Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Fanatisme yang Terpuji dan Tercela 2

1 Pendapat 05.0 / 5

C. Akibat Fanatisme

1. Keluar dari Keimanan

Iman itu pembenaran dengan hati, dan bertindak atas dasar kebenaran dan keadilan.

Fanatisme itu bertentangan dengan prinsip kebenaran dan keadilan. Sebab itu, ia bertentangan dengan keimanan yang menuntut kita untuk melaksanakan segala tindakan berdasarkan kebenaran dan keadilan.

Fanatisme tercela yang tumbuh di hati seseorang akan menegasikan prinsip kebenaran dan keimanan. Seorang yang fanatik lebih mendahulukan aspek kecenderungannya pada sesuatu dan mendukungnya sekalipun ia tidak benar.

Imam Ja’far as-Sadiq a.s. dalam hal ini mengungkapkan, “Sesiapa bersikap fanatik atau dikuasai fanatisme, berarti dia telah melepaskan kalung keimanan dari lehernya.” (Syekh al-Kulayni, al-Kāfī, j. 2, h. 307.)

Allah juga menyifati fanatisme sebagai karakteristik hati orang-orang kafir,

إِذۡ جَعَلَ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ فِي قُلُوبِهِمُ ٱلۡحَمِيَّةَ حَمِيَّةَ ٱلۡجَٰهِلِيَّةِ.

Ketika orang-orang yang kafir menanamkan kesombongan dalam hati mereka (yaitu) kesombongan jahiliah (Q.S. al-Fath [48]:26)

2. Dibangkitkan bersama kaum jahiliah

Rasulullah Saw bersabda, “Sesiapa di hatinya ada benih fanatisme, niscaya Allah membangkitkannya bersama orang-orang jahiliah pada hari Kiamat.” (Syekh al-Kulayni, al-Kāfī, j. 2, h. 307.)

3. Pantas meraih neraka

Imam Ja’far as-Sadiq a.s. telah memperingatkan kita, “Sesiapa bersikap fanatik, niscaya Allah membelenggunya dengan pengikat neraka.” (Syekh al-Kulayni, al-Kāfī, j. 2, h. 308.)

D. Islam Agama Konsolidasi

Islam datang saat manusia berserakan dalam kelompok, kabilah dan partai. Lalu Allah mempersatukan dan melunakkan hati mereka dengan Islam. Allah Swt berfirman,

وَٱذۡكُرُواْ نِعۡمَتَ ٱللَّهِ عَلَيۡكُمۡ إِذۡ كُنتُمۡ أَعۡدَآءٗ فَأَلَّفَ بَيۡنَ قُلُوبِكُمۡ فَأَصۡبَحۡتُم بِنِعۡمَتِهِۦٓ إِخۡوَٰنٗا

dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliah) bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu, sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara (Q.S. Āli ‘Imrān [3]:103)

Imam Muhammad al-Baqir a.s. berkata, “Rasulullah Saw naik mimbar pada hari pembebasan Mekah seraya berkhotbah, ‘Wahai manusia, sesungguhnya Allah telah menghilangkan keangkuhan jahiliah dan kebanggaan pada nenek moyang mereka. Ketahuilah sesungguhnya kalian berasal dari Adam a.s. dan beliau berasal dari tanah. Ketahuilah bahwa hamba Allah terbaik itu hamba yang bertakwa kepada-Nya.

Sejatinya kearaban bukanlah soal ayah (kebanggaan nasab), tetapi kefasihan lisan (syahadat dan agama yang benar). Sesiapa minus amalnya, maka faktor keturunan tidaklah dapat menyempurnakannya. Ketahuilah bahwa setiap darah pada masa jahiliah atau dendam kesumat, niscaya di bawah kakiku ini sampai hari Kiamat.’” (Syekh al-Kulayni, al-Kāfī, j. 8, h. 246.)

Islam mendidik putra-putrinya agar memiliki kesadaran sebagai individu dalam khalayak. Kesadaran bahwa mereka bagian dari kelompok yang besar. Seorang Muslim yang memiliki kesadaran ini niscaya akan mencintai bagian lain seperti mencintai dirinya sendiri.

Afiliasi seorang Muslim terhadap kelompoknya melahirkan hak-hak dan kewajiban baginya. Kewajiban yang terbesar baginya ialah bahu-membahu di antara kaum Muslimin.

Amirul Mukminin a.s. berpesan kepada dua putranya, al-Hasan dan al-Husain a.s., “Jadilah kalian berdua sebagai musuh penindasan dan penolong yang tertindas.” (Nahj al-Balāghah, pesan ke-47) Lalu beliau juga berpesan, “Sebaik-baik keadilan itu menolong yang tertindas.” (al-Laytsi al-Wasithi, ‘Uyūn al-Hikam wa al-Mawā’izh, h. 113)

Sebagai penutup ialah doa pemimpin ahli ibadah, Imam Ali as-Sajjad a.s., “Ya Allah, aku memohon ampun kepada-Mu karena menyaksikan orang yang tertindas, namun aku tidak menolongnya.” (as-Sahīfah as-Sajjādiyah, Doa ke-100)