Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Malam Al-Qadr dan Akhir Hayat Terbaik Amirul Mukminin

1 Pendapat 05.0 / 5

Pemimpin kaum beriman, Ali bin Abi Thalib a.s., dilahirkan di dalam Ka’bah dengan mukjizat terbelahnya dinding Ka’bah. Setelah lebih dari 1400 tahun, jejak terbelahnya dinding Ka’bah ini pun masih dapat disaksikan secara langsung pada kiblat kaum Muslimin.

Lantas bagaimanakah kiranya akhir hayat Sang Putra Ka’bah ini?

Salah satu zikir yang dianjurkan pada malam Al-Qadr ini (19, 21 dan 23 Ramadan) adalah pelaknatan terhadap pembunuh Imam Ali a.s. Dialah Abdurrahman bin Muljam, manusia paling sial dari awal hingga akhir manusia.

Apakah terlintas dalam pikiran seseorang di antara kita untuk merenungkan sosok pembunuh Imam Ali a.s. ini? Padahal dia salah satu tema terpenting yang wajib kita renungkan pada malam Al-Qadr seperti ini.

Lantas bagaimana mungkin peristiwa akhir hayat sosok agung Imam Ali a.s. ini menjadi sebuah peristiwa yang mengejutkan setelah peristiwa agung saat kelahirannya?

Tidakkah imam agung yang dikehendaki Allah untuk dilahirkan di dalam Ka’bah ini meninggalkan pesan untuk umatnya melalui peristiwa syahadahnya?

Pada saat yang sama, tidakkah Allah Swt hendak membuka mata kita tentang sosok pembunuh Imam Ali a.s. seolah Dia berfirman, “Perhatikanlah siapa pembunuh pemimpin kaum beriman!”

Karena itu, sepatutnya bagi kita untuk merenungkan tema “akhir hayat terbaik” yang merupakan bagian inti dari hal-hal yang harus dilakukan pada malam ini. Malam-malam yang merupakan malam perenungan tentang akhir hayat terbaik pada dua sisi.

Sisi pertama adalah Ibnu Muljam yang pada mulanya adalah salah satu sahabat dan pendukung setia Amirul Mukminin a.s., namun kemudian berbalik arah menjadi pembunuhnya.

Sisi kedua adalah Imam Ali a.s. itu sendiri yang pernah memperoleh kabar dari Rasulullah Saw tentang akhir hayatnya.

Suatu malam di bulan Ramadan, Rasulullah Saw menangis, lalu Imam Ali bertanya, “Apa yang menyebabkanmu menangis, wahai Rasulullah Saw?”

Rasulullah Saw menjawab, “Hai Ali, aku menangis karena peristiwa yang akan menimpamu pada bulan seperti ini. Seolah-olah aku menyaksikanmu sedang salat kepada Tuhanmu… lalu seseorang menebasmu dari dekatmu sehingga darah terkucur hingga janggutmu.”

Ali bertanya kembali, “Wahai Rasulullah, apakah kala itu aku dalam keadaan berpegang teguh pada agamaku?”

Rasulullah Saw menjawab, “Ya. Engkau berpegang teguh pada agamamu.” (al-Amali, Syekh as-Saduq, h. 93)

Perhatikanlah pribadi yang haknya dituturkan oleh Imam Ja’far as-Sadiq a.s., “Ali pembagi surga dan neraka.” (Tafsir al-Qummi, j. 2, h. 234) Bagaimana mungkin sosok yang digambarkan sebagai penentu ahli surga dan neraka saja masih mengkhawatirkan akhir hayatnya?

Sementara bila kita merenungkan periode awal kehidupan sang pembunuh terkutuk, Ibnu Muljam, barulah kita pantas mencemaskan akhir hayat kita!

Pada malam ini, ketika kita menyaksikan Amirul Mukminin a.s. dan kecemasannya pada akhir hayatnya, pada saat yang sama, kita harus mencemaskan diri kita setelah menyaksikan akhir hayat buruk dari Ibnu Muljam. Seseorang yang pada periode awal merupakan seorang yang baik, namun berakhir sebagai orang tersial dari kelompok pertama hingga kelompok terakhir.

Ibnu Muljam bukanlah termasuk kelompok awam dan pandir. Dia termasuk pelantun, guru dan ahli Al-Quran. Dia memiliki rumah yang luas di Madinah sebagai tempat diskusi dan pembelajaran Al-Quran bagi masyarakat di sekitarnya.

Pada bulan musim semi Al-Quran ini, Allah Swt hendak memberi pelajaran kepada kita tentang sosok Ibnu Muljam agar hati kita tidak merasa puas dan nyaman dengan akhir hayat kita.

Usai menerima baiat dari masyarakat sebagai khalifah ke-4, Imam Ali a.s. mengirimkan surat kepada Gubernur Yaman agar meminta baiat dari penduduk setempat dan mengirimkan sepuluh putra terbaik Yaman kepada Imam Ali a.s.

Imam Ali a.s. berkata, “… Dan kirimkanlah kepadaku sepuluh orang yang paling cerdas, fasih, dan tepercaya dari mereka yang kelak akan menjadi bala bantuan terkuat yang baik pemahamannya, keberaniannya, makrifat kepada Allah, berpengetahuan agama, dan berpikiran jernih.” (Bihar al-Anwar, j. 42, h. 260)

Gubernur Yaman pun melaksanakan perintah Imam Ali a.s. dengan memilih seratus dari mereka. Lalu diseleksi menjadi tujuh puluh, lalu tiga puluh dan seleksi terakhir hingga sepuluh orang. Di antara sepuluh orang terbaik itu adalah Abdurrahman bin Muljam al-Muradi.

Sepuluh orang ini menghadap kepada Imam Ali a.s. seraya mengucapkan salam dan selamat sebagai khalifah kaum Muslimin. Imam Ali a.s. membalas salam dan menyambut mereka. Ibnu Muljam pun maju ke hadapan Imam Ali a.s. seraya berkata, “Salam atasmu wahai imam yang adil, sang purnama, singa pemberani, pahlawan petarung sejati, dan penghulu para penunggang.”

Usai Ibnu Muljam menebas Amirul Mukminin dan dibelenggu oleh para sahabat Imam, Imam Ali a.s. bertanya kepadanya, “Apakah aku seburuk-buruk pemimpin bagi Anda sehingga Anda membalasku seperti ini? Bukankah aku pernah menjadi temanmu, mendahulukanmu dari yang lain, berbuat ihsan kepadamu, melebihkan jatahmu? Bukankah orang-orang mengatakan tentang dirimu begini dan begitu, tetapi aku membiarkanmu dan aku tetap menganugerahkanmu pemberianku?”

Amirul Mukminin Ali a.s. mengasihi Ibnu Muljam sebagaimana terekam pada lembaran sejarah, “Ketika mereka bertekad untuk memberontak, Ibnu Muljam sakit keras. Mereka berangkat dan meninggalkannya. Setelah sembuh, Amirul Mukminin mendatanginya. Dia tidak meninggalkannya siang dan malam. Imam menjamin kebutuhannya, memuliakannya, mengundang ke rumahnya, dan mengakrabinya,” (Bihar al-Anwar, j. 42, h. 262)

Pada majelis spiritual malam-malam Ramadan ini, boleh jadi Anda senang saat menyaksikan seorang pemuda biasa hadir dan menangis. Sementara, saya lebih senang menyaksikan pemuda yang taat beragama hadir dan menangis.

Boleh jadi Allah mengampuni pemuda biasa itu. Tetapi Anda patut mencemaskan para pemuda yang taat beragama tentang bagaimana akhir hayat mereka kelak.

Sebab Amirul Mukminin a.s. berkata, “Betapa banyak yang gemar melakukan dosa, namun berakhir dengan kebaikan. Sementara betapa banyak pula yang gemar melakukan amal kebajikan yang dirusak pada akhir hayatnya menjadi penghuni neraka.” (Tuhaf al-‘Uqul, h. 91)

Orang-orang yang taat beragama tetapi tidak merintih kepada Allah, mereka berada dalam sasaran bahaya. Saya tidak khawatir dengan orang-orang yang suka di jalanan, tetapi saya mencemaskan orang-orang yang taat beragama tetapi tidak menangis dan takut kepada Allah.

Malam ini adalah malam kesedihan dan rintihan orang-orang yang taat beragama kepada Allah. Sudah sepatutnya kita merenungkan bagaimana akhir hayat kita di malam al-Qadr ini.