Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Alquran Bukan Kitab Hukum? (1)

0 Pendapat 00.0 / 5

Ada dua kelompok ekstrim yang berpandangan terkait keabsahan Alquran sebagai sumber hukum-hukum Islam.

Kelompok pertama memandang, bahwa Alquran bukanlah sumber hukum karena dia merupakan kitab suci, kalam ilahi yang tidak memiliki hubungan langsung dengan amaliyah (tindakan) keseharian manusia.

Sementara kelompok kedua memandang, bahwa Alquran bukan sumber hukum karena dia tidak berbeda dengan kitab-kitab pada umumnya, yang diciptakan oleh manusia.

Tentu saja kita menolak kedua pandangan tersebut. Kita justru berada di tengah, memandang bahwa Alquran adalah kita suci yang memiliki aspek transenden sekaligus memiliki aspek imanen.

Alquran tidak bisa disamakan dengan makhluk, namun di saat bersamaan ia juga merupakan kitab yang memang diturunkan khusus untuk manusia sebagai sebuah petunjuk atau peta jalan.

Alquran adalah kitab yang mampu menunjukkan kepada manusia cara mendekatkan dirinya kepada Allah Swt, mengajarkannya cara mengekspresikan kehambaan pada Dzat Maha Pencipta. Alquran juga merupakan kitab yang bisa menunjukkan kepada manusia rute menuju kebahagiaan dunia maupun akhirat.

Setiap manusia yang berakal sehat pasti membenarkan, jika ia sadar bahwa dirinya adalah entitas yang diciptakan atau akibat, maka pastilah ia memiliki sebab atau yang menciptakannya.

اَمْ خُلِقُوْا مِنْ غَيْرِ شَيْءٍ اَمْ هُمُ الْخٰلِقُوْنَ ۗ

“Apakah mereka tercipta tanpa asal-usul ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)?” (QS. At-Tur 52: Ayat 35)

Bagi yang berakal sehat, dua pertanyaan pada ayat tersebut tentu keliru, sebab manusia itu adalah makhluk yang membutuhkan sebab.

Manusia adalah mumkinul wujud, ia bisa ada dan bisa pula tidak ada. Dengan kata lain keberadaanya bergantung pada pemberi ada. Mustahil ia ada (mewujud) dengan dirinya sendiri, karena seperti kaidah logis filosofis, “Yang tidak memiliki mustahil memberi”.

Allah lah yang memberikan manusia wujud sehingga menjadi ada. Dia lah yang menyediakan berbagai fasilitas kepada manusia, berbagai karunia kehidupan baginya.

Sampai disini, maka paling tida ada dua kelaziman yang mucul: Pertama, manusia sebagai ciptaan akan terdorong untuk mengenali siapa penciptanya. Kedua, manusia akan mencari tahu bagiamana cara berterimakasih kepada penciptanya.

Untuk bisa berterimakasih kepada Allah Swt, maka manusia harus mengetahui apa yang diinginkan Allah dari nya, mendengarkan kata-kata Nya. Karena syukur itu adalah melakukan perbuatan yang diinginkan oleh Sang Pemberi.

Dalam kehidupan manusia dengan manusia misalnya, jika ada yang memberikan kita sajadah, maka sebagai bentuk terimakasih, kita akan menggunakan sajadah itu sesuai dengan keinginan si pemberi, yaitu agar digunakan untuk salat.

Kita pasti akan disalahkan atau kita dianggap tidak bersyukur, apabila kita menggunakan sajadah tersebut tidak sebagaimana mestinya, misal menggunakannya untuk lap kaki.

Mungkin saja masih ada orang yang ingin berdalih, bahwa setiap pemberian yang telah diberikan itu telah berpindah hak, dan yang menerima bebas memperlakukan pemberian tersebut?

Jika jawaban itu mucul, maka setiap orang berakal tetap akan menyalahkan pandangan demikian, karena setiap orang berakal akan menilai bahwa pemberian harus disyukuri dengan cara melakukan apa yang sesuai dengan keinginan sang pemberi.

Begitu juga dalam konteks wujud atau kehidupan yang diberikan oleh Allah Swt kepada manusia.

Kita yang diberikan berbagai fasilitas dan karunia dari Allah, maka akal sehat kita akan mengatakan wajib bagi kita berterimakasih.

Cara berterimakasih itu tidak bisa semau kita, tidak bisa sesuka hati kita, tapi kita harus bertanya kepada Nya, atau membaca apa yang Dia pesankan kepada kita agar kita menjadi hamba yang benar-benar bersyukur.

Di Sinilah Peran Alquran

Allah Swt telah mengirim Alquran melalui utusan-Nya, Rasulallah Saw. Di dalam Alquran termuat banyak petunjuk, salah satunya adalah tentang bagaiamana cara manusia bersyukur kepada Allah Swt. Inilah yang disebut dengan amalan fiqih atau syariat.

Apa yang harus kita lakukan dan apa yang harus kita tinggalkan. Apa yang selayaknya kita lakukan dan apa yang selayaknya kita tinggalkan. Semua itu bisa kita dapatkan dengan menelaah Firman Allah di dalam Alquran.

Uniknya, ternyata di dalam Alquran, ayat-ayat tentang hukum seringkali disandingkan dengan keimanan.

وَا عْلَمُوْۤا اَنَّمَا غَنِمْتُمْ مِّنْ شَيْءٍ فَاَ نَّ لِلّٰهِ خُمُسَهٗ وَ لِلرَّسُوْلِ وَلِذِى الْقُرْبٰى وَا لْيَتٰمٰى وَا لْمَسٰكِيْنِ وَا بْنِ السَّبِيْلِ ۙ اِنْ كُنْتُمْ اٰمَنْتُمْ بِا للّٰهِ وَمَاۤ اَنْزَلْنَا عَلٰى عَبْدِنَا يَوْمَ الْفُرْقَا نِ يَوْمَ الْتَقَى الْجَمْعٰنِ ۗ وَا للّٰهُ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ

“Dan ketahuilah, sesungguhnya segala yang kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak yatim, orang miskin, dan ibnu sabil, (demikian) jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqan, yaitu pada hari bertemunya dua pasukan. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Anfal 8: Ayat 41)

Ada hubungan yang sangat erat antara keimanan dengan melaksanakan hukum yang telah ditentukan.

Di ayat lain Allah Swt berfirman,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah 1: Ayat 183)

Di samping itu, ternyata menjalankan perintah Allah, mematuhi aturan dan ketentuan-Nya adalah untuk sepenuhnya kebaikan manusia itu sendiri, bukan untuk Allah Swt.

Hal tersebut sebagaimana tergambarkan pada firman Allah,

وَلِلّٰهِ عَلَى النَّا سِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَا عَ اِلَيْهِ سَبِيْلًا ۗ وَمَنْ كَفَرَ فَاِ نَّ اللّٰهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعٰلَمِيْنَ

“Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Barang siapa mengingkari (kewajiban) haji, maka ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam.” (QS. Ali ‘Imran 3: Ayat 97)

Apakah Allah membutuhkan ibadah haji yang kita lakukan? jawabannya adalah tidak, Allah Swt tidak membutuhkan apa pun dari kita!

Selanjutnya, Alquran juga menyebutkan bahwa aturan, perintah dan larangan Allah Swt itu memiliki makna filosofisnya. Allah tidak serta merta melarang dan membolehkan manusia melakukan suatu tindakan tanpa alasan yang baik.

Semua ketetapan Allah, tentu saja hadir untuk kemaslahatan manusia. Setiap perbuatan yang Allah perintahkan, tidak lain karena di dalamnya ada kebermanfaatan. Begitu juga sebaliknya ketika Allah melarang, disana ada kerugian.

Coba simak ayat tentang larangan meminum “khomar” dan melakukan “judi”. Dua hal itu akan mendatangkan kerugian yang sangat besar bagi manusia.

Bersambung ...