Perbedaan antara Ilmu Gaib Para Kekasih Allah dan Ramalan Peramal Nasib
- Dipublikasi pada
-
- pengarang:
- Ayatullah Natsir Makarim Syirazy
- Sumber:
- buku 110 Perkara Iman yang Menyehatkan Akal
Ramalan-ramalan para petapa dan kabar-kabar gaib para astrolog (ahli nujum) tidak dapat dianggap sebagai informasi yang meyakinkan dan lepas dari kesalahan. Ramalan mereka acap kali keliru. Oleh karena itu, informasi yang mereka berikan tidak dapat dianggap sebagai ilmu gaib. Kemudian, kerap mereka sendiri mengakui bahwa informasi yang mereka miliki bersumber dari setan, dan mereka tidak selamanya berkata benar kepada kita.
Dengan ungkapan lain, informasi yang mereka peroleh itu berdasarkan pelatihan yang mereka tempuh selama ini. Mereka melihat phantom (momok) dari kejauhan di ufuk benak mereka. Mereka menafsirkan phantom ini. Terkadang tafsir ini benar, terkadang juga keliru. Ibarat orang yang bermimpi, terkadang penakwilannya terhadap mimpi tersebut benar, terkadang juga keliru. Informasi yang bersumber kepada kesangsian dan sumber yang tidak paten sekali-kali tidak akan disebut sebagai ilmu gaib.
Ilmu gaib hanya khusus pada Tuhan yang merupakan ilmu Zati dan independen. Dengan demikian, tidak seorang pun yang mendapatkan informasi tentang gaib secara mandiri kecuali manusia-manusia pilihannya, seperti para nabi dan imam maksum. Apa pun yang dimiliki mereka bersumber dari anugerah Tuhan, dan berdimensi natural.
Bukti dari kompromi ini adalah dalam surat al-Jin ayat 26 dan 27: “[Ia adalah Tuhan] Yang Maha Mengetahui yang gaib. Maka Ia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang gaib itu, kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya…”
Juga dalam Nahj al-Balaghah terdapat indikasi yang sama, tatkala Imam Ali a.s. memberikan berita tentang kejadian yang akan terjadi pada masa yang akan datang (dan meramalkan serangan Mongol ke berbagai negeri Islam). Salah seorang sahabat bertanya: “Wahai Amirul Mukminin! Apakah Anda memiliki ilmu gaib?” Amirul Mukminin tersenyum simpul dan menjawab: “Ini bukan ilmu gaib. Ilmu ini aku terima dari pemilik ilmu, Nabi Saw!”
Ada dua bagian ilmu gaib: bagian khusus untuk Tuhan dan tidak seorang pun yang tahu kecuali diri-Nya, seperti datangnya Hari Kiamat dan masalah-masalah yang serupa dengannya. Bagian ilmu ini juga telah diajarkan kepada para nabi dan para imam maksum a.s. Disebutkan di dalam Nahj al-Balaghah pada khotbah yang sama di atas, “Ilmu gaib hanya berlaku pada ilmu tentang Kiamat dan apa yang difirmankan oleh Tuhan dalam ayat, Ketahuilah bahwa Kiamat adalah khusus urusan Tuhan dan Dia-lah yang menurunkan hujan dan apa yang terkandung dalam rahim ibu, dan tidak seorang pun yang tahu apa yang dilakukannya esok atau di bumi mana ia akan mati… Semua ini merupakan ilmu gaib. Tidak ada yang mengetahuinya selain Allah Swt. Selain itu, Dia telah mengajarkan ilmu-ilmunya kepada Nabi Saw dan beliau mengajarkannya kepadaku.”
Barangkali sebagian orang mendapatkan ilmu ijmali (global) tentang keadaan janin atau turunnya hujan. Akan tetapi, ilmu tafshili (detail) dan pengetahuan tentang partikular-partikular hal ini khusus bagi Allah Swt, seperti ilmu tentang Hari Kiamat. Kita hanya memiliki ilmu global tentang hal itu, dan tidak memiliki pengetahuan tentang rincian perkara tersebut. Sekiranya terdapat dalam riwayat yang menyebutkan bahwa para nabi atau imam mengetahui sebagian kondisi seseorang atau akhir usianya, ilmu itu hanya bersifat global.
Terdapat sebuah hadis dari Imam Shadiq a.s.: “Allah Swt memiliki ilmu yang tidak seorang pun mengetahuinya kecuali diri-Nya, dan Ia mengajarkannya kepada para malaikat dan nabi. Kami mengetahui apa yang diberikan kepada para malaikat dan para nabi.” (Bihar al-Anwar, 26/160)
Allah Swt secara aktual mengetahui segala rahasia yang gaib. Akan tetapi, para nabi dan wali boleh jadi secara aktual tidak memiliki banyak pengetahuan tentang rahasia-rahasia gaib. Akan tetapi, ketika mereka menghendaki, Allah Swt mengajarkannya kepada mereka. Dan tentu saja kehendak ini dapat terlaksana sesuai dengan izin-Nya. Dengan demikian, ayat-ayat dan riwayat-riwayat yang memaparkan bahwa mereka tidak mengetahui hal-hal yang gaib, menyiratkan bahwa mereka tidak memilikinya. Sekiranya beliau mengetahui bahwa tidur di atas pembaringan Nabi Saw di pagi harinya beliau akan terbangun dalam keadaan selamat, maka pengorbanan beliau ini tidak menjadi sebuah kebanggaan.