Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Jawaban Imam Al-Baqir As atas Orang yang Bertanya tentang Allah Swt

1 Pendapat 05.0 / 5

Perspektif orang-orang mengenai Allah Swt sangatlah beragam. Jangankan di kalangan orang awam, bahkan di antara para ulama pun mereka berbeda pendapat. Meskipun dalam literatur Islam, kita banyak mendapati sekumpulan ayat atau pun riwayat yang secara langsung atau pun tidak langsung menjelaskan wujud-Nya, namun semua itu menjadi hal yang interpretatif dengan ragam metode yang dianut oleh setiap orang atau kelompok.

Setiap metode menyuguhkan penafsiran yang berbeda dengan metode yang lainnya. Hal itulah yang menyebabkan perbedaan yang terjadi dalam kasus ini di antara para ulama atau pun kaum muslimin secara umum.

Dari semua itu, seperti yang telah disinggung dalam beberapa tulisan sebelumnya, terdapat pandangan yang cukup kontroversial dari sejak dulu hingga saat ini, yaitu perspektif yang menganut Tajsim dan Tasybih.

Salah satu yang menjadi penyebab munculnya pandangan tersebut ialah metode kaku yang terfokus pada makna lahiriyah dari teks-teks agama (Alquran dan hadis), menolak takwil serta bantuan akal dalam proses literasi beberapa pernyataan dari sumber syariat tersebut yang secara dzahir mengandung Tajsim dan Tasybih .

Alhasil, banyak kalangan ulama yang telah melontarkan kritiknya terhadap pandangan tersebut, dari mulai yang sifatnya ilmiah bahkan sampai pada tahap yang cukup ekstrim. Sebagiannya telah kami ulas dalam postingan-postingan yang lalu.

Masih dalam tema yang sama, kali ini kita akan coba melihat bagaimana Imam Muhammad Al-Baqir As atau yang dikenal dengan sapaan Abu Ja’far -cucu nabi Muhammad Saw dari Ali bin Husein bin Fatimah Az-Zahra- menjawab pertanyaan seorang penanya kepadanya mengenai Allah Swt.

Riwayat ini tercatat dalam beberapa kitab hadis seperti Al-kafi karya Syekh Al-Kulaini dan Tauhid karya Syekh Al-Shaduq:

مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى عَنْ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عِيسَى عَنِ اَلْحُسَيْنِ بْنِ سَعِيدٍ عَنِ اَلْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي حَمْزَةَ عَنْ أَبِي بَصِيرٍ قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى أَبِي جَعْفَرٍ عَلَيْهِ اَلسَّلاَمُ فَقَالَ لَهُ أَخْبِرْنِي عَنْ رَبِّكَ مَتَى كَانَ فَقَالَ وَيْلَكَ إِنَّمَا يُقَالُ لِشَيْءٍ لَمْ يَكُنْ مَتَى كَانَ إِنَّ رَبِّي تَبَارَكَ وَ تَعَالَى كَانَ وَ لَمْ يَزَلْ حَيّاً بِلاَ كَيْفٍ وَ لَمْ يَكُنْ لَهُ كَانَ وَ لاَ كَانَ لِكَوْنِهِ كَوْنُ كَيْفٍ وَ لاَ كَانَ لَهُ أَيْنٌ وَ لاَ كَانَ فِي شَيْءٍ وَ لاَ كَانَ عَلَى شَيْءٍ وَ لاَ اِبْتَدَعَ لِمَكَانِهِ مَكَاناً وَ لاَ قَوِيَ بَعْدَ مَا كَوَّنَ اَلْأَشْيَاءَ وَ لاَ كَانَ ضَعِيفاً قَبْلَ أَنْ يُكَوِّنَ شَيْئاً وَ لاَ كَانَ مُسْتَوْحِشاً قَبْلَ أَنْ يَبْتَدِعَ شَيْئاً وَ لاَ يُشْبِهُ شَيْئاً مَذْكُوراً وَ لاَ كَانَ خِلْواً مِنْ اَلْمُلْكِ قَبْلَ إِنْشَائِهِ وَ لاَ يَكُونُ مِنْهُ خِلْواً بَعْدَ ذَهَابِهِ لَمْ يَزَلْ حَيّاً بِلاَ حَيَاةٍ وَ مَلِكاً قَادِراً قَبْلَ أَنْ يُنْشِئَ شَيْئاً وَ مَلِكاً جَبَّاراً بَعْدَ إِنْشَائِهِ لِلْكَوْنِ فَلَيْسَ لِكَوْنِهِ كَيْفٌ وَ لاَ لَهُ أَيْنٌ وَ لاَ لَهُ حَدٌّ وَ لاَ يُعْرَفُ بِشَيْءٍ يُشْبِهُهُ وَ لاَ يَهْرَمُ لِطُولِ اَلْبَقَاءِ وَ لاَ يَصْعَقُ لِشَيْءٍ بَلْ لِخَوْفِهِ تَصْعَقُ اَلْأَشْيَاءُ كُلُّهَا كَانَ حَيّاً بِلاَ حَيَاةٍ حَادِثَةٍ وَ لاَ كَوْنٍ مَوْصُوفٍ وَ لاَ كَيْفٍ مَحْدُودٍ وَ لاَ أَيْنٍ مَوْقُوفٍ عَلَيْهِ وَ لاَ مَكَانٍ جَاوَرَ شَيْئاً بَلْ حَيٌّ يُعْرَفُ وَ مَلِكٌ لَمْ يَزَلْ لَهُ اَلْقُدْرَةُ وَ اَلْمُلْكُ أَنْشَأَ مَا شَاءَ حِينَ شَاءَ بِمَشِيئَتِهِ لاَ يُحَدُّ وَ لاَ يُبَعَّضُ وَ لاَ يَفْنَى كَانَ أَوَّلاً بِلاَ كَيْفٍ وَ يَكُونُ آخِراً بِلاَ أَيْنٍ وَ «كُلُّ شَيْءٍ هٰالِكٌ إِلاّٰ وَجْهَهُ »  «لَهُ اَلْخَلْقُ وَ اَلْأَمْرُ تَبٰارَكَ اَللّٰهُ رَبُّ اَلْعٰالَمِينَ»  وَيْلَكَ أَيُّهَا اَلسَّائِلُ إِنَّ رَبِّي لاَ تَغْشَاهُ اَلْأَوْهَامُ وَ لاَ تَنْزِلُ بِهِ اَلشُّبُهَاتُ وَ لاَ يَحَارُ وَ لاَ يُجَاوِزُهُ شَيْءٌ وَ لاَ تَنْزِلُ بِهِ اَلْأَحْدَاثُ وَ لاَ يُسْأَلُ عَنْ شَيْءٍ وَ لاَ يَنْدَمُ عَلَى شَيْءٍ وَ «لاٰ تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَ لاٰ نَوْمٌ »  «لَهُ مٰا فِي اَلسَّمٰاوٰاتِ وَ مٰا فِي اَلْأَرْضِ وَ مٰا بَيْنَهُمٰا وَ مٰا تَحْتَ اَلثَّرىٰ

Seorang pria mendatangi Abu Ja`far  (Muhammad Al-Baqir) As dan berkata kepadanya: “Ceritakan padaku tentang Tuhanmu, kapan Dia (ada)?” Dia berkata: “Celakalah kamu! Sesungguhnya hanyalah terhadap sesuatu yang belum ada sebelumnya dikatakan “kapan ia ada?”. Sungguh Tuhanku -Maha Suci dan Maha Tinggi- Dia ada dan senantiasa hidup tanpa “bagaimana”, dan tidak ada bagiNya “telah ada”, tidak “telah ada” untuk keberadaan-Nya keberadaan (yang tersifati dengan) “bagaimana”, tidak “telah ada” yang baginya dimana, tidak “telah ada” pada sesuatu, tidak “telah ada” atas sesuatu, tidak pula Dia menciptakan ruang untuk tempat-Nya, tidak (menjadi) kuat setelah Dia mencipta sesuatu, tidak sebelumnya lemah sebelum mewujudkan sesuatu, tidak sebelumnya kesepian sebelum memciptakan sesuatu, tidak menyerupai sesuatu yang (dapat) disebut, tidak sebelumnya kosong dari kerajaan (kekuasaan) sebelum penciptaannya, juga (Dia) tidak akan kosong darinya (kekuasaan) setelah kepergiannya, Dia senantiasa hidup tanpa kehidupan, raja yang kuasa sebelum mencipta sesuatu, raja yang perkasa setelah penciptaan-Nya terhadap keberadaan, maka tidak bagi keberadaan-Nya “bagaimana?”, tidak juga bagiNya “dimana?”, tidak ada bagiNya batas, dan tidak dikenal oleh sesuatu yang mirip dengan-Nya, juga tidak menjadi tua sepanjang kekekalan, Dia tidak tergoncang oleh apapun, tetapi karena ketakutan terhadapNya, segala sesuatu tergoncang. Dia hidup bukan (dengan) kehidupan yang baru, bukan (dengan) keberadaan yang tersifati, bukan (dengan) “bagaimana” yang terbatas, bukan (dengan) “dimana” yang bergantung atasnya, serta bukan tempat yang bersebelahan dengan sesuatu, melainkan sosok hidup yang dikenal, seorang raja yang senantiasa memiliki kekuatan dan kekuasaan, Dia mencipta apa yang Ia kehendaki ketika Ia menghendaki dengan kehendak-Nya. Dia tidak dibatasi, tidak terbagi dan tidak lenyap. Dia (adalah yang) pertama tanpa “bagaimana”, dan Dia (adalah yang) terakhir tanpa “dimana”, dan “segala sesuatu (pasti) binasa kecuali wajah-Nya”, “segala penciptaan dan perintah menjadi hak-Nya, maha suci Allah, Tuhan semesta alam”. Celakalah kamu wahai penanya, sungguh Tuhanku tidak menghampirinya angan-angan, tidak menimpanya keraguan, tidak bingung, tidak ada sesuatu melampauinya, tidak menimpanya peristiwa-peristiwa, tidak ditanyai tentang sesuatu, tidak menyesali apa pun, dan “tidak mengantuk dan tidak tidur”, “milik-Nyalah apa yang ada di langit, apa yang ada di bumi dan apa yang ada di antara keduanya dan apa yang ada di bawah tanah”.

Hadis panjang ini secara gamblang menjelaskan Allah Swt yang terlepas dari gambaran-gambaran atau sifat-sifat yang biasanya dipredikatkan oleh sebagian orang terhadapNya, seperti diantaranya:

Ia tidak memiliki permulaan (azali) dan juga tidak memiliki akhir (tanpa kesudahan, abadi), yang artinya Dia di luar batasan waktu sehingga tidak mungkin “kapan” dapat dijadikan pertanyaan untukNya.

Begitu pula dengan tempat, tidak Ia pada sesuatu, di dalamnya maupun diluarnya atau bahkan dalam salah satu enam arah sekali pun, sehingga “dimana” tidak berlaku untuk ditanyakan padaNya.

Sama halnya dengan batasan-batasan lain dalam kualitas atau kebagaimanaan diri-Nya, Ia maha suci dari semua itu. Tidak ada batas yang membatasiNya, tidak bentuk maupun rupa, tidak ada yang menyerupaiNya dan Ia tidak menyerupai apa pun yang bisa disebut.

Wallahu Alam bi Shawab.