Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Fanatisme yang Terpuji dan Tercela(1)

1 Pendapat 05.0 / 5

Fanatisme yang dimaksud ialah sikap atau tindakan berupa ajakan seseorang untuk membantu kerabatnya agar berkomplot melawan pihak yang memusuhi mereka, baik itu sebagai pihak penindas maupun tertindas. Seorang yang fanatik itu yang membantu kelompoknya dalam penindasan, marah kepada pihak lain karena membela kerabatnya dan mempertahankan mereka. (Ibnu Manzhur, Lisān al-‘Arab, j. 9, h. 232-233.)

Imam Ali bin Husein as-Sajjad a.s. ditanya tentang sikap fanatik dan menjawabnya, “Fanatik yang menimbulkan dosa itu bila seseorang memandang kejahatan kelompoknya lebih baik dari kebaikan kelompok lain. Bukanlah fanatik bila seseorang mencintai kelompoknya. Tetapi fanatik itu menolong kelompoknya dalam penindasan.” (Syekh al-Kulayni, al-Kāfī, j. 2, h. 308.)

Inilah sikap permusuhan paling berbahaya dan paling membunuh dalam perpecahan dan perselisihan umat Islam serta melemahkan kekuatan mereka, baik moril maupun materil. Sungguh Islam memerangi sikap fanatik dan mewanti-wanti kaum Muslimin atas akibat buruk dan efek negatif bagi semua. Imam Ja’far as-Sadiq a.s. telah memperingatkan kita, “Sesiapa bersikap fanatik, niscaya Allah membelenggunya dengan pengikat neraka.” (Syekh al-Kulayni, al-Kāfī, j. 2, h. 308.)

A. Pemimpin Kaum Fanatik

Fanatisme berakar pada kesombongan Iblis terhadap asal penciptaan datuk kita Adam a.s.

Al-Quran menyampaikan ungkapan Iblis,

قَالَ أَنَا۠ خَيۡرٞ مِّنۡهُ خَلَقۡتَنِي مِن نَّارٖ وَخَلَقۡتَهُۥ مِن طِينٖ.
(Iblis) menjawab, “Aku lebih baik daripada dia. Engkau ciptakan aku dari api sementara Engkau ciptakan dia dari tanah.” (Q.S. al-A’rāf [7]:12)

Iblis merupakan pemimpin kaum fanatik. Sikap fanatik itu salah satu prajurit Iblis yang mendorong menuju kehancuran. Sebab fanatik menuntun kawannya ke jalan kesesatan dan kebodohan serta menjauhkannya dari jalan kebenaran dan petunjuk.

Amirul Mukminin a.s. melecehkan Iblis dalam khotbahnya, “… dia merasa sombong atas Adam karena asal penciptaannya, dan membanggakan diri kepada Adam karena asal kejadiannya. Maka musuh Allah itu adalah pemimpin orang-orang yang menyombongkan diri, dan pelopor kesombongan. Dialah yang meletakkan pondasi pengelompokan, bertengkar dengan Allah tentang jubah kebesaran, menggunakan busana takabur dan menanggalkan baju kesederhanaan.” (Nahj al-Balāghah, Khotbah 192)

Ungkapan Amirul Mukminin pada khotbah lainnya, “Kesombongan mencegah dia dan keburukan mengalahkannya. Maka ia membangga-banggakan penciptaannya sendiri (yang) dari api dan bersikap menghina ciptaan dari lempung.” (Nahj al-Balāghah, Khotbah ke-1)

B. Fanatik pada Kebenaran

Tidak dapat diragukan bahwa sikap fanatik tercela yang dilarang Islam itu ialah tolong-menolong dalam kebatilan, bahu-membahu dalam kezaliman dan berbangga diri atas nilai-nilai jahiliah.

Sementara fanatik yang terpuji itu ialah fanatik pada kebenaran, mempertahankannya, bahu-membahu dalam mewujudkan pelbagai kepentingan publik Islam, seperti membela agama, melestarikan Tanah Air, menjaga kemuliaan kaum Muslimin, beserta jiwa dan harta mereka. Inilah fanatik yang akan membangkitkan persatuan tujuan dan perjuangan serta mewujudkan kemuliaan dan ketahanan kaum Muslimin.

Imam Ali as-Sajjad a.s. berkata, “Tidaklah memasukkan surga sikap fanatisme selain fanatisme Hamzah bin Abdul Mutthalib yang ketika beliau memeluk Islam, amarahnya demi Nabi -salawat Allah atasnya dan keluarganya.” (Syekh al-Kulayni, al-Kāfī, j. 2, h.308.)

Amirul Mukminin a.s. menyingkap jiwa fanatik yang terpuji dalam khotbah al-Qāshi’ah, “Kalau memang fanatisme itu diperlukan, hendaklah fanatisme kalian itu pada perangai yang unggul, amal perbuatan yang terpuji dan hal-hal terbaik yang diperjuangkan para dermawan dan kesatria dari keluarga Arab dan para pemimpin kabilah.. Mereka fanatik pada kebiasaan yang terpuji, seperti perlindungan kepada tetangga, pemenuhan janji, ketaatan kepada yang baik, perlawanan kepada yang sombong, kedermawanan kepada orang lain, berpantang dari kedurhakaan, menjauh dari pertumpahan darah, berlaku adil kepada manusia, menekan kemarahan, dan menghindari berbuat kekacauan di bumi.”
(Nahj al-Balāghah, Khotbah ke-192, al-Qāshi’ah)