Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Alquran Bukan Kitab Hukum? (2)

0 Pendapat 00.0 / 5

Di ayat yang lain Allah pun mengatakan bahwa dua tindakan itu adalah ajakan setan,

“Dengan minuman keras dan judi itu, setan hanyalah bermaksud menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu, dan menghalang-halangi kamu dari mengingat Allah dan melaksanakan salat, maka tidakkah kamu mau berhenti?” (QS. Al-Ma’idah 5: Ayat 91)

Ayat Alquran adalah petunjuk bagi kehidupan manusia. Ia bukan sekedar bacaan yang perlu dibaca dan mendapatkan pahala, namun tidak behubungan dengan kehidupan.

Sehingga ada yang berpandangan bahwa Alquran bukan kitab hukum, melainkan hanya firman-firman Allah yang tinggi dan agung.

Namun di saat yang saat yang sama kita juga menolak bahwa Alquran adalah kitab yang dapat dipahami dengan mudah oleh setiap orang, dan setiap orang bisa mengamalkan ajaran Alquran sesuai dengan pemahamannya.

Tentu tidaklah demikian. Di antara kedua pandangan itu perlu dijelaskan bahwa benar bahwa Alquran merupakan kalam (perkataan) Allah yang suci, namun ia tetap bisa dipahami oleh manusia.

Alquran adalah kalamun arabiyyun mubin (dia adalah kata-kata yang berasal dari bahasa Arab yang jelas), namun karena dia diturunkan untuk manusia di segala waktu dan ruang, di setiap zaman dan generasi, maka Alquran memuat nilai-nilai global-universal.

Jika ia dibuat secara terperinci atau spesifik, maka bisa jadi Alquran hanya berlaku pada masa tertentu dan tidak relevan lagi untuk masa-masa yang akan datang.

Sampai disini, maka perlu figur-figur manusia mulia yang mampu memahami dan menafsirkan Alquran, sehingga nilai-nilai universal itu memiliki konteksnya di setiap zaman.

Ada sosok Rasulallah Saw yang menjabarkan Alquran, menghubungkan ayat-ayatnya sehingga menjadi lebih spesifik, membuahkan hukum lewat hadis-hadis, kemudian ada para Imam Ahlul Bait, para ulama dan seterusnya.

Sekali lagi, universalitas Alquran tak membuatnya menjadi sebuah kitab yang tidak bisa dipahami, justru karena dia adalah sumber hukum yang relevan untuk setiap zaman, maka Allah jadikan Alquran memuat nilai-nilai universal itu.

Madzhab Ahlul Bait meyakini, bahwa ayat-ayat Alquran itu tidak diturunkan kepada Nabi Muhammad untuk kemudian langsung bisa dipahami oleh masyarakat umum. Melainkan kepada manusia-manusia yang memiliki ilmu dan kapasitas tertentu, seperti para Imam Ma’sumin (manusia suci).

250 tahun lamanya, para Imam dari keturunan Rasulallah mengawal Alquran, memetik hukum-hukum Allah darinya, kemudian menyampaikannya kepada manusia biasa.

Madzhab Ahlul Bait pun menolak apabila dikatakan bahwa penafsiran Alquran yang universal itu tidak mungkin bisa dipahami karena pasti akan memunculkan pemaknaan yang relatif, belum tentu benar, dan tidak ada kewajiban mengamalkan hukum yang disandarkan darinya.

Mengapa kita menolak? Sebab Alquran sendiri yang memerintahkan manusia untuk berpegang teguh padanya, menjadikannya sebagai petunjuk. Hadits Nabi pun memerintahkan hal serupa.

Jadi kesimpulannya, Alquran sebagai kitab suci, memang tidak seluruhnya mengandung hukum-hukum Allah, tapi paling tidak sebagiannya mengandung hal itu, di samping memuat hal-hal yang berkaitan dengan penciptaan, fenomena alam, sosial kemasyarakatan, kematian dan sebagainya.

Kebenaran bahwa Alquran tidak sepenuhnya memuat ayat-ayat tentang hukum tidak bisa menjadi dasar kita untuk menolaknya sebagai sumber hukum. Tapi kita bisa mengatakan bahwa Alquran adalah kita yang sebagiannya mengandung hukum-hukum Islam yang wajib kita lakukan ataupun yang harus kita tinggalkan.

Pada saat yang sama kita juga menolak anggapan bahwa Alquran adalah kitab suci yang mudah dipahami. Tidak sembarang orang bisa memahami Alquran, dibutuhkan ilmu, kebahasaan, kaidah-kaidah, juga kesucian diri.

Saya ingin mencontohkan sikap dua ulama kita yang terkenal, yakni Syahid Murtadha Muthahari dan Allamah Husei Thabathbai.

Dalam bukunya berjudul Jilbab atau Hijab. Syahid Muthahari mengupas tentang hukum menggunakan jibab bagi perempuan berdasarkan ayat-ayat Alquran dan hadits, tetapi tetap saja ia menggarisbawahi bahwa dirinya bukanlah ahli fiqih atau hukum, sehingga apa yang ia simpulkan tidak wajib diikuti sebagai suatu fatwa.

Ia hanya menegaskan bahwa itu merupakan suatu kajian dan renungan pribadinya tentang ayat serta hadits berkenaan dengan hijab bagi perempuan.

Begitu juga dengan Allamah Husein Thabathbai. Ulama yang menulis tafsir mizan, yang mendalami Alquran dengan metode yang benar dan komprehensif, saat berbicara tentang ayat-ayat hukum, maka ia selalu menggarisbawahi bahwa ia tidak sedang membuat fatwa.

Ini menunjukkan bahwa ayat-ayat hukum dalam Alquran itu di satu sisi bisa dipahami karena harus diamalkan, namun pada saat yang sama, tidak sesederhana seperti apa yang dipahami oleh masyarakat awam.

Jadi kesimpulannya, Alquran adalah sumber pertama dan utama hukum-hukum Allah Swt. Dari Alquran kita ditunjukkan tentang apa yang harus kita lakukan maupun apa yang harus kita tinggalkan.

Hal itu selaras dengan apa yang digambarkan beberapa ayat Alquran sendiri, Alquran mempredikatkan dirinya sebagai hudan lil muttaqin (petunjuk bagi orang-orang bertaqwa), kadang ia juga menyebut dirinya sebagai hudan li an-nas (petunjuk bagi umat manusia), atau dengan kata yang identik, Alquran menjelaskan dirinya sebagai nur (cahaya), siraj (pelita), busyra (kabar gembira) yang kesemuanya memiliki keterkaitan dengan makna petunjuk.