Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Apa hubungan antara rezeki yang telah ditakdirkan dan usaha manusia?(1)

0 Pendapat 00.0 / 5

Jawaban dari pertanyaan ini dapat dijelaskan dalam format dua premis dan sebuah konklusi sebagai berikut:

Premis minor: Rezeki yang diemban oleh Tuhan dan menjaminnnya adalah, jatah atau kuota yang harus sampai kepada seluruh makhluk sehingga ia dapat bertahan hidup. Namun jaminan Ilahi, pemberian rezeki, kita sandarkan kepada dzat Ilahi, berbeda dengan pengembanan tugas seorang manusia.

Sekiranya disebutkan dalam al-Qur’an bahwa, “Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya.” (Qs. Hud [11]:6) maka harus diperhatikan bahwa Tuhanlah yang menanggung rezeki seluruh binatang melata tersebut bukan seorang makhluk. Allah bermakna Pencipta semesta dan seluruh eksisten. Jaminan Ilahi berbeda dengan jaminan sebuah makhluk yang merupakan bagian dari semesta dan berada di bawah pengaruh peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam semesta.

Mengenal perbuatan Tuhan dan sifatnya yang memberi rezeki adalah mengenal sistem yang berlaku di alam semesta. Kita (manusia) adalah bagian dari alam semesta ini dan seperti bagian-bagian lainnya di alam semesta ini kita memiliki tugas. Namun tugas-tugas yang kita miliki terkait dengan pelbagai rezeki, hak-hak dan tatanan penciptaan atau aturan syariat yang membuat kita memikul tugas ini adalah bersumber dari dimensi sifat Tuhan yang Mahapemberi. Kekuatan menarik dan memberi makan yang terdapat pada tumbuh-tumbuhan, demikian juga peralatan pemberian makanan, selera-selera dan naluri-naluri yang terdapat pada binatang membimbing mereka kepada bahan-bahan makanan, semuanya ini merupakan manifestasi kemahapemberian Allah Swt.

Allah Swt membekali setiap binatang dengan perantara sekumpulan selera dan gairah sehingga mereka mencari apa yang mereka butuhkan serta berusaha untuk memenuhi selera-selera ini.

Pemikiran, usaha, dan upaya inlah yang merupakan wadah untuk menarik sifat kemahapemberian Tuhan. Dan Razzaqiyat-Nya menjadikan yang memberi rezeki-menerima rezeki mencinta dan mencari satu dengan yang lain.

Ketergantungan tipikal yang terdapat di antara eksisten yang membuat mereka berhubungan satu dengan yang lain. Sepanjan manusia pada tingkatan bocah kecil (bayi) dan tidak memiliki kemampuan untuk memperoleh rezeki, maka rezekinya disediakan dalam bentuk sajian tersedia dan siap santap. Dan secara gradual ia memperoleh kekuatan dan dengan kuriositas ia dapat memperoleh rezekinya, rezekinya tidak akan semudah ia peroleh sebagaimana waktu bayi. Sepertinya Dia mengambil rezekinya dan menempatkannya jauh dari jangkuannya hingga ia melangkah ke arah rezeki tersebut, mendapatkannya lalu memanfaatkannya. Secara umum, terdapat kesesuaian antara persiapan untuk memperoleh rezeki dan ukuran kemampuan makhluk yang menerima rezeki serta ukuran petunjuk untuk sampai pada rezeki yang ditetapkan baginya. Dan atas alasan ini, terdapat kesesuaian dalam kaitannya dengan tumbuh-tumbuhan dan binatang eksisten-eksisten yang lebih tinggi dan maju. Dan apa yang mencukupi bagi kehidupan tumbuh-tumbuhan dan hewan-hewan adalah tidak mencukupi bagi manusia. Masalah pencarian rezekinya akan berbentuk lain. Jarak antara rezeki dan yang memakan rezeki dalam pentas kehidupan manusia lebih besar; dengan demikian media-media yang lebih besar dipersiapkan untuknya dan alat-alat petunjuk pada wujudnya dikuatkan. Kepadanya diberikan akal, ilmu dan pikiran, wahyu dan kenabian diturunkan kepadanya untuk membantunya. Dan telah ditetapkan seabrek tugas dan semua hal ini merupakan dimensi dari sifat kemahapemberian Tuhan. Dari sini dikatakan bahwa:

Jangan engkau menyantap pancingan Iblis hingga nyawamu melayang

Siapa yang memberikan gigi ia akan memberikan gizi

Kemampuan yang diberikan oleh Tuhan pemberi rezeki

Sehingga engkau memperoleh rezeki

Lihatlah bocah dalam rahim

Ia menikmati usia dan memperoleh rezeki

Merupakan tuturan yang benar namun tidak bermakna bahwa dengan memiliki gigi segalanya selesai dan memadai hingga makanan dimasak dan disajikan di atas meja makan manusia, namun bermakna bahwa apabila tiada makanan, maka gigi juga tidak tersedia, juga apabila gigi dan pemilik gigi tiada, maka makanan juga tidak akan ada. Dengan kata lain, dalam teks penciptaan antara rezeki dan pemakan rezeki, media untuk mendapatkan rezeki, media untuk menyantap rezeki, menguyah (digesti), menarik rezeki, media-media pemandu dan pembimbing ke arah rezeki terjalin hubungan berkelindan antara satu dengan yang lain. Sosok yang menciptakan manusia di alam natural memberikannya gigi, juga memberikan gizi (makanan) di alam natural. Pikiran dan kekuatan amal, mencari, dan melakukan tugas dengan baik dianugerahkan kepadanya dan kesemua ini merupakan cermin kemahapemberian Tuhan.[1]

Premis mayor: rezeki terbagi menjadi dua. Rezeki yang kita cari dan rezeki yang datang kepada kita.[2]

“Rezeki yang ditentukan” (thâlib) yang datang kepada kita senantiasa mengejar kita bahkan apabila kita berlari darinya. Ia tidak akan berlepas tangan dari kita laksana kematian yang senantiasa menguber manusia. “Sekiranya manusia lari dari rezekinya sebagaimana ia berlari dari kematian maka ia akan mendapatkannya sebagaimana kematian.”[3] Rezeki sedemikian memiliki akar pada ketentuan Ilahi dan tidak mengalami perubahan dan pergantian di dalamnya. Dalam hal ini, Allamah Thaba-thabai berujar, “Antara rezeki dan pemakan rezeki terdapat keniscayaan satu dengan yang lain. Mustahil terdapat pemakan rezeki yang mencari rezeki untuk dapat bertahan hidup namun rezeki tidak tersedia, demikian juga mustahil tersedia rezeki namun pemakan rezeki tidak ada, dan juga rezeki yang diperlukan oleh manusia bertambah dan dengan demikian masalah rezeki ini termasuk bagian dari ketentuan Ilahi.[4]

Bersambung ....