Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

KETERBATASAN AKAL DALAM MENGENAL ESENSI TUHAN

0 Pendapat 00.0 / 5


Prolog
Dilihat dari sisi penciptaan, manusia merupakan makhluk yang paling sempurna. Hal itu dapat dibuktikan melalui berbagai sarana yang dimilikinya. Lebih dari itu, para ilmuwan telah membuktikan bahwa di dalam tubuh manusia terdapat berbagai unsur yang terkandung di jagad raya ini. Dengan kata lain, tubuh manusia merupakan miniatur jagad raya. Oleh karena itu, sering dikatakan bahwa manusia merupakan bentuk mikrocosmos. Sementara alam semesta ini sebagai makrocosmos.

Sebagaimana masih banyak teka-teki yang terdapat di alam semesta ini yang belum dapat disingkap oleh ilmu pengetahuan, demikian pula halnya bahwa di dalam tubuh manusia masih banyak persoalan yang menjadi tanda tanya besar bagi para ilmuan. Atas dasar itulah, seorang anthropolog terkemuka yang bernama Alexis Karl memberi nama karyanya tentang manusia dengan judul “Manusia, Makhluk Misterius”.

Dari sekian banyak unsur yang terdapat di dalam diri manusia, akal merupakan unsur terpenting yang membedakan ia dengan makhluk-makhluk hidup lainnya di jagad raya ini. Dengan akal, manusia dapat menentukan mana yang baik dan mana yang buruk. Dengan akal manusia mampu mencapai kemajuan sains dan teknologi. Dan dengan akal pula manusia dapat menjalani hidup bersosial, berpolitik, berbudaya, berbangsa dan bernegara dengan baik. Alhasil, dengan sarana akal manusia dapat mencapai kesempurnaan insaniah-nya. Tanpa akal manusia tidak akan dapat mencapai kesempurnaan dirinya. Dan tanpa akal manusia tak ubahnya bagaikan binatang yang hidupnya monoton dan tidak berkembang sesuai dengan tuntutan hidupnya sebagai manusia.


Akal dan Tuhan
Banyak pihak telah berusaha untuk mendefinisikan akal. Mereka telah mendefinisikan akal dari berbagai sudut pandang. Dalam kajian filsafat etika, biasanya akal dibagi menjadi dua bagian; akal teoritis dan akal praktis. Pada kesempatan ini kami tidak ingin menyibukkan diri untuk menentukan manakah definisi yang benar dan manakah yang salah, atau menjustifikasi semua definisi yang ada. Karena untuk hal itu diperlukan tulisan tersendiri di luar pembahasan ini.

Secara global, akal sering didefinisikan sebagai sarana pendeteksi hal-hal yang bersifat universal. Berangkat dari definisi tersebut, maka akal tidak memiliki kemampuan untuk mendeteksi hal-hal yang bersifat partikular. Dengan uraian singkat ini dapat diambil kesimpulan, bahwa akal memiliki radius kemampuan yang sangat terbatas. Dengan kata lain bahwa akal manusia memiliki batasan-batasan pendeteksian tertentu yang berkaitan dengan hal-hal universal saja. Sedang hal-hal yang sangat partikular, akal akan angkat tangan dan tidak mampu untuk melakukan deteksi.

Untuk membuktikan keterbatasan dan kelemahan akal manusia, kami akan menyinggung dua argumen utama secara jelas dan bersifat rasional, khususnya dalam mendeteksi wujud Tuhan.. Pertama: Sehubungan dengan persoalan “Pembuktian keberadaan Tuhan” kita dapati bahwa semua yang ada di alam semesta ini merupakan hasil ciptaan Tuhan, termasuk manusia dan akalnya. Di dalam kajian ilmu filsafat telah dijelaskan secara detail mengenai hukum kausalitas bahwa “sebab” mesti memiliki semua kesempurnaan eksistensial “akibat”, dan bukan sebaliknya. Dengan ungkapan lain bahwa setiap “akibat” memiliki radius batasan yang lebih sempit dibanding “sebab” nya. Mata rantai sebab-akibat itu terus berjalan secara vertikal hingga berakhir pada satu “sebab” yang tidak memiliki penyebab dan kewujudannya tidak disebabkan oleh sebab apapun, yaitu “sebab” yang tidak memiliki batas dan bersifat absolut. Makhluk manusia merupakan salah satu bagian dari alam semesta yang tidak keluar dari mata rantai penciptaan. Oleh karena itu manusia memiliki keterbatasan dan kekurangan sesuai dengan peringkat eksistensi wujudnya. Sedang eksistensi Tuhan jauh di atas peringkat eksistensi manusia. Dari penjelasan ringkas ini dapat diambil kesimpulan bahwa ciptaan Tuhan yang bernama manusia dengan segala atribut yang disandangnya memiliki keterbatasan yang sangat tebal. Kedua: Setelah Kita ketahui bahwa manusia adalah makhluk yang bersifat terbatas, dan bukan absolut, dengan demikian maka segala hal yang menempel pada dirinyapun tidak bersifat absolut tetapi memiliki berbagai kekurangan dan keterbatasan. Sementara sesuatu yang tidak terbatas dan bersifat absolut itu mustahil menempel dan bersandar pada sesuatu yang terbatas. Tidak seorangpun mengingkari bahwa setiap manusia memiliki akal sebagai alat berpikir. Apabila telah kita buktikan bahwa manusia itu merupakan makhluk dan ciptaan yang memiliki berbagai kekurangan dan keterbatasan, maka -dengan demikian- dapat kita tetapkan pula bahwa akal pikiran manusia memiliki kekurangan dan keterbatasan pula. Dengan memperhatikan secara cermat uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa antara dua bentuk eksistensi terbatas tersebut, yaitu manusia dan akalnya terdapat keserasian. Dan hal itu merupakan konsekwensi logis antara keduanya.

Berkaitan dengan masalah Tuhan, banyak pembahasan teologis dan filosofis yang telah menetapkan bahwa Tuhan bersifat absolut dan tidak terbatas. Sementara akal manusia bersifat terbatas. Merupakan satu hal yang gamblang bagi semua orang bahwa mustahil sesuatu yang terbatas itu mampu mendeteksi semua sisi yang dimiliki oleh eksistensi yang bersifat absolut dan tidak batas. Dengan demikian hanya hal-hal yang bersifat universal dari Tuhan saja yang dapat dideteksi oleh akal manusia. Adapun esensi sejati Tuhan, maka akal manusia tidak mungkin mampu untuk mengenal dan mengetahuinya secara sempurna.


Epilog
Metode apapun yang akan dijadikan landasan dalam upaya mengenal Tuhan dan memahami eksistensi-Nya, ada satu hal yang tidak boleh dilupakan sama sekali oleh setiap orang yang berupaya mengenal wujud Tuhan, yaitu mengakui kekurangan, kelemahan dan keterbatasan daya nalar akalnya. Tanpa mengakui kekurangan dan keterbatasan akalnya tersebut dapat menimbulkan banyak konsekwensi negatif bagi dirinya. Pertama: Dia akan menganggap bahwa hakikat dan esensi Tuhan hanya terbatas pada apa yang dia ketahui. Padahal sebenarnya esensi Tuhan jauh lebih dalam dari apa yang dipahaminya dan tidak mungkin ia dapat mencapainya. Perlu dipahami pula bahwa pemahaman manusia terhadap wujud Tuhan memiliki gradasi yang beragam. Dan pemahamannya itu akan terus berjalan menuju kepada satu titik kesempurnaan insaniahnya. Betapapun sempurnanya pengetahuan manusia -yang bersumber dari akalnya yang terbatas- tentang wujud Tuhan, ia tidak mungkin dapat mencapai hakikat dan esensi Tuhan yang tidak terbatas. Hakikat dan esensi Tuhan, tidak akan pernah dikenal oleh manusia sebagaimana layaknya Dia mengenal zat-Nya sendiri. Hal ini berkaitan dengan persoalan Tuhan itu sendiri.

Kedua: Dia akan merasa sombong dan bangga diri. Dan hal ini merupakan konsekwensi umum yang akan diperoleh setiap pencari Tuhan yang tidak diiringi dengan pengakuan akan kelemahan dan keterbatasan akalnya. Dia akan merasa bahwa pengetahuannya terhadap Tuhan adalah yang terbaik dibanding pengetahuan yang lainnya, dan kesombongan intelektual terhadap sesamanya pun akan menjangkiti hatinya. Semoga kita dijauhkan dari hal itu.