Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Ayatullah Khu’i: Hukum Islam Berlaku pada Orang yang Berikrar Syahadatain

1 Pendapat 05.0 / 5

Menanggapi paham radikalis Takfiri yang menimbulkan kericuhan dalam barisan umat Islam bahkan menyebabkan pertumpahan darah serta kerugian materi, beberapa ulama memberikan kecaman, kritikan serta kembali mempertegas dan menjelaskan batasan Islam yang semestinya dipahami.

Seperti yang telah dijelaskan dalam tulisan-tulisan sebelumnya, paham yang memiliki peran urgen dalam gerakan kebangkitan kerajaan Saudi tersebut seolah mengaburkan asas utama dan tolok ukur yang membuat seseorang menjadi muslim.

Syekh Mirza Ali Al-Gharawi, seorang ulama yang ahli di bidang fikih dan ushul serta guru di Hauzah ilmiyah juga salah satu marja taklid, telah menyusun catatan penjelasan gurunya yaitu Ayatullah Khu’i terhadap kitab Al-Urwah Al-Wutsqa.

Kitab tersebut ditulis oleh Sayid Muhammad Kazhim Thabathabai Yazdi (1247-1337 H) dan merupakan salah satu kitab masyhur di Hauzah ilmiyah yang memuat kajian-kajian fikih serta menjadi sorotan fuqaha dalam seabad terakhir.

Dalam pembahasannya mengenai shalat mayit, disebutkan bahwa shalat tersebut wajib atas (mayit) seorang muslim tanpa membedakan apakah dia itu adalah seorang yang adil atau fasik, syahid atau selainnya bahkan bagi pelaku dosa besar dan juga bahkan seseorang yang bunuh diri.

Berangkat dari itu, dalam pembahasan yang panjang Syekh Ali Al-Gharawi mencatat maksud dari seseorang dapat dikatakan sebagai seorang muslim. Disebutkan:

أنّ الإسلام لا يعتبر فيه الإيمان، و إنّما تترتب أحكام الإسلام علي مجرّد إظهار الشهادتين، و بذلك حقنت الدماء و جرت المواريث و جاز النكاح

“..Bahwa Islam itu tidak mesti ada iman di dalamnya, melainkan hukum-hukum Islam itu hanyalah berlaku dengan sebatas pengikraran Syahadatain, dan dengan itu darah menjadi haram, warisan terjalin serta pernikahan dibolehkan..”[1]

Dari kutipan di atas menjadi jelas bahwa tolok ukur keislaman cukup dengan seseorang secara lahiriah berikrar mengucapkan Syahadatain, kemudian setelah itu berlakulah padanya hukum-hukum seorang muslim yang diantaranya menjadi haram darahnya alias harus dijaga, begitu pula dengan hal-hal lain yang berkaitan dengannya.

[1] Al-gharawi, Mirza Ali, Al-Tanqih fi Syarhi Al-Urwah Al-Wutsqa (Mausuah Al-Imam Al-Khui), Muasasah Ihya Atsar Al-Imam Al-Khui, jil: 9, hal: 178.