Kedudukan Hadis Para Imam a.s. dalam Mazhab Syiah
- Dipublikasi pada
-
- pengarang:
- Ayatullah Nasir Makarim Syirazy
- Sumber:
- dari buku Inilah Aqidah Syiah
Mazhab Syiah meyakini bahwa ucapan para Imam a.s., perbuatan, dan taqrir, persetujuan mereka, yang dapat dilihat dari tidak adanya teguran mereka terhadap suatu perbuatan yang berlangsung di hadapan mereka, adalah hujah. Sebuah kebenaran yang harus diikuti, dan merupakan sanad, pegangan bagi pengikutnya. Karena Nabi Saw, sebagaimana hadis mutawatir, telah memerintahkan agar kita berpegang teguh kepada kitab Allah dan keluarganya.
Di samping itu, mereka adalah orang-orang suci, maksum, yang telah diselamatkan Allah dari perbuatan dosa dan kesalahan. Karena itu, maka salah satu sumber fikih Syiah, setelah Al-Qur’an dan sunah nabi, ialah ucapan, perbuatan, dan taqrir para Imam dari Ahlulbait.
Jika kita perhatikan lebih dalam bahwa para Imam a.s. itu hanya menukil hadisnya dari nenek moyang mereka hingga ke Rasulullah Saw, maka hadis-hadis mereka sesungguhnya adalah hadis-hadis Rasulullah juga. Kita pun tahu bahwa periwayatan oleh seorang tsiqah, yang dapat dipercaya, diterima oleh seluruh ulama Islam.
Imam Muhammad bin Ali al-Baqir a.s. berkata kepada Jabir: “Jabir, jika yang kami ucapkan kepada kalian itu adalah pandangan kami sendiri dan dilandasi hawa nafsu, kami akan celaka. Tapi ketahuilah, yang kami ucapkan kepada kalian itu adalah hadis-hadis Rasulullah Saw.” (Jami’ Ahadits Syiah, 1/18)
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa seseorang bertanya kepada Imam Jakfar Shadiq a.s. tentang suatu masalah dan Imam memberikan jawabannya, namun orang itu kemudian bertanya lagi, “Bagaimana jika masalah ini begini dan begitu, apa pendapat Anda?” Imam a.s. berkata, “Ketahuilah! Tidak satu jawaban pun yang kuberikan kepadamu kecuali dari Rasulullah Saw. Kami sama sekali bukan termasuk dalam kelompok orang yang dapat ditanya, ‘Apa pendapatmu'”. (Ushul al-Kafi, 1/58)
Dalam pada itu, perlu kami sebutkan di ini bahwa Mazhab Syiah juga memiliki kitab-kitab hadis utama yang kami percayai validitasnya, seperti: Al-Kafi, Al-Tahdzib, Al-Istibshar, dan Man La Yahdhuruh al-Faqih. Akan tetapi, ini tidak berarti bahwa Syiah menerima begitu saja semua riwayat yang disebutkan dalam kitab-kitab tersebut, karena, selain kitab-kitab hadis, Syiah juga mempunyai kita-kitab rijal yang berfungsi mengungkap keadaan para perawi pada semua level sanad. Jika para perawi yang dapat dipercaya dan tsiqah, Syiah terima hadis tersebut. Tapi jika tidak, Syiah akan menolaknya.
Dengan demikian, Syiah baru dapat menerima riwayat-riwayat yang terdapat dalam kitab-kitab utama tersebut, jika ia memenuhi kriteria di atas. Selain itu, boleh jadi ada riwayat yang dari segi sanad dapat dikategorikan sebagai riwayat mu’tabarah, dapat diterima, tetapi karena ada cacat-cacat lain pada riwayat tersebut, para ulama dan fukaha Syiah, dari dahulu hingga sekarang, mengabaikannya. Riwayat semacam ini Syiah namakan riwayat mu’radh anha atau riwayat yang diabaikan. Sudah barang tentu riwayat semacam ini tidak mendapat tempat di kalangan Syiah.
Dari sini tampak bahwa jika seseorang ingin mendapat keterangan tentang akidah Syiah, maka sangat keliru jika hanya bersandarkan pada sebuah atau beberapa riwayat yang terdapat pada buku-buku tersebut tanpa melakukan penelitian sanadnya. Dengan kata lain, pada sebagian mazhab Islam, terdapat kitab-kitab hadis yang disebut as-sihah. Para penyusunnya tidak ragu sedikit pun mengategorikan semua riwayat yang terdapat pada kitab-kitab tersebut sahih, demikian pula anggapan lainnya. Namun tidak demikian sikap Syiah terhadap kitab-kitab mu’tabarahnya.
Kitab-kitab itu memang betul disusun oleh orang-orang tsiqat, dapat dipercaya, tetapi untuk menentukan kesahihan hadis-hadisnya harus dikembalikan ke Ilm al-Rijal untuk dilakukan penelitian terhadap para perawinya. Jika poin ini diperhatikan, ia dapat menjelaskan banyak permasalahan dan keraguan yang diarahkan ke akidah Syiah, tetapi jika diabaikan, berakibat pada banyak kekeliruan dan kesalahpahaman terhadap akidah Syiah.
Ringkasnya, hadis-hadis para Imam Dua Belas menempati posisi yang sangat tinggi di mata ajaran Syiah, yaitu setelah Al-Qur’an dan sunah Nabi, tetapi dengan catatan, bahwa hadis-hadis tersebut pasti datangnya dari para Imam dengan jalan diakui.