Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Kampung Sawah, Dilemanya Hari Ini

0 Pendapat 00.0 / 5

Kota Bekasi sejak tahun 2015 sudah mengalami kenaikan peringkat dalam indeks kerukunan umat beragama, hal ini terlihat dari melonjaknya peringkat Kota Bekasi dari yang pada mulanya berada di urutan buncit kedua paling bawah,  pada tahun 2018 Setara Institut menobatkan kota dengan julukan kota patriot ini sebagai kota dengan peringkat nomor enam paling toleran dari 94 daerah di Indonesia. Sedang di tahun 2020, peringkat itu turun menjadi peringkat kesepuluh, hal ini tentu saja bukan disebabkan karena adanya penurunan kualitas, karena komitmen pemerintah Bekasi beserta jajarannya untuk mencanangkan kerukunan beragama sudah termaktub dalam rencana pembangunan jangka menengah daerah.

Namun begitu, bagi masyarakat Kampung Sawah yang berada di di Kecamatan Pondok Melati, jauh sebelum adanya angka-angka peringkat ini, masyarakat Kampung Sawah sudah secara turun temurun mempraktikkan hal tersebut. Budaya toleransi ini sudah mengakar kuat dalam jiwa masyarakat Kampung Sawah. Kampung Sawah adalah miniatur Indonesia, yang sejak abad ke 19 Masehi telah dihuni orang-orang dari berbagai etnis dan agama.  Selain orang asli Kampung Sawah yang menganut Islam abangan, kebanyakan orang-orang Kampung Sawah berasal dari Banten (diduga merupakan sisa-sisa parjurit Mataram yang menyerang Batavia pada abad ke 17), Pedurenan, Cakung Payangan; dan etnis Tionghoa.

Dikarenakan memiliki tata letak geografis strategis yang dekat dengan DKI Jakarta, kota ini juga dijadikan incaran kaum pendatang dari berbagai daerah di Indonesia untuk mengadu nasib di ibukota. Kemudahan akses transportasi, infrastruktur yang baik juga suasana yang lumayan asri serta biaya hidup yang lebih murah ketimbang di Jakarta, membuat orang-orang tertarik  membeli tanah dan tinggal di kampung ini. Urbanisasi besar-besaran sebenarnya sudah terjadi sejak abad ke 19, pada saat itu banyak penduduk Citrap, Gunung Putri yang pindah ke Kampung Sawah. Kebanyakan mereka adalah para pekerja perkebunan Major Jantje yang rata-rata beragama Kristen.

Sejak dahulu kala Kampung Sawah adalah rumah bagi para pendatang dari berbagai macam suku dan etnis. Sekitar tahun 1880-an adalah tahun dimana terjadi peristiwa bedol desa, orang-orang dari lereng Gunung Muria, Desa Bondo, Jepara dan desa Modjowarno, Jember bersama seluruh warga serta perangkat desa bertransmigrasi ke Gunung Putri dan Kampung Sawah.

Meskipun Kampung Sawah terletak di Jawa Barat, tapi sebagai penduduk asli, Jacob Napiun mengklaim bahwa warga asli penduduk Kampung Sawah adalah orang Betawi. Hanya saja ia menambahkan orang betawi di kampungnya berbeda dengan betawi yang ada di Jakarta,  bahasa betawi di Kampung Sawah didominasi dialek pengucapan “a” bukan “e” . didominasi serapan bahasa Sunda. Kenyataan bahwa ada Betawi kristen  sempat mengundang berbagai reaksi tak percaya dari berbagai kalangan, termasuk mantan gubernur Jakarta, Bapak Sutiyoso. Pasalnya, warga Betawi identik sebagai orang islam. Islam adalah urat nadi kebudayaan Betawi. Seakan-akan setiap orang Betawi adalah muslim. Pak Jacob menuturkan, setelah menghadiri acara perayaan natal, barulah Bapak Sutiyoso mengakui bahwa warga Kampung Sawah asli (orang Betawi) ada juga yang beragama Kristen. Pak Jacob menekankan, warga asli Kampung Sawah adalah Betawi yang memang beragama Kristen sejak lama. Ia menceritakan justru bangunan ibadah yang pertama dibangun di Kampung Sawah adalah gereja Kristen Pasundan pada tahun 1874.  Dan rumah ibadah umat Islam di Kampung Sawah berumur paling muda. Abah Rahmudin mencatat, masjid pertama dibangun pada tahun 1965.

Orang-orang dari berbagai latar belakang yang datang ke Kampung Sawah tentu membawa budaya daerahnya masing-masing, meskipun pada akhirnya budaya-budaya itu akan sedikit mengalami perubahan bentuk karena telah bercampur dengan budaya setempat. Ritual sedekah bumi yang biasanya dilakukan orang-orang Jawa, diperingati  juga oleh orang-orang Katholik Kampung Sawah yang merupakan orang betawi , dilakukan oleh umat muslim dengan sebutan “ Lebaran Betawi” juga dilaksanakan umat Kristen Protestan dengan sebutan “Ucap Syukuir Tahunan”. Dahulu kala, acara ini lebih dikenal dengan sebutan “bebaritan”, yaitu sebuah upacara animisme kuno memohon keselamatan kepada si penunggu di suatu tempat tertentu. Pada acara ini orang-orang akan berkumpul di suatu tempat yang dianggap angker. Mereka akan membawa berbagai macam seserahan yang diletakkan berjejer dengan alas daun pisang yang lebar dan panjang. Kemudian seorang pemimpin agama memulai upacara dengan merapal doa yang diakhiri dengan makan makanan yang ada dihadapan mereka.

Ritual sedekah bumi ini telah dirawat sedemikian rupa oleh warga di sana sebagai bentuk dari pemberkatan panen dan pembagian sebagian hasil panen kepada penderep yang membantu si pemilik sawah memanen sawahnya. Berbarengan dengan pesta Santo Servatius biasanya pada tanggal 13 Mei diadakanlah misa inkulturasi dengan budaya betawi untuk melaksanakan upacara sedekah bumi.

Tak hanya melestarikan ritual sedekah bumi, mereka juga membudayakan ritual “ngaduk dodok” sebagai simbol persaudaraan. “Ngaduk dodol” yang memakan waktu cukup lama ini diinisiasi oleh gereja katholik Servatius 7 jam sebelum misa berlangsung. Ritual ini bukanlah ritual mengaduk biasa, karena di dalamnya ada nilai-nilai gotong royong, kemasyarakatan dan persaudaraan. Biasanya mereka mengaduk bersama-sama, saling membantu tanpa mempedulikan latar belakang. Kemudian setelah jadi mereka akan membagikannya kepada warga sekitar.

Pertalian erat antara budaya dan sistem kekerabatan yang mengakar kuat, menjadi faktor utama terciptanya toleransi di Kampung Sawah. Masyarakat Kampung Sawah yang terbuka terhadap para pendatang, membuat pendatang dari berbagai daerah di Indonesia yang datang ke sana seolah-olah enggan kembali ke kampung halamannya masing-masing. Bahkan sebagian dari para pendatang itu rela berpindah dari rumah ibadah yang bernuansa kesukuan ke rumah ibadah yang lebih plural. Meskipun mereka bukan warga asli sana, tapi mereka diperlakukan dengan baik dan dipercaya masyarakat setempat bahkan diberikan jabatan yang strategis di tengah masyarakat seperti menjadi ketua RT dan lain-lain.

Di lain sisi, pesan toleransi yang muncul dari teks-teks agama, nampaknya hanya menjadi elemen penyempurna saja bagi masyarakat Kampung Sawah. Karena menurut Rahmadin, pemimpin YASFI ( Yayasan Islam Fi Sabilillah), toleransi yang ada di Kampung Sawah adalah bawaan bayi artinya sudah ada sejak dahulu kala bahkan sebelum orang-orang di sana menganut agama.

Namun belakangan, kuatnya pengaruh globalisasi, budaya kebersamaan mulai terkikis. Kurangnya perhatian kaum muda dalam melestarikan budaya yang ada, menjadi kekhawatiran tersendiri bagi generasi sepuh di sana. Toleransi di Kampung Sawah dari waktu ke waktu menemui dinamikanya tersendiri. Kekhawatiran akan tidak adanya regenerasi dan semakin maraknya pendatang di Kampung Sawah adalah sedikit dari banyaknya tantangan yang harus dihadapi mereka.

Toleransi yang seolah-olah taken for granted ini, tanpa disertai adanya kesadaran untuk terus diusahakan lambat laun hanya akan menjadi sejarah dan cerita belaka bagi generasi selanjutnya.