Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Biografi Allamah Mohammad Baqir Birjandi (2)

0 Pendapat 00.0 / 5

Madrasah Mirza Ja'far di Mashad

Mohammad Baqir Qa'ani selama enam tahun penuh belajar fikih, usul fikih, filsafat dan teologi (kalam) di bahwa bimbingan ulama besar Mashad, dan di usia 20 tahun beliau menuju kota Najaf, Irak untuk melanjutkan belajar di Hauzah Ilmiah Najaf. Ia belajar di Hauzah Ilmiah Najaf selama empat tahun dan di tahun 1300 H, ia pergi ke Samarra dan belajar di bawah bimbingan Ayatullah Mirza Shirazi, ulama dan marja Syiah waktu itu selama enam tahun.

Mohammad Baqir Qa'ani atas instruksi gurunya, Mirza Shirazi, menulis kitab Watsiqah al-Fuqaha. Setelah menyelesaikan jilid pertama, ia menyerahkannya kepada sang guru. Mirza Shirazi mempelajari buku tersebut selama satu hingga dua bulan. Kemudian Mirza Shirazi sangat puas dengan karya muridnya ini dan mendorongnya untuk melanjutkan karyanya tersebut.

Ketika berusia 30 tahun, Mohammad Baqir Qa'ani menyelesaikan pelajarannya di Irak dan ia melakukan perjalanan ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji. Kemudian ia kembali ke kota kelahirannya, Birjand dan menikah. Di kota Birjand, tokoh dan pemuka agama memintanya untuk manjadi hakim syar'i dan menjadi rujukan masyarakat dalam menyelesaikan masalah mereka dan penerimaan khumus serta hal-hal lain. Akhirnya beliau menerima tanggung jawab ini setelah mendapat ijin dari gurunya.

Pada hari-hari pertama kedatangan Allamah di Birjand, Amir Alam, penguasa Birjand, mengundangnya ke sebuah pertemuan. Mullah Ibrahim Hanafi, salah satu ulama Sunni, juga hadir dalam majelis ini. Ia yang dikenal banyak bicara dan berdebat serta selalu terlibat perdebatan dengan ulama Syiah, kali ini berdebat dengan Allamah Birjandi tentang masalah Imamah. Perdebatan ini diakhiri dengan kemenangan Allamah atas Mullah Ibrahim dan peristiwa ini membuat Allamah terkenal di kalangan masyarakat.

Setelah itu, semua orang di wilayah Qa'in dan Birjand bahkan orang Afghanistan, dari Sunni Hanafi dan Syiah, merujuknya dalam masalah agama, dan dia mengeluarkan fatwa tersendiri menurut agama masing-masing. Kejadian ini menyebabkan Allamah Birjandi diberi gelar "Mufti al-Fariqain"  (Mufti dua kelompok) dalam pidato resmi para ulama Herat dan pemerintah Afghanistan. Sejak itu, pendapat dan keputusannya menjadi keputusan akhir tentang banyak masalah sosial.

Hampir tiga tahun berlalu sejak kehadiran Allamah di Birjand, ketika Amir Alam, penguasa Birjand, meninggal dunia, dan kedua putranya berselisih tentang pengambilalihan kekuasaan sang ayah. Masing-masing pendukung mencoba menambah api perselisihan ini untuk mencapai kepentingan mereka sendiri, perselisihan ini akan berubah menjadi perang skala penuh di wilayah Qa'inat dan Sistan, namun mediasi Allamah Mohammad Baqir Birjandi menyebabkan perselisihan berakhir dan perdamaian dan keamanan ke daerah pulih.

Allamah Mohammad Baqir Birjandi, selain mengajar dan melatih murid-muridnya setiap hari, juga aktif menulis buku-buku tentang mata pelajaran penting seperti fikih dan usul fikih, sejarah, tafsir, hadits, teologi dan sastra, hingga sekitar 62 karyanya tersisa, manuskrip Allameh sendiri tersedia di perpustakaan mendiang Ayatullah al-Udzma Marashi Najafi, salah satu muridnya, di kota suci Qom.


Perpustakaan Ayatullah al-Udzma Marashi Najafi

Salah satu kitab penting dan terkenal yang ditulis oleh Allamah Mohammad Baqir Birjandi adalah kitab. Kitab ini membahas tata cara menyampaikan khutbah dan wejangan, manfaat dan posisi mimbar serta keutamaan wejangan dan nasihat. Poin lain yang disebutkan beliau di bukunya ini dan sangat ditekankan adalah bukan sembarang orang berhak untuk duduk di mimbar dan menyampaikan wejangan kepada masyarakat. Beliau menyebutkan 20 poin dan karakteristik bagi mereka yang ingin duduk di mimbar dan memberi nasehat kepada orang lain.

Di bagian lain buku ini, Allamah Mohammad Baqir Birjandi berjuang melawan distorsi Asyura. Di bagian ini, dia menyelidiki Muqatil dan mengkritik beberapa distorsi Asyura. Buku ini telah diterbitkan berkali-kali di Iran dan India dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Urdu.

Almarhum Allamah Birjandi, selain posisinya yang tinggi dalam ilmu-ilmu Islam, ia juga seorang sastrawan yang menulis puisi dalam bahasa Arab dan Persia. Puisi-puisinya yang disusun oleh putranya, Ayatullah Sheikh Mohammad Hossein Ayati Ziyaei, berjumlah sekitar dua ribu bait. Nama belakangnya dalam puisi-puisi ini terkadang "Safi" dan terkadang "Aasi".

Allameh Birjandi sangat percaya bahwa setiap orang harus siap untuk hari Jihad, sehingga wajib mempelajari teknik militer. Dia sendiri akan mengambil senapannya setiap hari dan pergi ke padang pasir bersama sekelompok tetua kota untuk berlatih menembak dan bertarung. Dia bahkan membayar beberapa pemuda dari dana zakat dan agama untuk menjadi ahli menembak dan mengajar orang lain.

Memiliki pendapat seperti itu dan, yang lebih penting, berpegang pada pendapat ini dalam praktik, bisa sangat berbahaya pada saat itu, karena Allamah Birjandi hidup dalam periode sejarah yang bertepatan dengan banyaknya orang asing di Iran dan arogansi mereka karena  pemborosan raja-raja Qajar membuat warga Iran menderita kekacauan politik dan ekonomi dan dihadapkan pada peradangan yang disebabkan oleh kemunduran kerajaan Qajar.

Dalam situasi sosial seperti ini, persiapan kaum muda untuk berperang dan berjihad oleh seorang ulama berpengaruh bisa menjadi bahaya besar bagi mereka yang berkuasa. Pemberitaan aksi Allamah Birjandi ini dimuat dalam beberapa terbitan surat kabar "Habl Al Matin", dan hal ini menyebabkan dia berada di bawah pelindung (baju besi) antara penguasa dan pejabat pemerintah.

Akhirnya Allamah Mohammad Baqir Birjanjdi pada malam Jumat 14 Zulhijjah 1352 H meninggal dunia pada usia 76 tahun. Jenazah beliau dimandikan di Madrasah Ma'sumiyah Birjand dan proses pemakamannya dihadiri banyak pelayat serta digelar dengan agung. Meninggalnya Allamah Birjandi membuat Hauzah Ilmiah Qom dan banyak kota di Iran berduka, serta mereka menggelar majlis duka. Ayatullah Marashi Najafi juga menggelar acara duka di Madrasa Faiziyah mengenang guru tercintanya tersebut.