Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Raghib Ishfahani dan Zamakhsyari: Al-Quran Tentang Pelabelan Kafir Sesama Muslim

1 Pendapat 05.0 / 5

Telah banyak dimuat dalam seri sebelumnya pembahasan seputar pengkafiran atau pelabelan syirik yang dilakukan oleh kelompok Wahabi terhadap kelompok yang tidak sejalan dengan keyakinan yang mereka anut.

Takfir yang dilakukan oleh kelompok ini tidak hanya berkutat pada fatwa belaka, akan tetapi berbuntut kepada penghalalan darah kaum muslimin yang mereka cap sebagai kelompok kafir atau musyrik.

Kenyataan ini telah dituangkan juga di dalam berbagai tulisan sebelumnya; di mana berdasarkan dengan fatwa-fatwa horor ini, telah banyak jiwa yang menjadi korban pembunuhan, tidak sedikit harta benda yang terampas dan tempat suci yang mendapat penghancuran.

Untuk itu, perlu untuk kemudian melihat bagaimana al-Quran memandang fenomena takfir ini.

Ada ayat di dalam al-Quran yang kemudian dijadikan sebagai patokan batas minimal bagi keislaman seseorang; di mana dengan tercapainya batasan tersebut maka seseorang dinyatakan sebagai muslim serta harus diperlakukan sebagai seorang penganut agama Islam.

Allah Swt berfirman:

 قالَتِ الْأَعْرابُ آمَنَّا قُلْ لَمْ تُؤْمِنُوا وَلاكِنْ قُولُوا أَسْلَمْنا وَ لَمَّا يَدْخُلِ الْإيمانُ في قُلُوبِكُمْ

Orang-orang Arab Badui itu berkata, “Kami telah beriman.” Katakanlah (kepada mereka), “Kamu belum beriman, tetapi katakanlah:”Kami telah berislam (tunduk)” karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu.

Di dalam ayat ini telah dinyatakan bahwa untuk masuk dalam golongan Islam cukup dengan pengikraran dengan lisan terhadap keesaan Allah Swt dan kenabian Rasulullah Saw, atau yang disebut dengan pengucapan syahadat.

Demikian Raghib Isfahani seorang pakar kosakata al-Quran dalam mengomentari kalimat “islam” dalam ayat tersebut:

“Dan Islam adalah masuk kedalam ruang lingkup keamanan; memberi keamanan timbal balik sehingga tidak ada yang tersakiti. …….. Ada dua bentuk Islam di dalam syariat. Yang pertama ada di bawah tingkatan iman. Yaitu pengakuan dengan lisan baik bersama dengan keyakinan maupun tidak. Dengan iman semacam ini darah terpelihara (aman). Dan inilah islam yang dimaksud dalam firman Allah Swt: (Orang-orang Arab Badui itu berkata, “Kami telah beriman.” Katakanlah (kepada mereka), “Kamu belum beriman, tetapi katakanlah, kami telah berislam (Kami telah tunduk), karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu[1]. Islam yang kedua berada di atas iman. Yaitu islam yang di samping ada pengakuan, juga disertai dengan keyakinan di dalam hati dibarengi dengan tindakan yang bersamaan dengan penyerahan mutlak atas segala yang ditetapkan dan tentukan oleh Allah Swt.)[2]”

Di dalam literatur ini dinyatakan bahwa cukup dengan pengakuan lahiriah terhadap keesaan Allah Swt dan kenabian Muhammad Saw untuk masuk ke dalam Islam tingkat pertama. Dengan mengucapkan syahadat tersebut seseorang telah mendapat keamanan dan jaminan keselamatan jiwa.

Senada dengan apa yang disampaikan oleh Raghib Ishfahani, Zamakhsyari juga memberikan komentar yang tidak berbeda:

“Maksud “iman” di dalam ayat tersebut (al-Hujarat: 14) adalah pembenaran berbarengan dengan keyakinan dan ketenangan jiwa. Sedangkan “islam” adalah masuk kedalam keamanan dan keluar dari berperang dengan kaum muslimin yang ditandai dengan menyatakan dua kalimat syahadat. Coba perhatikan firman Allah ini: (karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu). Ketahuilah bahwa pengakuan dengan lisan tanpa adanya kesesuaian hati maka itulah islam, sedangkan yang sesuai antara hati dan lisan, itulah yang disebut iman.[3]”

Komentar dari kedua pakar ini menunjukkan bahwa ayat al-Quran di atas (al-Hujarat: 14), telah memberikan penjelasan tentang batasan minimal bagi seseorang untuk dikatakan sebagai muslim. Yaitu ucapan syahadat.

Lebih dari itu, kedua pakar ini juga menyatakan bahwa berislam dengan menyatakan syahadat telah menjadikan seseorang terlindungi darahnya, sehingga tidak ada yang berhak untuk kemudian mencapnya sebagai kafir atau musyrik yang halal darahnya.

Pelabelan kafir atau musyrik berdasarkan dengan ayat di atas yang dibarengi dengan penjelasan kedua tokoh tersebut, merupakan tindakan yang tidak mendapat legimitasi dari al-Quran, atau lebih tepatnya ditetapkan sebagai perbuatan yang salah dan tercela.

[1] Alhujarat/ 14.

[2] Raghib Ishfahani, al-Husain bin Muhammad, al-Mufradat Fi Gharib al-Quran, hal: 240, cet: Dar al-Ma’rifah, Beirut.

[3] Zamakhsyari, Jarullah Mahmud bin Umar, Tafsir al-Kasysyaf, hal: 1041, cet: Dar al-Ma’rifah, Beirut, ke tiga, 1430  H/ 2009 M.