Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Imam Khomeini: Perjalanan dari Nol Menuju Nol

1 Pendapat 05.0 / 5

Kehadiran Imam Khomeini di abad dua puluh ini adalah sebuah anugerah Ilahi yang sangat besar. Di saat materialisme menguasai dunia dan masuk dalam relung pikiran dan jiwa mayoritas umat manusia, beliau menyadarkan mereka tentang makna kehidupan di dunia yang sesungguhnya dan tentang jati diri manusia yang sesungguhnya.

Sebenarnya semua yang beliau ucapkan dan lakukan bukanlah sesuatu yang baru. Beliau hanya menyampaikan apa yang tertulis dalam Kitab Suci dan menjalankan apa yang dijalankan manusia-manusia suci. Namun, karena kebanyakan umat manusia telah jauh dari Kitab Suci dan manusia-manusia suci, dan jatuh terperosok ke dalam kubangan materialisme yang kotor, bau dan licin, maka kehadiran beliau menjadi sesuatu yang baru, bahkan terbilang aneh di abad ini.

Manusia Berasal dari Nol

Manusia lahir dari “tiada“ dan saat lahir, ia lemah, miskin dan bodoh. Kehidupannya bergantung secara penuh kepada orang lain. Seiring dengan perkembangan fisik dan jiwanya, ia merasa ketergantungannya kepada yang lain berkurang. Perasaan itu makin kuat dengan pencapaiannya atas materi; saat mencapai usia muda merasa dirinya kuat dan tangguh, saat meraih kemapanan ekonomi merasa dirinya aman dan kaya, saat menguasai pengetahuan merasa dirinya pintar dan cerdas, dan saat menduduki sebuah posisi penting merasa dirinya berkuasa dan bisa melakukan apapun.

Perasaan-perasaan itu mengkristal dalam diri manusia dan mengubah jati dirinya; dari jati diri yang serba tergantung menjadi jati diri yang serba mandiri. Materialisme telah mengubahnya dari sosok yang lemah, miskin dan bodoh menjadi sosok yang baru; sosok yang (merasa) kuat, kaya, pintar dan berkuasa.

Kitab Suci dengan semua firman-Nya, dan manusia-manusia suci dengan segala nasihat dan perilaku mereka menjelaskan kepada umat manusia sejak berabad-abad lalu bahwa kehidupan dunia dengan semua pernak perniknya; kekuatan fisik, kekayaan, pengetahuan dan kekuasaan adalah kepalsuan belaka dan hiasan kosmetik yang menutupi jati dirinya yang sesungguhnya, dan mereka mengingatkannya bahwa ia sedang berilusi atau bahkan berhalusinasi dengan perasaan-perasaan itu. Imam Ali bin Thalib as. dengan ringkas dan padat berdoa, “Betapa dunia dunia telah memperdayaku dengan tipu dayanya, dan jiwaku dengan perasaan dan angan-angannya.“

Firman Allah Swt., sabda dan perbuatan manusia suci bagi kebanyakan manusia, khususnya saya pribadi, hanya sekadar untuk mengisi mimbar-mimbar agar tidak kosong dan meramaikan media; cetak, elektronik dan digital agar tidak sepi, bahkan menjadi alat transaksi yang menguntungkan, baik politis, materi maupun popularitas.

Menuju Nol
Hanya segelintir manusia pada setiap masa dan generasi, yang selamat dari tipu daya dunia dan halusinasi jiwa, dan tetap sadar tentang jati diri mereka yang sebenarnya. Mereka tidak silau dengan gemerlap dunia, tidak terbang dengan khayalan pikiran dan jiwa, tidak hanyut terbawa oleh pekikan takbir umat yang mengagumi mereka, dan tidak lupa diri dengan kekuasaan dan pengaruh yang dimiliki. Semua itu bagi mereka adalah kepalsuan, nihil dan tidak ada apa-apanya. Mereka tetap sadar bahwa jati diri mereka lemah, miskin dan bodoh bahkan mereka meyakini diri mereka tidak ada apa-apanya (la syay’a).

Imam Khomeini termasuk manusia yang segelintir itu. Tidak sulit bagi orang yang mengikuti dan mencermati ucapan-ucapan dan sikap beliau untuk membuktikan bahwa beliau adalah manusia yang aneh dan langka pada abad ini, dan seorang pribadi yang seakan-akan hidup di dunia lain. Demikian itu, karena beliau sadar akan hakikat dan jati dirinya yang sesusungguhnya.

Saya hanya akan menjelaskan secara ringkas satu sisi dari kesadaran Imam Khomeini tentang hakikat dan jati dirinya yang sesungguhnya, karena sisi inilah yang menggugah dan mengilhami saya untuk menulis tulisan ini.

Pada bulan Ramadan yang lalu, saya sempat mendengar ceramah beliau tentang malam al-Qadr, namun ceramah itu tidak sempat tersimpan, dan sampai tulisan ini ditulis ceramah itu tidak ditemukan lagi. Yang saya ingat beliau mengatakan “Sampai saat ini saya belum paham tentang makna dari nuzul Al-Quran.”

Perkataan beliau ini benar-benar menohok hati saya; betapa beliau, sebagai seorang ulama besar yang telah menulis puluhan buku dengan berbagai bidang ilmu yang berat; Fikih, Ushul Fikih, Filsafat dan ‘Irfan, menyatakan dengan datar dan jujur bahwa beliau belum memahami makna dan bagaimana turunnya Al-Quran. Di saat yang sama, orang semacam saya beberapa kali menjelaskan tentang itu seakan-akan atau merasa saya sudah paham dan berusaha memahamkan orang lain.

Imam Khomeini dengan ilmu yang dimilikinya telah melewati klimaks sehingga berakhir pada anti klimaks, yaitu sadar bahwa dia belum paham, atau dengan kata lain beliau sadar bahwa beliau masih bodoh. Itulah yang saya maksud beliau telah sampai ke nol lagi, dan nol itulah hakikat manusia yang sesungguhnya; lemah, miskin dan bodoh.

Sadar bahwa diri lemah, miskin dan bodoh merupakan titik balik pada jati diri dan hakikat manusia yang sesungguhnya. Manusia yang belum sadar tentang itu berarti belum paham tentang jati diri dan hakikat dirinya. Dia hanya ada pada kondisi merasa kuat, kaya dan pintar, tetapi apa makna sebuah perasaan?

Sementara itu, kebanyakan manusia, khususnya saya, ketika memiliki sedikit saja dari jatah dunia yang palsu; kekuatan fisik, harta, ilmu, pengaruh dan posisi, sudah merasa kuat, kaya, pintar dan berkuasa.

Sebenarnya yang aneh, ganjil dan menyimpang itu siapa? Kebanyakan manusia atau segelintir manusia?