Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Mengenal Ibunda Nabi Muhammad Saw

1 Pendapat 05.0 / 5

Tak diragukan bahwa kualitas spiritual seorang ibu akan memberikan kualitas yang sepadan juga kepada anaknya. Ilmu Psikologi telah membuktikan pengaruh ini. Keadaan maknawi seorang ibu akan berpengaruh kepada anak-anak mereka. Seorang ibu yang mendidik anak-anaknya dengan pendidikan agama dan berdasarkan nilai-nilai akhlak yang terpuji akan menghasilkan pendidikan yang baik dan pribadi-pribadi yang luhur dan mulia. Begitu juga dengan pribadi-pribadi orang-orang mulia, mereka dibesarkan oleh perempuan-perempuan yang sangat luar biasa. Uraian ini akan menjelaskan tentang kepribadian ibunda Nabi Muhammad Saw.

Aminah binti Wahab bin Abdu Manaf lahir dari seorang ibu yang bernama Barah. Abdul Mutthalib meminangkan Aminah untuk putranya Abdullah dan pada akhirnya keduanya dinikahkan oleh Abdul Mutthalib. Aminah kemudian mengandung Nabi Muhammad Saw dan berkata bahwa selama mengandung putranya ia sama sekali tidak pernah merasa susah dan menderita hamil. Kita tidak memiliki akses informasi yang lebih jauh tentang biografi ibunda Rasulullah Saw selain berhubungan dengan kelahiran Rasulullah Saw.

 Aminah binti Wahab bin Abdu Manaf  bin Zahra bin Kilab[1]  lahir dari seorang ibu yang bernama Barah putri Abdul Uza bin Usman bin Abdud-Dar bin Qasha dimana ibu Barah juga adalah putri dari Ummu Habib binti Asad bin Abdul Uza bin Qasha.[2]

Dalam literatur-literatur sejarah, tidak disebutkan secara rinci tentang biografi kehidupan Aminah binti Wahab. Yang disebutkan hanyalah periode-periode khusus seperti pernikahan dengan Abdullah dan masa ketika mengandung Rasulullah Saw.Pernikahan dengan Abdullah dan Masa Mengandung Rasulullah Saw
Setelah peristiwa kurban seratus unta sebagai tebusan tiadanya hewan kurban dari Abdullah, Abdul Mutthalib disertai dengan Abdullah pergi ke rumah Wahab bin Abdu Manaf yang merupakan kepala suku Bani Zahra dan melamar putrinya untuk Abdullah; Aminah yang merupakan salah satu kembang Quraisy untuk Abdullah dan Halah untuk dirinya.[3] Pihak  yang dilamar juga menerima lamaran dan Aminah menikah dengan Abdullah. Pada hari itu juga acara pernikahan berlangsung.[4]

Aminah mengandung Rasulullah Saw dan berdasarkan beberapa nukilan dari Aminah, ia tidak pernah merasakan sakit dan derita selama masa hamil. Katanya, “Tatkala saya mengandungnya saya sama sekali pernah merasa susah sebagaimana lazimnya kaum wanita tatkala mengandung. Suatu waktu saya bermimpi seolah seseorang datang kepadaku dan berkata bahwa engkau tengah mengandung sebaik-baik makhluk; tatkala masa persalinan tiba, kondisinya sangat mudah bagiku.”[5]

Iman Aminah

Salah satu pembahasan penting, iman sebagian kaum Rasulullah Saw dimana banyak tulisan dan kitab yang telah disusun berkaitan dengannya. Akan tetapi secara umum pembahasan ini terkait dengan Abu Thalib. Namun demikian, apakah terdapat pembahasan terkait dengan iman  dan agama yang diikuti oleh Aminah ibunda Rasulullah Saw?
Dalam beberapa literatur Syiah, Aminah diperkenalkan sebagai seorang yang beriman.[6] Akan tetapi menjelaskan tentang seberapa iman dan keyakinannya hal itu perlu dibahas secara terpisah di tempat yang berbeda. Sebagian argumentasi yang menunjukkan pembahasan ini adalah sebagai berikut:

1. Tatkala Rasulullah Saw menyelesaikan haji perpisahan dan dalam perjalanan menuju Madinah, ia mampir di sebuah kuburan yang telah rusak. Ia berdiri di hadapan kuburan tersebut untuk beberapa lama kemudian menangis di atas kuburan. Para sahabat berkata, “Siapa gerangan pemilik kuburan ini wahai Rasulullah.”

Rasulullah Saw menjawab, “Kuburan ibundaku Aminah binti Wahab. Saya memohon kepada Allah Swt untuk memberikan izin kepadaku untuk berzirah kemudian turun izin dan saya pun berziarah.”

Riwayat ini dinukil dalam literatur-literatur Syiah[7] dan Sunni.[8] Berangkat dari riwayat di atas, menurut ayat al-Quran, Rasulullah Saw tidak dibolehkan untuk mendatangi kuburan orang-orang kafir dan musyrik:
«وَلا تُصَلِّ عَلى‏ أَحَدٍ مِنْهُمْ ماتَ أَبَداً وَلا تَقُمْ عَلى‏ قَبْرِهِ إِنَّهُمْ کَفَرُوا بِاللهِ
وَ رَسُولِهِ وَ ماتُوا وَ هُمْ فاسِقُونَ»
            “Dan janganlah kamu sekali-kali menyalatkan (jenazah) orang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan rasul-Nya, dan mereka mati dalam keadaan fasik.“(Qs. Al-Taubah [9]:84)
Dari apa yang telah dijelaskan dapat disimpulkan bahwa Aminah bukan merupakan seorang yang bermazhab kafir dan syirik, melainkan seorang yang beriman.

2. Imam Shadiq As bersabda, “Jibril datang menghadap kepada Rasulullah Saw dan berkata, “Wahai Muhammad! Sesungguhnya Allah Swt memberikan izin kepadamu untuk memberikan syafaata kepada lima orang. (di antaranya) rahim yang mengandungmu yaitu Aminah binti Wahab dan…”[9]  Dari riwayat ini dan riwayat-riwayat yang serupa[10]dapat disimpulkan bahwa Rasulullah Saw adalah pemberi syafaat untuk ibunya yang tentu saja bukan seorang musyrik dan kalau tidak demikian (ibunda Nabi Muhammad Saw itu seorang musyrik) tentu syafaat tidak  berlaku.[11]

Wafat Aminah

Tatkala Rasulullah Saw berusia enam tahun, Aminah beserta Rasulullah Saw melakukan perjalanan ke Madinah. Sebagian dari perjalanan ini dipandang sebagai perjalanan menziarahi kuburan Abdullah suami Aminah yang dilaksanakan bersama Abdul Mutthalib dan Ummu Aiman. Sepulangnya dari Madinah, Aminah wafat.[12]

Sebagian lainnya meyakini bahwa perginya Aminah ke Madinah adalah untuk bersilaturahmi dengan kaumnya dan sepulangnya dari Madinah ia berpulang ke rahmatullah.[13] Boleh jadi kedua nukilan ini ada benarnya dan tujuan Aminah ke Madinah untuk keduanya, berziarah kuburan sekaligus menengok kaumnya. []


[1]. Syaikh Mufid, Muhammad bin Muhammad bin Nu’man, al-Muqni’ah, hal. 456, Qum, Kongre Jahani Hizareh Syaikh Mufid, Cetakan Pertama, 1413 H.
[2]. Thabari, Muhammad bin Jarir, Târikh al-Umâm wa al-Muluk (Târikh Thabari), Riset oleh Muhammad Abu al-Fadhil Ibrahim, jil. 2, hal. 243, Beirut, Dar al-Turats, Cetakan Kedua, 1387 H.
[3]. Ibnu Sa’ad Katib Waqidi, Muhammad bin Sa’ad, al-Thabaqât al-Kubrâ, jil. 1, hal. 76, Beirut, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Cetakan Kedua, 1418 H.
[4]. Abdul Mulk Ibnu Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyah, Riset oleh Mustafa al-Saqa, Ibrahim al-Abyari, Abdul Hafizh Syalbi, jil. 1, hal. 156, Beirut, Dar al-Ma’rifah, Cetakan Pertama, Tanpa Tahun; Ibnu Katsir Dimasyqi, Ismail bin Umar, al-Bidâyah al-Nihâyah, jil. 2, hal. 249, Beirut, Dar al-Fikr, 1407 H.
[5]. Syaikh Shaduq, Kamâl al-Din wa Tamâm al-Ni’mah,Riset oleh Ali Akbar Ghaffari, jil. 1, hal. 196, Tehran, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Cetakan Kedua, 1395 H; Ali Ibrahim Qummi, Tafsir al-Qummi, Riset oleh Sayid Thayyib Musawi Jazairi, jil. 1, hal. 373, Qum, Cetakan Ketiga, 1404 H.
[6]. Syaikh Shaduq, I’tiqâdât al-Imâmiyah, hal. 110, Qum, Kongre Syaikh Mufid, Cetakan Kedua, 1414 H.
[7]. Syaikh Mufid, al-Fushul al-Mukhtarah, Riset dan edit oleh Ali Mir Syarifi, jil. 2, hal. 64, Qum, Kongre Syaikh Mufid, Cetakan Pertama, 1413 H; Muhammad bin Ali, Ibnu Syahr Asyub Mazandarani, Mutasyabih al-Qur’an wa Mukhtalafuh, jil. 2, hal. 64, Qum, Intisyarat Bidar, Cetakan Pertama, 1410 H.
[8] . Umar bin Syabah bin Ubaidah bin Raithah Namiri Basri, Târikh al-Madinah, Riset oleh Fahim Muhammad Syaltut, hal. 119, Jeddah, 1399 H; Ahmad bin Muhammad bin Hanbal Syaibani, Musnad Ahmad bin Hanbal, Riset oleh Syuaib al-Arnuth, Adil Mursyid, jil. 38, hal. 146, Beirut, Muassasah al-Risalah, Cetakan Pertama, 1421 H.
[9]. Syaikh Shaduq, al-Khishâl, Riset oleh Ali Akbar Ghaffari, jil. 1, hal. 294, Qum, Daftar Intisyarat Islami, Cetakan Pertama, 1362 S.
[10]. Muhammad bin Mas’ud Ayyasyi, al-Tafsir, Riset dan edit oleh Hasyim Rasuli Mahallati, jil. 2, hal. 314, Tehran, al-Mathba’ah al-‘Ilmiyah, Cetakan Pertama, 1380 H.
[11]. Silahkan lihat, Syafa’at di Hari Kiamat, Pertanyaan 440.
[12]. Ahmad bin Yahya Beladzuri, , Ansâb al-Asyrâf Riset oleh Suhai Zukar dan Riyadh Zarkili, jil. 1, hal.. 94, Beirut, Dar al-Fikr, Cetakan Pertama, 1417 H.
[13]. Muhammad bin Jarir Thabari Amuli Shagir, Dalâil al-Imâmah, jil. 1, hal. 188, Qum, Bi’tsah, Cetakan Pertama, 1413 H; Taqiyyudin Maqrizi, Imta’ al-Asma bima linnabi min al-Ahwâl wa al-Amwâl wa al-Hafidah wa al-Matâ’, Riset oleh Muhammad bin al-Hammid Namisi, jil. 1, hal. 13, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Cetakan Pertama, 1420 H.