Dalam kondisi bagaimana doa itu pasti dikabulkan dan diijabah? (1)
Kata doa bermakna membaca dan meminta hajat serta pertolongan. Dan terkadang yang dimaksud adalah ‘membaca’ secara mutlak. Doa menurut istilah adalah: “memohon hajat atau keperluan kepada Allah Swt”. Kata doa dan kata-kata jadiannya (musytaq) dalam Al-Qur’an digunakan sebanyak 13 makna.
Doa merupakan sebuah bentuk ibadah, karena itu ia juga memiliki syarat-syarat positif dan negatif seperti ibadah-ibadah lainnya dimana. Dengan memperhatikan syarat-syaratnya, dapat mendekatkan diri serta terijabahnya doa. “Terijabahnya doa” tidaklah berarti bahwa doa tersebut diijabah dan berefek di luar secepat mungkin. Karena itu, terkadang setelah 40 tahun kemudian barulah nampak terijabahnya doa tersebut. Dan pada hari kiamat nanti, Allah Swt akan memberikan imbalan doa tersebut dengan beberapa kali lipat yang jika orang tersebut melihatnya (imbalan) pasti akan tergiur dan mengharapnya sambil berbisik:”seandainya tak ada satupun doa dan hajat saya yang terkabul di dunia”.
Para ilmuan dan ulama Islam –dengan berdasar pada ayat-ayat Al-Qur’an dan riwayat-riwayat dari para Imam Maksum As– menyebutkan beberapa adab dan syarat-syarat berdoa yang jika hal tersebut betul-betul direalisasikan, maka doanya pasti akan dikabulkan. Di antara syarat-syarat tersebut adalah sebagaimana yang disebutkan Al-marhum Faidh Kasyani; 10 syarat dan 10 syarat lainnya dinukil dari kitab ‘iddatu ad daa’i. Pemilik buku “du’ahaa wa tahliilaat qur’an” (doa-doa dan tahlil-tahlil Al-Qur’an) itu menyebutkan 17 syarat.
Dengan memperhatikan pelbagai redaksi yang umumnya digunakan dalam riwayat, maka dapat disebutkan beberapa syarat yang secara pasti punya peran dalam terijabahnya doa, di antaranya adalah: Berdoa jangan sampai bertentangan dengan sistem terbaik (nizham ahsan) alam dan ketentuan (qadha) pasti Allah Swt. Dan jika bertentangan, maka pasti tidak akan terijabah. Doa harus dimulai dan ditutup dengan bacaan shalawat atas Nabi Saw dan Ahlulbait As. Orang yang berdoa harus memiliki makrifat dan pengetahuan hati yang sempurna tentang Allah Swt; jadi, harapannya hanya kepada Allah Swt semata dan jangan bersandar kepada siapapun selain-Nya. Harus ikhlas dan merasa perlu sekali (darurat). Lisan dan hatinya harus sejalan. Melaksanakan hal-hal yang wajib dan meninggalkan yang haram dan memohon ampun dari segala dosanya. Memiliki tekad yang kuat untuk berdoa dan dengan yakin berharap kepada Allah Swt serta tidak putus asa. Mengucapkan: “wahai Tuhan-ku, sebagaimana engkau mengetahui apa yang maslahat dan baik untuk saya maka ijabahlah” dan yakinlah bahwa pasti Allah Swt akan mengabulkannya, kendatipun hasilnya itu akan nampak kemudian.
Jawaban Detil
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, kami akan jelaskan secara sederhana tentang makna dan pentingnya doa menurut Al-Qur’an. Masalah perlunya doa tidak hanya agama Islam yang menganggapnya sebagai sesuatu yang sangat serius. Tetapi juga pada agama nabi-nabi dan rasul-rasul sebelumnya,. Berdoa merupakan sebuah perkara yang pasti dan para pemimpin Ilahi telah menyampaikan dan mengajarkan hal ini kepada umatnya. Selain itu mereka sendiri telah berdoa dalam banyak hal, di antaranya adalah doa Nabi Ibrahim As serta proses terijabahnya. Hal ini disebutkan dalam surat Ibrahim ayat 37,[1] dan juga doa Nabi Musa As[2] dan nabi-nabi lainnya. Di dalam beberapa ayat, Allah Swt menyeru hamba-hamba-Nya untuk berdoa, di antaranya adalah surat al- Baqarah ayat 186 dan surat al Ghafir ayat 60.
Makna leksikal dan teknikal doa.
Doa (dalam bahasa Arab) berarti membaca, meminta hajat dan memohon pertolongan. Terkadang juga diartikan secara mutlak; yakni membaca.[3] Doa menurut istilah adalah memohon hajat kepada Allah Swt. Dalam Al-Qur’an, kata doa dan kata-kata jadiannya (musytaq) itu digunakan sebanyak 13 makna yang berbeda-beda, di antaranya adalah membaca, berdoa, meminta kepada Allah Swt, menyeru, memanggil, mengajak kepada sesuatu atau kepada seseorang, memohon pertolongan dan bantuan; beribadah dan lain sebagainya.[4]
Dari sebagian ayat dan riwayat Islam dapat disinyalir bahwa doa merupakan ibadah dan penyembahan atas Allah Swt. Selain itu, pada sebagian redaksi riwayat dikatakan bahwa “ad du’aa mukhkhul ‘ibadah” (doa itu adalah otaknya ibadah), Dari sini doa juga sama seperti ibadah-ibadah lain yang memiliki syarat-syarat positif dan negatif. Dengan kata lain, supaya doa dapat dilakukan dengan benar dan sempurna serta bisa dikabulkan dan bisa mendekatkan diri (kepada Allah Swt), maka orang yang berdoa harus memenuhi beberapa syarat dan adab. Dan juga harus meninggalkan hal-hal yang dapat menghalangi terijabahnya doa. Dengan ini jelas bahwa sebab tidak diijabahnya sebagian doa karena Allah Swt adalah Maha Bijak lagi Maha Tahu dan seluruh perbuatan-perbuatan-Nya itu berdasar pada hikmah dan maslahat, dan terkabulnya doa itu tergantung pada kemaslahatan. Demikian pula janji dikabulkannya doa itu bergantung kepada maslahat. Apabila ada seseorang yang terhormat lagi mulia mengumumkan; barangsiapa yang menginginkan sesuatu dariku maka aku akan memenuhi permintaannya. Lalu seseorang datang dan meminta sesuatu –dengan berkhayal bisa bermanfaat untuknya– yang pada hakikatnya berbahaya dan bahkan bisa merusak dirinya. Pada kondisi seperti ini, hal yang patut dilakukan oleh orang terpandang lagi mulia tersebut adalah ‘tidak memberi’ dan ‘tidak memenuhi’ permintaan orang tersebut. Jika ia tetap memberi dan memenuhi permintaannya, maka sikap ini bisa digolongkan sebagai perbuatan aniaya dan zalim. Mayoritas permintaan serta permohonan hamba-hamba-Nya itu mengandung hal-hal yang membahayakan diri mereka sendiri, dan mereka tidak menyadari hal ini.[5]
Bersambung ...