Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Narasi Kelahiran Al-Husain a.s. (2)

2 Pendapat 05.0 / 5

Setelah menimang-nimang beberapa saat lamanya, beliau meletakkan cucu yang baru lahir itu di atas pangkuannya. Begitu beliau mengamati cucu yang dipangkunya itu, wajah beliau yang semulanya cerah berseri-seri mendadak berubah menjadi suram, kemudian sambil memeluk cucunya beliau menangis terisak-isak.

Asma yang sejak menyerahkan bayi itu ke tangan Rasulullah selalu memandang ke arah beliau, sangat terkejut dan keheran-heranan melihat wajah beliau berubah dan menangis. Ia memberanikan diri bertanya: “Ya Rasul Allah, mengapa Anda menangis dengan penuh kesedihan?” Dengan suara parau dan sambil menahan tetesan air mata beliau menjawab: “Aku menangisi anakku ini, karena kelak ia akan dibunuh oleh orang-orang durhaka. Asma, janganlah kau beritahukan hal itu kepada ibunya. Kasihan, ia baru melahirkan…..”

Pernyataan Rasulullah Saw itu menunjukkan, bahwa beliau telah menerima pemberitahuan dari Allah Swt tentang nasib yang akan menimpa cucunya yang baru lahir itu. Apa yang dinubuatkan oleh beliau itu memang kelak akan terbukti. Surat takdir yang diterima beliau pada tahun ke-4 Hijriyah itu, di kemudian hari akan menjadi kenyataan pahit yang dialami oleh cucu beliau. Asma, sang pendamping setia Sayidah Fatimah a.s. tetap berpegang teguh pada amanat yang dipesankan Rasulullah Saw

Menurut Ibnul-Atsir di dalam bukunya Al­Kamil meriwayatkan bahwa beberapa waktu setelah kelahiran Al-Husain, Rasulullah Saw pernah memberikan segumpal tanah yang pernah diterimanya dari Malaikat Jibril a.s. kepada istri beliau yang bernama Ummu Salamah. Konon tanah itu berwarna kuning kecokelat-cokelatan, berasal dari sebuah tempat yang kelak akan dibasahi oleh darah Al-Husain akibat pembunuhan biadab terhadap dirinya. Kepada Ummu Salamah beliau berpesan: “Apabila segumpal tanah ini berubah menjadi darah, maka ketahuilah bahwa hal itu merupakan pertanda bahwa Al-Husain telah wafat akibat pembunuhan.”

Sesuai dengan pesan Rasulullah Saw itu, gumpalan tanah tersebut disimpan baik-baik oleh Ummu Salamah di dalam sebuah botol. Di kemudian hari terbukti, tepat pada waktu gugurnya Al­Husain dalam peristiwa pembantaian di Karbala, gumpalan tanah yang disimpan bertahun-tahun oleh Ummu Salamah itu mendadak berubah menjadi darah. Melalui isyarat itu Ummu Salamah merupakan orang pertama yang mengetahui wafatnya Al-Husain. Dengan hati yang amat sedih ia memberitahukan isyarat tentang wafatnya cucu Rasulullah Saw itu kepada orang-orang di Madinah.

Imam Ali bin Abi Thalib a.s. pun jauh-jauh hari telah mengetahui kemalangan yang akan menimpa putranya. Diriwayatkan beberapa saat setelah Al-Husain a.s. lahir,  Salman al-Farisiy datang kepada Imam Ali untuk menyampaikan ucapan selamat atas kelahiran putranya yang kedua. Alangkah herannya Salman ketika melihat wajah menantu Rasul itu tampak sedih. Kenyataan itu tidak sesuai dengan kebiasaan yang berlaku di kalangan bangsa Arab, yang lazim menyambut gembira kelahiran seorang anak lelaki. Salman bertanya: “Hai Ali, kenapa Anda tampak sangat sedih? Bukankah seharusnya Anda bergembira dengan lahirnya seorang anak lelaki?”

Pertanyaan itu dijawab oleh Imam Ali bahwa ia mempunyai firasat buruk mengenai nasib putranya di kemudian hari. Dikatakan olehnya, bahwa Al-Husain a.s. kelak akan wafat dalam keadaan menyedihkan akibat pembunuhan biadab yang akan dilakukan oleh orang-orang durhaka. Seusai menceritakan nasib hari depan putranya, sekalipun Imam Ali orang yang berhati sekeras baja dan seorang pemberani sehingga memperoleh gelar “Singa Allah”, namun sebagai ayah tak sanggup menahan kehancuran hatinya. Ia menelungkupkan tangan pada mukanya seraya menangis sedu-sedan.