Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Hakikat Dunia di Mata Para Sufi

0 Pendapat 00.0 / 5

“Dunia ini adalah seorang janda tua yang telah bungkuk dan beberapa kali ditinggal mati suaminya”

Hasan Bashri (21-110 H)

Bila memandang dunia dengan nafsu syahwat maka dunia akan kelihatan seperti wanita cantik jelita yang tubuhnya dipenuhi perhiasan dan asesoris lainnya. Mata yang melihatnya akan terpesona dan terpikat olehnya. Sehingga membangkitkan gairah syahwat yang memicu bagaimana cara memilikinya.  Karena hati sudah terlanjur cinta, maka dengan cara apapun akan dilakukannya asalkan dapat memilikinya sekalipun harus melewati jalan yang terjal. Itulah dunia yang selalu tampil mempesona di hadapan manusia. Padahal itu semua adalah pesona semu yang tidak mempunyai keindahan keabadian.

Terkadang dunia juga terlihat seperti birunya laut, langit dan gunung ketika dipandang dari kejauhan. Namun setelah didekati ternyata warna biru itu hanyalah bualan yang menipu mata kita. Dunia terkadang juga seperti fatamorgana yang tampak ada gelombang air jika dilihat dari kejauhan, namun setelah didekati ia menghilang dan semakin jauh lari kedepan. Artinya dunia tampak indah dari kejauhan namun setelah di dekati baru kelihatan palsunya. Diri kita sering tertipu oleh dunia. Tertipunya kita karena cara pandang yang salah terhadap dunia. Kita lupa bahwa dunia ini adalah makhluk yang memiliki sifat kehancuran dan fana.

Jika kita memandang dunia dengan pandangan biasa-biasa saja maka tidak ada yang istimewa di dunia ini. Memandang harta biasa saja, harta adalah titipan Allah Swt. kepada hamba yang Ia kehendaki. Karena titipan, sewaktu-waktu diambil oleh-Nya sebagai pihak yang punya, tidak menjadi persoalan. Dan kita sebagai pihak yang dititipi tidak merasa kehilangan. Ikhlas melepaskannya. Sikap seperti ini akan menjadi terapi stres bagi kehidupan. Kaya miskin adalah suratan dari-Nya. Yang kaya tidak boleh menyombongkan kekayaannya yang miskin harus mampu menjadi orang yang sabar. Yang kaya menggunakan hartanya untuk menolong orang lain dan kemaslahatan umat. Yang miskin berjuang dengan kesabarannya. Inilah keharmonisan amaliyah umat Islam. Jika ini bisa diwujudkan hidup semakin damai dan tentram.

Memandang jabatan atau tahta biasa saja. Jabatan adalah amanah bukan sebuah kebanggaan namun sebuah tanggung jawab yang besar. Banyak orang yang berebut ingin menjadi pejabat. Tidak tahu, apa sih sebenarnya yang istimewa menjadi seorang pejabat? Bukankah menjadi pemimpin itu justru menambah beban hidup, kesibukan dan tanggung jawab pasti bertambah, masalah silih berganti pasti datang dan pergi. Kalau dihitung-hitung secara gaji dan materi, kayaknya tidak lebih banyak dari pengusaha keuntungannya. Mungkin  masih banyak penjual nasi pecel dari pada gaji menjadi pemimpin. Ternyata, yang dikejar itu bukan gajinya, ada hal yang lebih nikmat di hati pemimpin yang sangat diidam-idamkan yaitu pengaruh, pengikut, kepercayaan, dan pengakuan. Secara psikologis manusia itu membutuhkan sebuah kepercayaan dan pengakuan dari pihak lain. Hal inilah yang tidak bisa dibeli dengan uang. Ada kepuasan tersendiri disini ternyata.

Dalam pandangan penulis, menjadi pejabat bukan berarti mempunyai jabatan tetapi membawa amanah yang kelak harus dipertanggung jawabkan baik secara formal di dunia di hadapan manusia atau kelak di akhirat di hadapan Allah Swt. Maka pemimpin itu pada hakekatnya berjalan di atas dua titian, kaki kanan menginjak surga dan kaki kiri menginjak neraka. Tinggal ia akan jatuh ke arah mana. Menjadi peminpin yang adil pasti jaminannya surga sebagaimana sabda Nabi Saw.

سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللّهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلاَّ ظِلُّهُ: الإِمَامُ الْعَادِلُ ….

Artinya:

“Ada tujuh golongan manusia yang nanti  akan dinaungi Allah dalam naungan ‘arasy-Nya pada hari yang tiada naungan selain naungan Allah, yaitu : seorang pemimpin yang adil.” (HR. Muslim)

Ternyata dunia itu seperti perempuan janda tua yang bungkuk. Perempuan yang sudah tidak lagi bisa memikat hati laki-laki, ditambah fisik yang tak sempurna lagi. Sebenarnya dunia itu seperti itu, kemewahannya terbatas, keindahannya sementara, kenikmatannya juga ada masa kadaluarsanya, bagaikan kecantikan seorang wanita yang hilang dimakan usia. Ketika ia sudah ditinggal mati suaminya berkali-kali, tidak ada lagi laki-laki yang mau padanya. Jika seseorang sadar bahwa dunia hakikatnya seperti itu, maka hati seseorang tidak akan hanyut dalam mencintai dunia. Dunia hanya dipandang sebagai washilah bukan tujuan.