Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Kedatangan dan Hidayah Para Nabi As

0 Pendapat 00.0 / 5

Tidak diragukan bahwa kedatangan para nabi As memiliki urgensi khusus dalam perjalanan sejarah kehidupan umat manusia. Mereka datang sebagai utusan Tuhan dan mengemban tugas dari-Nya untuk memberi hidayah kepada manusia. Hal ini ditegaskan oleh akal dan juga deklarasi-deklarasi yang dilakukan oleh para nabi As itu sendiri. Tuhan sebagai wajib al-wujud, dari berbagai sisi dan dimensi adalah wajib; maksudnya adalah bahwa secara niscaya memiliki seluruh dimensi kesempurnaan dan kesucian dari setiap kekurangan. Salah satu dari kesempurnaan-kesempurnaan Tuhan adalah fayyâdziyyah (plural dari faizh yang bermakna emanasi); artinya Dia Swt memberikan setiap kadar yang berhak dimiliki oleh setiap wujud secara maksimum dan optimal tanpa sedikitpun kekurangan dan menyampaikannya kepada tempat dan kedudukan yang menjadi tujuannya.

Oleh karena itu, manusia sebagai salah satu maujud dan makhluk Tuhan tak lepas dari perkara ini dan Tuhan dari jalan hidayah universal-Nya membimbing manusia kepada kebahagiaan dan kesempurnaan akhirnya.

Jika media untuk hidayah manusia yang telah dilekatkan pada wujudnya –dimana dalam hal ini adalah akal- telah cukup baginya, maka manusia tidak butuh lagi kepada hidayah eksternal (nabi dan rasul), dan fayyâdziyyah Tuhan yang berkenaan baginya terjadi dengan media dan wasilah itu juga (yakni akal). Namun jika akal tidak cukup menjalankan tugas tersebut (sebagaimana dalam tulisan-tulisan yang berkenaan masalah ini telah dibuktikan tentang ketidakmampuan akal dengan sendirinya) maka kedatangan dan hidayah para nabi dan rasul Tuhan adalah menjadi suatu perkara yang niscaya.

Bukti dan kesaksian sejarah telah menunjukkan kepada kita bahwa telah berdatangan nabi-nabi Tuhan dan ini adalah salah satu alamat dari ketidakcukupan akal dalam membimbing dan memimpin manusia menuju kebahagiaan. Dan tujuan Tuhan membangkitkan dan mengutus para nabi serta menugaskan mereka untuk menyampaikan pesan dan pengajaran-Nya tidak lain hanya untuk hidayah manusia. Karena itu, seluruh maksud dan tujuan lainnya yang tertera dalam kitab-kitab suci merupakan percabangan dari tujuan universal ini.
Para nabi dan rasul Tuhan itu sendiri mengklaim diri mereka sebagai utusan Tuhan yang membawa hidayah kepada manusia, dan makna serta keterangan ini khususnya dalam al-Qur’an sangat jelas dimana dalam hal ini kami merasa tidak perlu menyebutkan ayat-ayat yang berkenaan dengannya. Di samping itu, dengan memperhatikan apa yang kami uraikan di atas, definisi agama juga yang kami maksudkan di sini adalah sekumpulan pengajaran dan tuntunan yang berasal dari Tuhan yang dibawa oleh orang-orang pilihan-Nya yang telah mendapatkan wahyu dari sisi-Nya. Mereka ini merupakan hujjah-hujjah Tuhan yang membawa misi pengajaran wahyu dengan tujuan menyampaikan manusia kepada hidayah Tuhan.

Pada dasarnya agama yang dimaknai dengan hissi dan perasaan keagamaan, juga adalah benar dan makna ini juga digunakan dalam al-Qur’an, akan tetapi makna ini tidaklah menjadi fokus perhatian kami. Maksud kami dengan agama adalah yang definisi pertama tadi.

Orang-orang yang mengartikan agama dalam konteks lain, pemikiran mereka keluar dari kerangka pembicaraan kami. Mereka dalam perkara ini adalah bebas dan setiap orang bisa saja dengan suatu pendekatan semantik mengkonstruksi suatu istilah dan memberi pemaknaan terhadapnya. Misalnya, agama dapat saja dimaknakan bahkan sebagai mutlak akidah. Sehingga (agama dalam pengertian ini) juga meliputi akidah kufur, syirik, dan ilhad (ateis).

Pembicaraan kami dalam tulisan ini dengan orang-orang yang mengambil definisi agama dengan pemaknaan yang pertama dan meyakini secara hukum rasio bahwa dalam segala zaman manusia niscaya butuh kepada agama. Dan khususnya mereka yang meyakini bahwa para nabi datang mambawa hidayah bagi manusia, dan lebih khusus lagi pembicaraan kami tertuju kepada mereka yang mengklaim diri mengikuti al-Qur’an serta membahas, menulis kitab, dan makalah tentangnya.

Selanjutnya kita ingin mengkaji apa kemestian-kemestian yang menyertai keyakinan ini, kendatipun tentunya kita tidak bermaksud memaparkan seluruhnya.


1. Ishmah
Jika para nabi datang untuk hidayah manusia dan ditugaskan menyampaikan pengajaran-pengajaran Tuhan kepadanya, maka mesti para nabi itu adalah maksum (infallible); yakni terjaga dari dosa dan kesalahan, sehingga mereka dapat menyampaikan wahyu dan pengajaran Tuhan secara sahih dan selamat kepada masyarakat dan masyarakat dalam masalah ini dapat bersandar secara penuh kepada mereka.

Ishmah (keterjagaan) para nabi dari kesalahan sebagaimana dikatakan terjadi dalam tiga tahapan; dalam menerima, menjaga, dan menyampaikan wahyu. Mereka juga maksum dari dosa; yakni mereka tidak akan pernah melakukan suatu amal dan perebuatan yang menyalahi perintah dan larangan Tuhan. Dengan menerima ‘keniscayaan kenabian’, kemestian ishmah para nabi dengan sendirinya menjadi suatu perkara yang jelas dan tak perlu pembuktian (baca badihi); sebab tidak ada kemungkinan seseorang yang memandang para nabi sebagai nabi Tuhan dan meyakini definisi agama sebagaimana bentuk yang kami utarakan, akan tetapi dia mempunyai sedikit keraguan tentang kesucian mereka. Keberadaan sekecil apapun kemungkinan para nabi melakukan kesalahan dan berbuat dosa, akan menyebabkan kerapuhan dan invaliditas prinsip kenabian; sebab kemungkinan itu sendiri telah cukup membuat gugurnya argumentasi.

Oleh karena itu, menurut tinjauan ini, pembuktian kesucian kenabian adalah suatu perkara yang mudah dan ungkapan sebagian penulis muslim bahwa membuktikan ishmah kenabian menuntut upaya keras dan derita besar merupakan suatu ungkapan yang mengherankan, sebab ini tidak lain juga adalah suatu bentuk keraguan terhadap ishmah kenabian.


2. Hujjiyah kitab-kitab suci langit
Pertama, kitab-kitab suci adalah kalam Tuhan, kedua, dikarenakan kesucian para Nabi As, kitab-kitab tersebut sampai di tangan masyarakat secara sahih dan selamat. Oleh karena itu, kitab-kitab suci adalah hujjah Tuhan dan manusia dalam berhadapan dengannya mesti menyerah dan patuh secara murni. Tanpa validitas hujjah kitab-kitab suci maka kepemberian hidayah para Nabi As dan kehujjahan Tuhan kitab-kitab suci langit akan menjadi ternafikan.

Tentu saja maksud dari hujjiyah kitab-kitab suci tidak berarti bahwa para Nabi As dalam dasar klaim kenabian mereka juga tidak membutuhkan dalil dan ucapan mereka serta merta hujjah. Sama sekali tidak demikian, tapi khusus dalam masalah ini (klaim kenabian), para Nabi As mesti membawa bukti dan dalil. Akal dan al-Qur’an dalam kebenaran masalah ini memberikan pengajaran kepada masyarakat, yakni mereka harus menuntut dalil dan bukti dari para pengklaim kenabian. Adapun setelah pembuktian kenabian mereka maka kitab-kitab yang mereka bawa menjadi hujjah bagi masyarakat dan ucapan-ucapan yang mereka utarakan, kalaupun tidak disertai dengan dalil juga harus dipatuhi.


3. Keterjagaan agama dari distorsi
Agama, setelah sampai di tangan masyarakat dalam keadaan sahih dan selamat dengan perantara nabi, harus tetap terjaga dari distorsi (tahrif) di tengah masyarakat dan tidak seorangpun boleh merubahnya atau secara sengaja menambah dan menguranginya dari bentuk aslinya. Dalam bentuk selain ini (yakni terjadi penambahan atau pengurangan atau dengan kata lain distorsi) maka priode hidup agama tersebut menjadi berakhir dan pengiriman nabi lain serta penurunan kitab lain menjadi suatu hal niscaya.

Tentang al-Qur’an –yang merupakan kitab suci langit yang terakhir- terdapat kekhususan baginya, yaitu keterjagaannya dari tahrif berlaku sampai hari kiamat, sebagaimana keyakinan kaum muslimin seperti itu.

Dengan demikian masalah keterjagaan kitab suci dari distorsi dalam bentuk yang telah dijelaskan, sebagaimana masalah ishmah dapat diiinferensi (istinbath) dan disimpulkan dengan mudah dari masalah kenabian dan sekecil apapun keraguan tentangnya akan menyebabkan keraguan terhadap kenabian itu sendiri. Tidak mungkin seseorang berkeyakinan tentang kemestian agama dan keberadaan hujjah Tuhan serta sanad kitab langit di zaman ini, pada saat yang sama tidak berpandangan bahwa salah satu dari kitab-kitab suci langit mesti terpelihara dan terjaga dari tahrif. Oleh karena itu, menurut pendekatan ini, keraguan terhadap keterjagaan al-Qur’an dari tahrif, khususnya dari kalangan pengikut al-Qur’an sendiri dan orang-orang yang berkeyakinan tentang kepemungkasan Nabi Islam Saw merupakan suatu perkara yang aneh.


4. Kesempurnaan Agama
Pengajaran wahyu di setiap zaman dan tempat diturunkan sekadar dengan kebutuhan serta kemestiannya, karena itu, dinisbahkan dengan syarat-syarat penurunannya adalah sempurna. Dan kesempurnaan ini dalam agama khâtam (penutup) adalah mutlak; yakni seluruh apa yang daruri untuk hidayah manusia sebagai maujud manusia seluruhnya ada dan sempurna pada agama penutup ini. Tidak ada maknanya kita mengatakan manusia butuh kepada pengajaran wahyu tetapi pengajaran ini turun dalam bentuk nâqish (kurang sempurna) dari sisi Tuhan yang fayyâzh (maha pemberi, dengan bahasa hiperbol) dan hakîm (maha bijaksana), sebagaimana turunnya melebihi kadar lazim juga adalah sia-sia dan menyalahi hikmah.

Dengan demikian, ucapan sebagian dari penulis muslim bahwa jika nabi Islam Saw menjalani usia yang lebih lama, tentu kadar al-Qur’an lebih banyak dari yang ada sekarang ini, adalah tidak benar. Sebagaimana ucapan ini juga bahwa agama dengan perantara pengalaman keagamaan (dimensi ruhi dan sosial) kaum muslimin akan menemukan perluasan dan memperoleh kesempurnaan, adalah sama sekali tidak berdasar dan tidak sahih. Ucapan dan ungkapan ini sama sekali tidak sesuai dengan definisi agama yang kami utarakan, kecuali jika definisi tersebut kita ganti. Jika kita memandang agama datang dari Tuhan dan para nabi As hujjah-Nya dan pembimbing manusia serta kita berserah diri dalam berhadapan dengan al-Qur’an maka bagaimana mungkin kita memandangnya nâqish dan menempatkannya sejajar dengan hasil pengalaman keagamaan orang-orang lain? Ungkapan dan ucapan ini bertentangan dengan hukum akal dan juga menyalahi teks suci (nash).

Kaum muslimin –individu dan masyarakat- meskipun memiliki pengalaman batin seperti kasyf, syuhud, dan ilham dan juga mengeluarkan segala hukum dalam berhadapan dengan kejadian individu dan sosial, akan tetapi; pertama, tidak dipandang sebagai hujjah dan harus ditakar dengan akal dan nakl, kedua, tidak menambahkan seuatu pada agama. Akan tetapi, tentu saja dalam hal ini ucapan dan perbuatan Nabi Saw dan para imam maksum As masuk dalam bagian agama, tetapi ini juga tidak menambahkan sesuatu pada al-Qur’an. Dengan pengertian bahwa asli hujjiyah ucapan dan perbuatan nabi Saw dan masalah imamah juga termasuk perkara yang terdapat dalam al-Qur’an. Di samping nabi Saw dan para imam As, apa saja yang mereka saksikan dan katakan berada dalam siluet, naungan, bayangan al-Qur’an.


5. Keeksternalan Wahyu (wahyu datang dari luar diri nabi)
Wahyu al-Qur’an adalah pengajaran Tuhan, kalam-Nya yang turun kepada nabi-Nya Muhammad Saw dengan perantara malaikat Jibril As ataukah tanpa perantaranya. Salah satu dari rukun kenabian –sebagaimana pemaparan yang lalu- ketidakmampuan akal manusia dari hidayah sempurna. Dan perkara ini menjadikan manusia butuh kepada hidayah eksternal (kenabian). Oleh karena itu, nabi adalah seorang manusia yang diberikan kepadanya wahyu. Yakni dari satu sisi adalah manusia dan mempunyai kekhususan dan kekurangan manusiawi dan di sisi lain talah turun kepadanya pengajaran langsung dari Tuhan. Wahyu bukanlah cucuran batin di bawah kesadaran nabi; sebab dalam bentuk seperti ini maka wahyu merupakan suatu perkara manusia, sementara manusia dengan sendirinya tidak mampu menghidayahi dirinya secara sempurna. Di samping itu, keargumenan dan kesucian nabi hanya bisa dibuktikan dengan faktor kenabiannya dan kerasulannya. Ketika dia bukan nabi maka dia bukan hujjah dan tidak maksum, karena itu dia bukanlah hâdi (pemberi hidyah). Demikian juga wahyu bukanlah dimensi kepribadian nabi, tetapi murni pengajaran luar (datang dari luar) yang turun atas kalbunya.

Masalah keeksternalan wahyu (datang dari luar diri nabi) dan kekalamannya (sebagai kalam Tuhan), di samping terimplisit dalam definisi agama yang kami utarakan dan merupakan kelaziman dan kemestian kepemberian hidayahan para nabi As, juga di dalam al-Qur’an sendiri menjadi perkara yang sangat jelas. Sebagaimana poin-poin yang hingga sekarang kami sebutkan dan akan sebutkan juga semuanya merupakan perkara jelas dalam al-Qur’an. Akan tetapi dikarenakan kami menjauhi pembahasan nakli maka kami dalam tulisan ini sama sekali tidak akan menyebutkan ayat-ayat yang berhubungan dengan mereka dan masalah ini (penukilan ayat-ayat) kami serahkan pada pembahasan yang lebih luas dan detail yang berkenaan dengan pembahasannya.


6. Ahistorikal agama
Agama bukanlah suatu fenomena sejarah. Yakni dia bukanlah sesuatu yang terbentuk dikarenakan perjalanan sejarah. Sebagian orang berkeyakinan bahwa agama adalah totalitas pengalaman internal dan eksternal diri nabi. Pengalaman ini terbentuk sepanjang hidup nabi dan hasil pengalaman-pengalaman tersebut terpaparkan kepada kita dengan perantaraan dia, dan semuanya itu berasal dari dia dan bersumber dari dirinya sendiri. Sepeninggal nabi, keseluruhan ajaran ini dengan pengalaman setiap orang dan masyarakat pengikut beliau, menemukan perluasan dan kesempurnaan.

Bentuk pandangan dan keyakinan ini jelas tidak sinkron dengan pengertian agama yang kami definisikan dan berlawanan dengan makna kepemberian hidayahan para nabi As. Sebab di antara kemestian dari akidah ini, ternafikannya dimensi kelangitan, kekudusan, kesucian, kesempurnaan, dan kepamungkasan. Sebagaimana sebagian dari pengusung pandangan ini menyatakan secara gamblang kemestian-kemestian tersebut. Anehnya mereka ini mengutarakan pandangan seperti itu sebagai orang-orang muslim dan pengikut al-Qur’an.

Adapun masalah keberadaan asbabun nuzul sebagian dari ayat-ayat al-Qur’an, hal itu tidak ada hubungannya dengan kehistorian agama. Asbabun nuzul hanyalah suatu dalih, alur natural, dan medan persiapan untuk turunnya sebagian ayat-ayat, ia sama sekali tidak memiliki pengaruh dalam penambahan dan pengurangan kandungan al-Qur’an dan tidak mengurangi dimensi kelangitannya. Untuk itu, asbabun nuzul tidak bisa menjadi bukti dan alasan untuk dipilihnya pandangan kehistorian agama. Akidah ini muncul di barat dan dari orang-orang yang mengingkari kenabian sama sekali atau jika mereka menerima nubuwwah, mereka melihat kitab suci yang ada padanya tidak dapat dipertahankan secara rasional dan secara tidak langsung mereka memandang bahwa kitab tersebut adalah bukan hujjah.


7. Ketiadaan kontradiksi antara Agama dengan Akal
Antara hukum pasti agama dan hukum pasti akal tidak akan terjadi kontradiksi. Yang dimaksud hukum pasti agama adalah hukum dari sisi syâri’, yakni dari sisi Tuhan atau maksumin dan hukum itu muhkam serta tidak menerima takwil. Dan yang dimaksud hukum pasti akal adalah hukum yang didapatkan dari mukadimah-mukadimah badihi atau berakhir kepada badihi. Alasan ketiadaan kontradiksi antara dua hukum ini adalah:

Pertama, agama dan akal keduanya menjelaskan realitas sebenarnya, dan dalam realitas tidak ada kontradiksi.

Kedua, nabi dan akal keduanya hujjah dan rasul Tuhan (perkara ini teradapat dalam teks Islam), karena itu tidak mungkin ucapan kedua hujjah dan rasul Tuhan ini saling kontradiksi.

Ketiga, agama dibuktikan lewat akal; (sebagian darinya secara langsung dan sebagian lainnya tidak langsung) yakni agama adalah perkara rasional, hatta pembuktian Tuhan dengan kalbu juga tidak bertentangan dengan hukum akal. Akal menggunakan kalbu sebagai salah satu media untuk mengenal Tuhan dan Tuhan yang dimakrifati kalbu adalah maujud suci dan sempurna mutlak dan dia menetapkan bahwasanya pengiriman para nabi As merupakan suatu perkara niscaya bagi keberadaan Tuhan seperti ini. Yakni, apakah kita berangkat dari jalan argumen murni akal ataukah dari jalan kalbu, kita akan menjumpai bahwa keniscayaan agama adalah suatu perkara rasional dan argumentativ. Oleh karena itu, kontradiksi akal dengan agama akan bermakna kontradiksi akal dengan dirinya dan perkara ini akan menjadikan akal tidak kapabel dalam makrifat.

Keempat, agama (agama Islam yang menjadi misdak dari definisi agama yang kami utarakan di sini dan pembicaraan kami juga tertuju kepada pengikut agama ini) memandang akal adalah hujjah. Dengan demikian, kontradiksi akal dengan hukum Islam akan bermakna kontradiksi agama ini dengan dirinya. Dan rentetan kebatilan proposisi ini adalah jelas bagi kita semua.

Oleh karena itu masalah ketiadaan kontradiksi antara agama dan akal merupakan perkara yang sangat jelas. Dan berpandangan tentang adanya kontradiksi antara keduanya atau mengungkapkan pandangan yang ambigu dalam masalah ini, akan bermakna pengingkaran definisi agama –yang pada awal pembahasan kami utarakan- dan pengingkaran kelaziman dan kemestiannya. Dan ini berakhir pada ketiadaan penerimaan agama Islam yang menjadi misdak dari definisi agama tersebut.


8. Agama dapat dipahami oleh manusia
Jika kita menerima bahwa para nabi As datang untuk menghidayahi umat manusia dan mereka merupakan hujjah Tuhan maka korelasi dari akidah ini, agama yang mereka bawa mesti dapat terpahami oleh manusia. Sebab tanpa konsekuensi logis seperti demikian, pada hakikatnya tidak ada bentuk hidayah agama dan tidak sempurna keberadaan hujjah mereka. Keberadaan keraguan dalam masalah ini, kendatipun sangat kecil, menjadi pertanda kegoncangan kita secara sadar atau tidak sadar dalam akidah kepemberian hidayahan dan kehujjahan para nabi As. Dalam konteks seperti ini maka tidak ada jalan lain kita harus mengganti definisi agama dan kedudukan para nabi As di tengah-tengah manusia yang menjadi keyakinan kebanyakan kaum muslimin.

Adapun kelaziman dari penerimaan terpahaminya agama oleh manusia maka tafakkur dalam agama –sebagai salah satu cara untuk memahaminya- adalah diperbolehkan bahkan menjadi daruri. Sebagaimana hal ini juga ditekankan dalam al-Qur’an dan hadits dan dalam teks agama masyarakat diajak kepada tafakkur dan tadabbur. Dan ini menyalahi akidah orang-orang yang berpandangan bahwa tafakkur dan beristidlal dalam agama tidak mungkin dan tidak diperbolehkan.

Oleh karena itu, dalam Islam, ushuluddin harus diterima dengan jalan pemikiran, penelitian, dan istidlal, bukan dengan taklid. Nabi harus membawa keterangan yang jelas untuk membuktikan kebenaran klaim kenabiannya. Ta’abbud hanya ada dalam wilayah di luar wilayah ushuluddin. Ta’abbud sendiri pada dasarnya secara tidak langsung bersandar kepada akal dan burhan. Sebab ia bersandar kepada penerimaan ushuluddin, sementara ushuluddin diterima berasaskan akal dan burhan.

Singkatnya, manusia tanpa pemahaman agama, dia tidak punya alasan untuk menerimanya dan dalam bentuk dia menerimanya maka agama itu tidak bermanfaat baginya. Sebab keyakinan hakiki terhadap sesuatu bergantung kepada pemahaman terhadapnya dan jika tidak demikian maka itu hanyalah sekedar ungkapan yang tidak mempunyai hakikat.

Masalah agama dapat terpahami oleh manusia dan konklusi logisnya, yakni kebolehan dan kedarurian tafakkur dalam agama, jelas bertolak belakang dengan ucapan sebagian penulis muslim yang dalam menafsirkan dan menjelaskan pluralisme agama berkata: Agama, bukan medan istidlal dan keberagamaan bukan dikarenakan argumen, tapi mempunyai faktor (tertentu) dan harus berkeyakinan tentang kesetaraan dalil dalam ikhtilaf di antara agama-agama dan ikhtilaf di antara mazhab-mazhab dalam satu agama. Akan tetapi mereka menyatakan bahwa keberagamaan kaum intelektual dan ilmuan dikarenakan adanya dalil dan argumen, bukan hanya karena faktor semata. Tetapi yang jelas jika mereka berkeyakinan tentang kesetaraan dalil (di antara gama-agama dan di antara mazhab-mazhab dalam satu agama) maka kita harus berpandangan pula bahwa keberagamaan kaum intelektual dan ilmuan terhadap agama khusus, juga dikarenakan faktor semata, bukan karena dalil.

Jelas bahwa maksud daripada agama dapat terpahami bukan berarti semua orang berada dalam satu tingkatan dari sudut pandang pemahaman agama dan makrifat agama. Tentu tidak seperti itu, tetapi di sini terdapat tingkatan-tingkatan pemahaman agama sebagaimana hal ini juga terjadi dalam banyak bidang dan masalah. Mukhatab agama dari sudut pandang pengenalan dan pengetahuan agama –sebagaimana dari sudut pandang keberagamaan- adalah tidak satu. Jadi yang dimaksud agama dapat terpahami adalah bahwa setiap orang dalam batas potensinya, dapat mengenal dan mengetahui agama. Dan pengetahuan ini juga adalah yakini dan terpercaya serta sesuai dengan kenyataan syariat dan maksud syâri’. Bukan berarti serta merta kita bisa mengatakan bahwa setiap orang apapun bentuk pemahamannya terhadap agama itulah yang menjadi hujjah dan hidayah baginya. Konstruksi jiwa manusia bukanlah sesuatu yang dengan akidah apa saja bisa sampai pada kesempurnaan, sebagaimana seluruh sifat dan karakter bukan keutamaan baginya; sebab jika demikian maka tidak ada maknanya makrifat dan akhlak dan fungsi kepemberian hidayahan agama juga tidak menjadi bermakna. Misalnya, akidah tauhid adalah keyakinan yang dapat menyempurnakan manusia dan menyebabkan hidayah baginya. Maka lawannya adalah akidah syirik yang menyesatkan dan tidak menyempurnakan insaniah. Demikian juga bagian-bagian dan anasir agama lainnya akan seperti ini. Dalam bentuk selain ini, tidak ada makna dari keberagamaan dan keberhidayahan dan pengutusan para nabi As adalah sia-sia jadinya.

Oleh karena itu, setiap ungkapan yang memestikan penafian kemungkinan terpahaminya agama dan natijahnya skeptis dalam agama maka ucapan itu adalah tidak berdalil sama sekali dan dia harus memilih agama yang berada di luar koridor agama yang kita definisikan.(wisdoms4all)