Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Apa perbedaan antara imam dan khalifah? (1)

1 Pendapat 05.0 / 5

Apa yang tersurat dari pertanyaan adalah perbedaan antara imam dan khalifah sebagai penerus Rasulullah, dan jelas bahwa masalah ini harus dianalisa dari pandangan teologi dan akidah, bukan dari dimensi irfani.

Namun secara ringkas, imam dari aspek keberadaan awalnya dan keabadiaannya adalah cermin kekhalifahan, dan khalifah adalah seseorang yang merupakan cermin Tuhan dari awal dan akhir kehidupannya dengan tidak diwarnai oleh egoisme sama sekali dan tidak melenceng sedikit pun dari kiblat yang telah ditentukan baginya.

Tanpa ragu lagi, khalifah bermakna seseorang yang menjadi penerus dari selain dirinya, dengan demikian, setiap khalifah bertanggung jawab atas kekhilâfahan dari mustakhlafu anhu (yaitu Tuhan, sebagai pemberi kekhalifahan) dengan demikian setiap khalifah yang menerima jabatan kekhalifaan dari Tuhan, mesti berakhlak sesuai dengan akhlak-Nya serta menjadi pelaksana hukum-hukum-Nya. Kekhalifaan Ilahi sejenis kesempurnaan eksistensial dan memiliki tingkatan-tingkatan, dimana puncak tertingginya berada pada manusia-manusia sempurna, seperti para nabi dan wali, dan tahapan lebih rendahnya bisa ditemukan pada manusia-manusia saleh.[1]

Oleh itu, pada teks kata khilâfah dan penerus, terdapat makna tersembunyi bahwa khilâfah adalah kemunculan mustakhlafu anhu (Tuhan) dalam khalifah, dan khalifah adalah seseorang yang identitasnya bergantung pada mustakhlafu anhu, dan keterpisahannya dengannya tidak bisa tergambarkan makna dan realitasnya.

 

Analisa Teologis

Imam secara leksikal berarti pemimpin, dan imâmah bermakna kepemimpinan. Akan tetapi dalam istilah ilmu kalam, para mutakallim menyebutkan definisi yang berbeda untuk imâmah, dan mayoritasnya dengan makna kepemimpinan umum masayarakat dalam persoalan-persoalan duniawi dan agama.

Karena itu, imam adalah pemimpin dimana perilaku dan tindak tanduknya menjadi teladan bagi selainnya dan bertanggungjawab terhadap kepemimpinan masyarakat, baik kepemimpinannya ini sebagai penerus dari sisi Rasulullah Saw, atau memang pada awalnya telah memiliki kedudukan ini.

Kata “imâm”, dalam al-Quran memiliki sebuah makna yang meluas dimana banyak para nabi yang berada di bawah lingkupnya. Menurut Ibnu Manzhur, Rasulullah Saw sendiri adalah imam para imam[2], karena beliau memiliki makam tertinggi dan memegang kedudukan kepemimpinan, kepemimpinan beliau juga memiliki orisinalitas dan keaslian yang khas, dimana beliau bukanlah penerus dari seseorang.

Sementara dalam masalah khilâfah, topik tentang kepemimpinan memiliki bentuk yang lain, kepemimpinan di sini merupakan penerus dari Rasulullah. Dari sini, sebagian cendekiawan, dalam mendefinisikan imâmah lebih memilih interpretasi “khilâfah ‘anirrasul”.

Khalifah secara leksikal bermakna penerus dan pelanjut seseorang, dan pada dasarnya, bisa digunakan dengan makna ‘penggantinya’, karena itu, dengan memperhatikan riwayat dari Rasulullah Saw mengenai khulafa dan para pelanjutnya, saat beliau bersabda, “Imam setelahku ada dua belas orang, dimana yang pertama dari mereka adalah Ali bin Abi Thalib, dan yang terakhir dari mereka adalah Mahdi Ajf. Mereka adalah khalifah, washi, dan auliyaku, dan hujjah-hujjah Allah atas umatku setelahku”[3] bisa diketahui bahwa pada hadis ini beliau memperkenalkan para Imam Maksum secara khusus sebagai pelanjutnya, sementara di tempat lain, dengan memperhatikan hadis dimana Rasul Saw bersabda, “Ilahi! Berilah rahmat-Mu kepada para khalifahku”, saat itu ditanyakan kepada beliau, “Siapakah para khalifah Anda? Beliau bersabda, “Mereka yang datang setelahku dan meriwayatkan hadits dan sunnahku”[4],  di sini beliau memperkenalkan para penerusnya dalam bentuk umum. Yang dimaksud di sini dengan para perawi hadis dan sunnah Rasulullah Saw adalah para fakih di zaman ghaibah Imam Mahdi Ajf.

Karena itulah sehingga khalifah Rasulullah dikatakan kepada orang yang melaksanakan kewajiban dan tugas-tugas beliau, dan bertanggung jawab atas kewajiban beliau dalam ketakhadiran beliau, kecuali dalam masalah membawa syariat.

Mayoritas ulama Ahlusunnah mensejajarkan khilâfah dengan imâmah, dan mengatakan, khilâfah dan imâmah memiliki satu makna, ketika salah satu dari keduanya dibenarkan, maka yang lainnya pun akan menjadi benar. Sebagai contoh, Ibnu Khaldun mengatakan, khilâfah adalah pengganti dari pemilik syariat dalam menjaga agama dan politik dunia, dan dengan kredibilitas inilah dikatakan sebagai khilâfah dan imâmah, dan pemilik makam tersebut dikatakan sebagai khalifah dan imam.[5]

Kedua kata ini (imâmah dan khilâfah) kendati digunakan sebagai dua kata yang sinonim, akan tetapi tampaknya memiliki makna yang berbeda, karena dalam keterwujudan makna imâmah, pemimpin menjadi syarat. Imam harus mengamalkan apa yang dikatakannya dan membimbing manusia, baik dalam perkataan maupun dalam perbuatan, akan tetapi dalam keterwujudan makna leksikal khilâfah, cukup hanya dengan makna seorang khalifah sebagai pelanjut Rasulullah Saw dalam melaksanakan tugas-tugas beliau saat beliau tidak ada. Bahkan jika khalifah ini tidak mengamalkan sesuai yang dikatakannya, kembali dari sisi makna leksikal, ia tetap akan dikatakan sebagai khalifah.

Karena itu, imâmah tidak ekuivalen dan tidak sinonim dengan khilâfah. Bisa jadi kedua makna ini berkumpul dalam diri satu orang; misalnya jika Rasul memilih orang pillihan untuk melaksanakan hukum dan aturan-aturan agama, dan dari sisi amal ia adalah pemimpin manusia, seperti Imam Ali As sebagai penerus dan khalifahnya, dan meletakkan tanggung jawab urusan sosial, politik dan penjagaan agama serta aturan-aturan syariat di atas pundaknya, maka orang seperti ini secara hakiki adalah imam,  yang sekaligus khalifah berkaitan dengan pelaksanaan aturan-aturan agama dan hukum-hukum Ilahi.

Kadangkala, mungkin seseorang adalah imam, akan tetapi bukan khalifah, seperti Nabi Ibrahim As. Maksudnya di sini adalah Nabi Ibrahim bukanlah khalifah dan penerus nabi dalam makna khusus, yang berarti selain sebagai imam, ia juga sebagai khalifah (seperti Imam Ali As dimana ia adalah imam sekaligus khalifah), akan tetapi khalifahnya Nabi Ibrahim As dengan makna khalifatullah, karena seluruh anbiya adalah khalifah dan pelanjut Allah di muka bumi ini.

Bersambung ...