikan berpikir dan bertafakur pada setiap perbuatan, menjadi sebuah kebiasaan bagi dirinya. Dia harus menjauhkan diri dari sikap tergesa-gesa di dalam mengambil keputusan.
Seseorang datang kepada Rasulullah Saw, lalu berkata: “Berilah aku nasihat.”
Rasulullah menjawab: “Apakah jika aku memberi nasihat kepadamu, kamu akan mengamalkannya?”
Orang itu berkata: “Tentu.”
Sampai tiga kali terjadi tanya jawab di antara Rasulullah Saw dengan orang ini, dan pada setiap kalinya Rasulullah Saw senantiasa mengatakan kepada orang ini: “Apakah jika aku memberi nasihat kepadamu, kamu mengamalkannya?” Dan di dalam jawabannya orang ini pun selalu mengatakan “Tentu, saya akan mengamalkannya.”
Setelah Rasulullah Saw mengambil janji secara tegas dari orang ini, beliau bersabda: “Kapan saja kamu hendak mengambil keputusan, kamu harus memikirkan tentang akibatnya. Jika akibatnya adalah kebenaran dan petunjuk maka teruskan, namun jika akibatnya adalah keburukan dan kesesatan maka jauhilah.” (Bihar al-Anwar, 71/339)
Dari cara Rasulullah mengambil janji dari orang ini, dapat kita ketahui bahwa apa yang disampaikan oleh Rasulullah ini sangat penting. Rasulullah Saw ingin mengatakan kepada kita bahwa kita harus mempunyai kebiasaan untuk berpikir dan merenung, dan kita jangan memasuki setiap pekerjaan yang belum kita pikirkan secara sempurna tentang akibat dan untung ruginya.
Manusia harus mengikuti logika dan akal, bukan mengikuti emosi dan perasaan. Manusia, bila melakukan perbuatan atas dasar pertimbangan akal dan pikiran, berarti dia telah melakukan pertimbangan-pertimbangan yang diperlukan, dan berarti cahaya akal dan pikirannya telah menyinari segenap sudut perbuatan tersebut.
Akan tetapi, pada perbuatan yang dilakukannya atas dasar emosi dan perasaan, berarti di situ tidak terdapat pertimbangan-pertimbangan akal. Yang terjadi di situ hanya semata-mata emosi yang meletup, dan untuk menenangkan letupan emosinya itu maka dengan segera dia melakukan suatu perbuatan, dan dengan perantaraan debu yang muncul dari letupan emosi tersebut maka kemampuan untuk bisa berpikir jauh dan memperhatikan akibat dari suatu perbuatan telah hilang dari dirinya.
Sedikit banyaknya, baik akal maupun perasaan sama-sama berkuasa pada semua individu. Sebuah perkataan yang disampaikan seorang manusia di hadapan sekelompok orang, atau sebuah perbuatan yang dilakukannya di hadapan mereka, dari satu sisi terkait dengan serangkaian perasaan dan emosi, sedangkan dari sisi lain, dikarenakan sedikit banyaknya telah dilakukan pertimbangan dan pemikiran mengenainya, juga terkait dengan logika dan akal. Sebagian masyarakat ada yang lebih dekat kepada logika sementara sebagian lainnya ada yang lebih dekat kepada perasaan.
Para sosiolog mengatakan bahwa perbedaan seperti ini dapat kita saksikan di kalangan bangsa-bangsa. Sebagian bangsa ada yang lebih dekat kepada logika sementara sebagian lainnya ada yang lebih dekat kepada emosi dan perasaan. Perintah Rasulullah Saw mengatakan: “Senantiasa ikut sertakan lab akal di dalam semua pekerjaan, dan cegahlah kekuasaan perasaan atas dirimu.” Dengan kata lain, Rasulullah Saw ingin mengatakan: “Jadilah orang yang biasa menggunakan akal, bukan orang yang menggunakan perasaan.”
Setiap kali seorang individu atau suatu bangsa sedang berjalan di atas jalan kemajuan dan kesempurnaan, maka secara perlahan dia sedang meninggalkan perasaan untuk mengikuti akal. Dekatnya seorang individu atau suatu bangsa kepada kekuasaan akal, dan keluarnya mereka dari dominasi perasaan, merupakan bukti kematangan dan kesempurnaan jiwa mereka. Seseorang, pada masa kanak-kanak merupakan sehelai kain perasaan yang tanpa logika dan akal, dan oleh karena itu dia tidak mampu mengatur dirinya dan menjaga kemaslahatan dirinya. Oleh karena itu, seorang anak dengan cepat memasuki sebuah kejadian, dan menggunakan perasaan dan emosinya pada hal-hal yang menurutnya menguntungkan dirinya. Akan tetapi, setiap kali umurnya bertambah, dan pengalaman yang dialaminya semakin banyak, maka kekuatan akal pun menjadi semakin kuat di dalam dirinya.
Tentunya, perjalanan waktu semata tidak cukup untuk menjadikan seorang manusia menjadi seorang yang suka menggunakan akalnya. Keutamaan akhlak ini pun, sebagaimana keutamaan-keutamaan akhlak yang lain memerlukan usaha dan latihan. Pertama-tama, diperlukan timbunan ilmu dan investasi pikiran. Kedua, untuk beberapa waktu seorang manusia harus bekerja keras memaksa dirinya untuk membiasakan banyak berpikir tentang setiap keputusan yang akan diambilnya, dan sebelum dia benar-benar secara sempurna mempertimbangkan akibat-akibat sebuah pekerjaan yang akan dilakukannya, dia tidak boleh memberi jalan kepada gejolak perasaan yang ada di dalam dirinya.
Salah satu di antara hadis-hadis Rasulullah Saw adalah sebuah hadis yang berbunyi: “Aku tidak mengkhawatirkan kemiskinan atas diri umatku, melainkan yang aku khawatirkan adalah keburukan pengelolaan atas umatku.” (‘Awali al-La’al, 4/39)
Terdapat sebuah hadis lain dari Rasulullah saw, yang mana di dalam hadis ini terlihat perbedaan yang jelas antara orang yang mengikuti akal dan logika dengan orang yang mengikuti emosi dan perasaan. Hadis ini menceritakan seorang laki-laki Arab datang ke hadapan Rasulullah Saw dan meminta nasihat kepadanya. Di dalam menjawab permintaan laki-laki Arab itu Rasulullah Saw bersabda: “Engkau jangan marah.”
Laki-laki Arab itu merasa puas dengan jawaban Rasulullah Saw, dan kemudian dia kembali kepada kaumnya. Secara kebetulan, tatkala dia sampai terjadi pertentangan antara kabilahnya dengan kabilah yang lain. Masing-masing dari kedua kabilah tersebut telah mempersiapkan diri untuk menyerang satu sama lain. Laki-laki itu pun, atas dasar kebiasaan lama dan rasa fanatik terhadap kaumnya terbakar emosinya, dan untuk membela kaumnya dia segera mengenakan senjata berdiri di barisan kaumnya.
Pada saat itu dia teringat akan sabda Rasulullah yang memerintahkan tidak boleh memberikan kesempatan kepada rasa marah dan emosi untuk menguasai dirinya. Dengan segera emosinya menjadi turun dan dia pun mulai berpikir. Dia berpikir, mengapa dua kelompok manusia harus saling menghunuskan pedang satu sama lain dengan tanpa alasan? Lalu, dia pun mendekati barisan musuh, dan bersedia membayar denda yang mereka inginkan dengan harta yang dia miliki. Ketika musuh melihat keperwiraan laki-laki ini, kemudian mereka pun menarik kembali apa yang menjadi tuntutan mereka. Di sini, api emosi dan kemarahan menjadi padam dengan siraman air akal dan pikiran.