Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Hadis Tentang Ujub 1

1 Pendapat 05.0 / 5

Diriwayatkam dari Muhammad bin Yaqub (Kulaini), dari Ali bin Ibrahim, dari ayahnya, dari Ali bin Asbath, dari Ahmad bin Umar al-Halal, dari Ali bin Suwayd yang berkata kepada Abul Hasan as tentang ujub yang merusak sifat perbuatan manusia. Imam berkata, “Ada beberapa tingkat ujub, salah satunya adalah, ketika sifat buruk seseorang yang tampak baik baginya. Ia menganggapnya baik dari memuji dirinya, membayangkan bahwa ia telah melakukan perbuatan-perbuatan baik. Tingkat ujub yang lain tampak pada manusia yang beriman kepada Allah dan ia berpikir telah menguntungkan Allah sehingga mengungkit-ungkit kebaikannya di hadapan Allah, padahal Allah lah yang berbuat baik kepadanya [dengan memberinya keimanan itu].”

Dalam pandangan para ulama –semoga Allah meridhoi mereka– ujub merupakan tindakan mengagung-agungkan dan membesar-besarkan suatu perbuatan baik, perasaan puas dan senang dengannya, tersipu [seperti perasaan orang dirayu], dan terkesima dengan perbuatan baiknya serta merasa dirinya terbebas dari seluruh kekurangan dalam perbuatan itu. Namun, merasakan kenikmatan dan kesenangan ketika melakukan perbuatan baik yang disertai rasa rendah hati dan syukur kepada Allah atas taufik-Nya dalam keberhasilannya berbuat kebaikan serta memohon kepada-Nya untuk menambah tauhid baginya di waktu mendatang, bukan termasuk ujub, melainkan merupakan sifat terpuji.

Ahli hadis besar, Allamah Majlisi–semoga Allah mengharumkan kuburnya–mengutip dari alim dan pemikir besar Syaikh Bahauddin Amili yang berkata,

“Tiada keraguan bahwa ketika seseorang melakukan perbuatan baik seperti berpuasa dan salat di malam hari, ia akan merasakan semacam kenikmatan dan kesenangan. Kenikmatan dan kesenangan itu bukanlah ujub jika timbul dari perasaan bahwa Allah yang Mahakuasa telah melimpahkan pemberian dan nikmat kepadanya berupa dorongan untuk melakukan perbuatan baik sementara ia merasa kuatir akan kekurangan dalam perbuatannya, cemas akan hilangnya nikmat itu, dan memohon kepada Allah untuk terus memberikan tambahan nikmat. Namun, jika kesenangan itu disebabkan keyakinannya bahwa perbuatan itu sudah menjadi sifatnya dan dirinyalah pelaku perbuatan itu, lalu mengagung-agungkan dan menyukainya, memandang dirinya bebas dari seluruh kekurangan sehingga merasa seolah-olah telah memberi kebaikan pada Allah Swt dengan perbuatan itu, maka semua itu berubah menjadi ujub.

Dalam pandangan kami yang tak berdaya ini, definisi ujub di atas cukup tepat. Namun, perbuatan yang disebut dalam kutipan di atas harus dipandang meliputi perbuatan lahiriah maupun batiniah, dalam bentuk luar maupun dalam hati serta mencakup perbuatan baik maupun buruk. Sebab, selain mempengaruhi perbuatan lahiriah, ujub juga mempengaruhi perbuatan batiniah [mental dan spiritual] seseorang serta merusaknya. Seperti halnya orang baik yang dapat berujub dengan kebaikannya, demikian pula pelaku perbuatan buruk dapat mengagumi keburukannya. Hadis di atas secara eksplisit menyebutkan keduanya, karena sebagian besar orang sering melupakan bahwa ujub mencakup kebaikan dan keburukan. Kita akan mendiskusikan masalah ini dalam pembahasan selanjutnya. Kesenangan yang bebas dari ujub dan dikatakan sebagai sifat terpuji itu juga ada banyak jenisnya, sebagaimana akan diterangkan dalam pembahasan selanjutnya.

Seperti disebutkan dalam hadis di atas, ujub memiliki beberapa derajat sebagai berikut; derajat pertama, ujub dengan keimanan terhadap ajaran-ajaran yang benar, lawannya adalah ujub dengan kekufuran, kemusyrikan, dan kepercayaan-kepercayaan keliru. Derajat kedua, ujub dengan sifat-sifat baik, lawannya adalah ujub dengan sifat-sifat buruk. Derajat ketiga, ujub dengan perbuatan-perbuatan baik, lawannya adalah wujud dengan perbuatan-perbuatan jahat.

Selain itu, masih ada beberapa derajat ujub lain yang tidak begitu penting dalam konteks ini. Dengan pertolongan Allah Swt, kita akan membahas ketiga derajat ujub tersebut, berikut penyebab dan cara penyembuhannya dalam beberapa pasal.

Derajat-derajat Ujub

Di antara perilaku yang disebutkan sebelumnya, beberapa di antaranya mudah dikenali dengan sedikit perhatian, membuka mata dan berusaha menemukannya. Namun ada pula ujub yang tersembunyi dan halus yang tidak mudah dikenali kecuali jika kita secara cermat memeriksa diri kita dan meneliti satu demi satu perbuatan kita. Begitu pula beberapa ujub lebih merusak daripada tingkat-tingkat lainnya.

Derajat pertama dan terutama yang merupakan tingkat ujub yang paling dahsyat dan berbahaya adalah anggapan seseorang bahwa dengan beriman kepada Allah Swt atau bersifat terpuji ia telah berbuat baik kepada Allah Sang Pemberi nikmat Pemilik Segala Sesuatu. Ia berpikir bahwa dengan keimanannya ia telah memperluas Kerajaan Allah dan ikut mencemerlangkan agama-Nya. Ia berpikir bahwa dengan menyebarkan syariatnya, memberikan bimbingan pada agamanya, melakukan amar ma’ruf nahi mungkar, melaksanakan hudud yang yang diperintahkan-Nya, keberadaannya di mihrab atau mimbar maka ia telah menambah kebesaran agama Allah Swt.

Atau ia merasa bahwa kehadirannya dalam salat jamaah kaum Muslim dan keaktifannya mendirikan upacara-upacara duka untuk mengenang tragedi kesyahidan Imam Husain as, ia telah menambah keagungan agama dan dengan demikian memberikan keuntungan kepada Allah, kepada Baginda Nabi Muhammad saw dan kepada Imam al-Husain as. Meskipun ia telah tidak mengungkapkannya secara terang-terangan, dalam hatinya ia merasa begitu. Demikian pula dalam soal membantu hamba-hamba Allah sebagai kewajiban atau anjuran agama –seperti memberi zakat dan sedekah, menolong orang-orang yang miskin dan membutuhkannya– ia berpikir bahwa ia telah berjasa kepada mereka. Kadang kala perasaan tersebut sedemikian tersembunyi dan halusnya sehingga orang itu sendiri tidak mengetahuinya.

Derajat kedua ujub adalah seseorang yang tersipu [seperti orang yang dirayu] oleh ujub dalam hatinya –meskipun banyak yang tidak melihat perbedaan keduanya– pada keadaan itu seseorang memandang dirinya sebagai kekasih Allah dan memasukkan dirinya dalam kelompok para wali dan orang-orang yang dekat dengannya. Jika ia mendengar nama para wali dan orang-orang yang dekat dan terbius cinta Allah Swt dalam hatinya ia merasa sejajar dengan mereka, meskipun secara lahir ia memamerkan kerendahan hati atau untuk meyakinkan dirinya bahwa ia memang berada pada kedudukan itu ia menafikan dari dirinya dengan cara yang justru makin mengukuhkan perasaan itu dalam dirinya. Jika sesuatu yang buruk terjadi pada dirinya ia akan mengumumkan bahwa al-bala’ li al-wala’ [ujian sebagai tanda pendekatan yang mengisyaratkan bahwa para wali sering memperoleh kesulitan]. Orang-orang yang mengaku sebagai pemimpin manusia, ahli makrifat, sufi dan zahid lebih mudah terkena bahaya ini dibandingkan dengan orang-orang lainnya.

Pada tingkat ketiga seseorang memandang dirinya berhak memperoleh pahala dari Allah Swt karena keimanan, watak dan perilakunya. Dia memandang Allah Swt wajib untuk memuliakannya di dunia ini serta menganugerahinya dengan kedudukan yang tinggi di akhirat kelak. Ia melihat dirinya sebagai orang beriman, bertakwa dan suci. Ketika ada pembicaraan tentang orang-orang beriman ia akan membatin “Jika Allah berlaku adil, aku akan berhak mendapatkan pahala dan ganjaran.” Kadangkala tanpa rasa malu ia berani mengatakannya dan jika suatu bencana menimpanya atau ia menghadapi kesulitan ia akan menyalahkan Allah dan mempertanyakan keadilan-Nya yang menyebabkan penderitaan orang mukmin dan mencurahkan rizki kepada orang munafik. Ia memelihara perasaan benci kepada Allah dan keputusan-keputusan-Nya dalam hati sementara secara lahiriyah ia berpura-pura rela terhadap keputusan-keputusan-Nya. Ia menumpahkan kemarahannya kepada Allah yang memberinya segala rupa nikmat dan menunjukkan kerelaan atas keputusan Allah di hadapan makhluk. Dan ketika ia mendengar bahwa Allah akan menguji orang-orang mukmin di dunia ini dengan berbagai penderitaan ia akan menghibur hatinya dengan merasa bahwa ia menderita karena ia adalah mukmin tanpa mengetahui bahwa kaum munafik juga banyak yang menderita dan bahwa tidak semua orang menderita itu mukmin.

Tingkat ujub keempat ialah keadaan orang yang memandang dirinya lebih unggul daripada kalangan awam dalam keimanan, memandang dirinya lebih unggul daripada orang-orang beriman dalam kesempurnaan iman, dan memandang dirinya lebih unggul dalam sifat-sifat baik daripada kebanyakan orang yang tidak memiliki sifat-sifat tersebut dan memandang dirinya lebih unggul dalam menjalankan ibadah-ibadah wajib dan menghindari hal-hal yang diharamkan kepada kalangan yang tidak menjalankan semua itu. Ia memandang dirinya lebih sering melakukan hal-hal yang disunahkan dan lebih teratur menghadiri salat Jumat dan ritus-ritus lain. Ia memandang dirinya lebih baik dan memandang orang lain sebagai makhluk yang remeh dan cacat. Ia memandang mereka dengan hina dalam hatinya atau memperlakukan mereka dengan buruk. Ia memandang bahwa rahmat Allah hanya berhak diberikan kepada orang-orang yang sepertinya sementara semua orang lain tidak berhak memperolehnya.

Orang yang telah mencapai tingkat ini akan menyangkal setiap perbuatan baik yang dilakukan orang lain dan mencatatnya dalam hati. Dalam hatinya ia melihat amal-amalnya bersifat ikhlas dan bebas dari cacat apapun. Ia merendahkan perbuatan baik orang lain tetapi membesar-besarkan perbuatan baiknya sendiri. Ia amat peka terhadap cacat orang lain tetapi lupa dengan cacat-cacat nya sendiri.

Itulah beberapa tanda ujub, meskipun mungkin orang yang melakukannya tidak menyadariny,a ada pula beberapa derajat ujub lain yang tidak saya sebutkan di sini dan pasti juga ada beberapa tingkat lain yang saya lupa menyebutkannya.