Zainab Al-Kubra, Kualitas Manusia Sempurna (1)
Zainab al-Kubra merupakan manusia sempurna yang memiliki berbagai keutamaan yang telah dijelaskan dalam berbagai riwayat. Berbagai gelar yang disematkan kepada beliau juga telah menunjukkan keagungan dan kesempurnaanya.
Aqilah Bani Hasyim
Di antara julukan termasyhur Zainab al-Kubra ialah ‘Aqilah Bani Hasyim’. Banyak para perawi maupun sejarawan yang menulis nama beliau dengan julukannya tersebut. Abul Faraj Isfahani dalam Muqatil at-Thalibin ketika menjelaskan biografi Aun bin Abdullah, putra Zainab al-Kubra menyatakan, “Ibunya adalah Zainab al-Aqiilah.”
Sahabat Rasulullah SAW seperti Ibnu Abbas telah meriwayatkan khutbah Fadak Sayidah Fathimah Zahra dari Zainab al-Kubra. Ibnu Abbas berkata,“Aqilah kami, Zainab binti Ali telah meriwayatkan kepada kami…”
Terdapat beberapa versi berkaitan dengan arti kata ‘aqilah’. Ibnu Duraid dalam Jamharotul Lughoh berkata, “Fulanah aqilatul qaum, artinya perempuan itu ialah perempuan paling mulia dari kaumnya.” Pendapat ini dikuatkan oleh Ibnu Zakaria dalam Mujmal Lughoh. Ini adalah pandangan beberapa sarjana bahasa.
Adapun versi lainnya adalah bahwa kata aqilah merupakan shighah mubalaghah; bentuk kata dalam tata bahasa arab yang menunjukkan amat atau sangat. Ia memiliki akar kata ‘aql, yang artinya sangat berakal, atau dengan orang yang kapasitas dan kesempurnaan akalnya amat besar.[1]
Julukan agung tersebut dapat lebih kita pahami jika kita menyimak dan menelaah secara seksama isi khutbah Fadak Fathimah az-Zahra as. Bagaimana tidak, khutbah Fathimah az-Zahra as yang amat panjang, sangat fasih dan sarat dengan pembahasan yang sangat tinggi telah diriwayatkan oleh Ibnu Abbas dari Zainab as. Khutbah Fadak berisikan pembahasan tentang kenabian dan risalah Nabi SAW, falsafah dan hikmah hukum-hukum Islam, penuntutan hak-haknya yang telah dirampas, penghakiman atas Abu Qohafah (Abu Bakar) dan kondisi umat setelah wafatnya Nabi SAW dan lain sebagainya.[2]
Padahal, saat Fathimah az-Zahra as menyampaikan khutbahnya, usia Zainab al-Kubra kala itu lima tahun. Itu artinya sejak usia belia, kematangan dan kesempurnaan akal Zainab as sudah tak terbantahkan lagi.
Dalam sebuah riwayat juga telah disebutkan tentang kisah Zainab al-Kubra yang mengisyaratkan tentang kesempurnaan akalnya.
Pada suatu hari, Zainab al-Kubra yang masih kecil bertanya kepada ayahnya, “Ayahku sayang, apakah engkau mencintaiku?” Kemudian Imam Ali as menjawab, “Bagaimana mungkin aku tidak mncintaimu, kau adalah buah hatiku.” Lalu beliau berkata lagi, “Ayahku sayang, kecintaan hanyalah untuk Allah SWT sementara kasih sayang untuk kita.”
Dalam riwayat lain juga telah dijelaskan bahwa suatu hari Imam Ali as mendudukkan putrinya, Zainab di pangkuannya. Kemudian beliau mengelus-ngelus kepalanya dan berkata, “Putriku sayang, katakan satu.” “Satu,” timpal beliau. Kemudian Imam Ali as melanjutkan ucapannya, “Putriku sayang, katakan dua.” Namun Sayidah Zainab diam tidak menjawabnya. Lalu Imam Ali as mengulangi ucapannya sembari berkata, “Berkatalah wahai cahaya mataku.” Saat itu Sayidah Zainab menjawab, “Ayahku sayang, aku tidak dapat mengatakan dua dengan lidahku yang dengannya aku katakan satu.” Mendengar ucapannya itu lalu Imam Ali as memeluk dan menciumnya dengan penuh rasa haru.
Kisah di atas menunjukkan kematangan dan kemampuan daya pikir lebih yang dimiliki oleh Zainab as. Padahal kala itu beliau masih kanak-kanak. Dalam usia dini beliau dapat memahami bahwa saat telah mengatakan Tuhan itu Esa maka tidak mungkin dapat mengatakan Tuhan itu dua.[3]
Dengan kata lain beliau telah memahami kontradiksi antara konsep monoteisme dengan dualisme. Inilah salah satu perwujudan gelar ‘aqilah yang disandang Zainab al-Kubro as berupa kematangan dan kecerdasan akal tinggi.