Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Mengenal Tradisi Masyarakat Jawa yang Menghindari Pernikahan di Bulan Suro atau Muharram

1 Pendapat 05.0 / 5

Masyarakat Jawa kaya akan budaya dan tradisi yang kental dengan nilai-nilai lokal yang turun temurun. Salah satu tradisi yang menarik adalah kepercayaan untuk menghindari penyelenggaraan acara pernikahan di bulan Suro atau Muharram. Dalam artikel ini, kita akan menjelajahi latar belakang dan alasan di balik kepercayaan ini, serta betapa pentingnya tradisi ini bagi masyarakat Jawa dalam melestarikan warisan budaya mereka.

Bulan Suro adalah bulan pertama dalam kalender Jawa dan bertepatan dengan bulan Muharram dalam kalender Islam. Kedua kalender ini memainkan peran penting dalam kehidupan masyarakat Jawa yang sebagian besar beragama Islam. Kedua bulan ini memiliki makna dan makna simbolis tertentu, yang membuatnya penting untuk dipahami dalam konteks tradisi masyarakat Jawa.

Bulan Suro dan Muharram memiliki makna dan nilai yang mendalam bagi masyarakat Jawa dan Muslim secara umum. Bulan Suro merupakan bulan pertama dalam penanggalan Jawa yang menandai awal tahun baru Jawa. Sementara itu, bulan Muharram merupakan bulan pertama dalam penanggalan Hijriah, kalender Islam. Kedua bulan ini dianggap memiliki makna spiritual dan keagamaan yang kuat bagi masyarakat Jawa dan Muslim.

Penting untuk memahami bahwa tradisi ini berakar dalam budaya dan kepercayaan masyarakat Jawa yang kental dengan nuansa spiritual dan mistis. Bulan Suro dianggap sebagai bulan yang penuh dengan kesaktian dan kekuatan gaib. Di bulan ini, diyakini bahwa roh-roh nenek moyang berkelana di dunia fana, dan hal ini dapat membawa energi positif atau bahkan potensi bahaya.

Masyarakat Jawa percaya bahwa menyelenggarakan pernikahan di bulan Suro atau Muharram dapat membawa kesialan, bencana, atau kemalangan bagi pasangan yang menikah. Oleh karena itu, orang-orang cenderung menghindari menyelenggarakan acara pernikahan pada bulan-bulan ini untuk menjaga keberuntungan dan menghormati kepercayaan nenek moyang mereka.

Makna dan Simbolisme Bulan Suro dan Muharram:

1. Bulan Suro: Dalam kalender Jawa, bulan Suro dianggap sebagai bulan yang penuh dengan makna religius dan spiritual. Bulan ini dipercaya sebagai momen transisi antara tahun yang lalu dan tahun yang baru. Beberapa acara keagamaan dan ritual khusus dilakukan selama bulan ini untuk memohon berkah dan keberuntungan di tahun mendatang.
    
2. Bulan Muharram: Dalam kalender Islam, Muharram adalah bulan yang dihormati dan dianggap sebagai salah satu bulan yang suci. Bulan ini adalah bulan pertama dalam tahun Hijriyah dan memiliki peringatan penting, termasuk peringatan tragedi Karbala dan martirnya Imam Hussein. Masyarakat Muslim merayakan bulan ini dengan berbagai cara, seperti puasa dan perenungan.

Larangan Tradisional dalam Masyarakat Jawa:

1. Larangan Pernikahan: Selama bulan Suro atau Muharram, banyak masyarakat Jawa yang secara tradisional menghindari menyelenggarakan acara pernikahan. Mereka percaya bahwa bulan ini adalah waktu untuk lebih fokus pada kegiatan keagamaan dan memperingati peristiwa-peristiwa penting dalam kalender Jawa dan Islam. Masyarakat Muslim sering menggunakan bulan Muharram sebagai momen refleksi, introspeksi, dan beribadah. Selama bulan ini, mereka cenderung lebih fokus pada amal ibadah dan kegiatan spiritual lainnya. Oleh karena itu, menyelenggarakan acara pernikahan di bulan ini juga dihindari untuk menghormati nilai-nilai keagamaan dan mendukung suasana religius pada bulan Muharram.
    
2. Kepercayaan dan Konsekuensinya: Kepercayaan ini diteruskan dari generasi ke generasi sebagai bagian dari identitas budaya masyarakat Jawa. Orang-orang yang melanggar larangan ini diyakini akan mendatangkan nasib buruk atau malapetaka. Oleh karena itu, tradisi ini dipatuhi dengan penuh kehati-hatian.

Dengan menghindari bulan Suro atau Muharram untuk pernikahan, masyarakat Jawa cenderung memilih bulan-bulan lain dalam penanggalan Jawa atau Hijriah sebagai waktu yang lebih baik untuk merayakan acara pernikahan. Bulan-bulan tersebut seringkali dianggap sebagai waktu yang lebih beruntung dan membawa keberkahan.

Selain menghindari acara pernikahan, bulan Suro dan Muharram juga memiliki tradisi dan perayaan lain yang menarik untuk dieksplorasi. Misalnya, ada ritual khusus yang dilakukan oleh masyarakat Jawa selama bulan Suro, seperti “nyadran” atau ziarah ke makam leluhur. Sementara itu, masyarakat Muslim merayakan bulan Muharram dengan ibadah dan puasa sunah, serta merenungkan peristiwa-peristiwa bersejarah yang terjadi pada bulan ini.

Membandingkan tradisi menghindari pernikahan di bulan Suro atau Muharram dengan tradisi serupa di daerah lain dapat memberikan perspektif yang lebih luas tentang keberagaman budaya Indonesia. Misalnya, ada tradisi serupa dalam masyarakat Sunda atau tradisi lain yang berakar dari aspek kalender dan agama.

Meskipun zaman terus berkembang, dan budaya mengalami perubahan, nilai-nilai tradisi ini tetap dijaga dan diteruskan dari generasi ke generasi. Orang tua sering kali menyampaikan pentingnya menghormati bulan Suro dan Muharram kepada anak-anak mereka sebagai bagian dari identitas budaya dan nilai-nilai kearifan lokal.

Melestarikan Warisan Budaya dan Identitas Masyarakat Jawa: Tradisi menghindari pernikahan di bulan Suro atau Muharram merupakan salah satu cara bagi masyarakat Jawa untuk melestarikan warisan budaya mereka. Dengan mematuhi tradisi ini, mereka menghargai dan menjaga nilai-nilai yang telah diteruskan dari nenek moyang mereka. Selain itu, tradisi ini juga memperkuat rasa persatuan dalam komunitas mereka.

Tradisi masyarakat Jawa yang menghindari penyelenggaraan pernikahan di bulan Suro atau Muharram memiliki akar yang kuat dalam nilai-nilai religius dan simbolisme budaya. Dalam melakukannya, mereka menunjukkan kepedulian mereka terhadap identitas budaya mereka dan menjaga warisan yang berharga. Meskipun zaman terus berkembang, penting untuk memahami dan menghormati tradisi-tradisi seperti ini agar kekayaan budaya masyarakat Jawa tetap hidup dan bersemi untuk generasi mendatang.

Sumber:

1. Buchori, Mochtar. (2010). Kearifan Lokal dalam Pembangunan Jawa: Studi tentang Adat Istiadat dan Tradisi Masyarakat Jawa. Penerbit Kanisius.
    
2. Kartodirdjo, Sartono. (2013). Pengantar Sejarah Indonesia Baru, 1500-1900: Dari Emporium hingga Imperium. Penerbit Kompas.
    
3. Martopangrawit, Sunardi. (2005). Kearifan Tradisional Masyarakat Jawa: Sebuah Kajian Sosiokultural. Penerbit Kanisius.
    
4. Moertono, Soemarsaid. (2002). State and Statecraft in Old Java: A Study of the Later Mataram Period, 16th to 19th Century. Equinox Publishing.
    
5. Muljana, Slamet. (2006). Sriwijaya. PT LKiS Pelangi Aksara.
    
6. Ricklefs, M.C. (2008). Sejarah Indonesia Modern, Terj. Hidayat Arifin, edisi ketiga. Penerbit Serambi.
    
7. Soedarsono. (2017). Seni Pertunjukan Indonesia: Dalam Bayang-bayang Hindu, Jawa, dan Bali. Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia.
    
8. Soemanto, Bakdi. (2007). Lahirnya Adat Istiadat: Studi tentang Tradisi dalam Kehidupan Masyarakat Jawa. Penerbit Kanisius.
    
9. Supratikno Rahardjo. (2002). Tambo, Kosmologi Jawa. Penerbit Kanisius.
    
10. Windoro, H. Budi. (2012). Hikayat Raja-Raja Pasundan: Suatu Pengantar. Penerbit Serambi.