Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Kehidupan Sayidah Nargis; Ibunda Imam Mahdi afs (Part.2)

0 Pendapat 00.0 / 5

Proses Pembebasan Sayidah Nargis

Pada masa Mu’tashim pusat pemerintahan dipindahkan dari Bagdad ke Samara, dan Imam Ali Al-Hadi as, dipaksa penguasa untuk tinggal di Samara, kota yang menjadi markaz militer, dan semua gerak-geriknya dipantau ketat.

Imam Ali Al-Hadi as bertetangga dengan Basyar bin Sulaiman, keturunan dari Abu Ayyub al-Anshari, sahabat Nabi saw. Basyar juga merupakan pecinta dan kepercayaan Imam Ali Al-Hadi. Ia diberi tugas untuk membeli Sayidah Nargis dari tempat penjualan budak.

Imam as menulis surat dengan Bahasa Romawi dan memberikannya stempel. Beliau menyerahkan surat itu sembari memberikan tempat uang yang berisikan 220 Dinar seraya berkata, “Ambilah surat dan uang ini, lalu berangkatlah ke Bagdad! Datanglah pada pagi hari ke tepian sungai Furat, pada saat itu akan terlihat perahu-perahu menepi di tepi Sungai Furat dan para budak akan diturunkan di sana… Diamlah di tempat yang tidak jauh dari sana, kemudian pantaulah seorang penjual budak yang bernama Umar bin Yazid, perhatikan ia dalam penjualannya, sampai ia menawarkan seorang budak perempuan yang mengenakan dua pakain sutra. Budak perempuan tersebut selalu berusaha menjauhkan dirinya dari para pembeli dan melarang mereka untuk memandangnya…”

Imam as menjelaskan semua yang akan terjadi di arena penjualan budak tersebut, beliau juga memberikan arahan untuk membawa Sayidah Nargis ke Samara, dan harus bergerak cepat. Basyar bin Sulaiman mendengarkan semua arahan Imam as dengan seksama, kemudian dia pun memulai perjalanannya menuju Bagdad.

Sesampainya di dekat sungai Furat, ia menyaksikan semua kejadian yang telah diceritakan Imam Ali Al-Hadi as kepadanya. Ia pun menemukan Umar bin Yazid, penjual budak dan budak perempuan (Putri Malika) yang ciri-cirinya telah disebutkan oleh Imam as.

Kharismatik dan kesucian Sayidah Nargis menarik perhatian para pembeli, namun Sayidah Nargis menolak mereka dengan menutup wajahnya hingga membuat Umar bin Yazid emosi dan berdebat dengannya.

Pada saat terjadi perdebatan antara Sayidah Nargis dan Umar bin Yazid, Basyar bin Sulaiman pun berjalan mendekati Umar bin Yazid seraya berkata, “Aku membawa surat dari seorang pembesar yang ditulis dengan Bahasa Romawi. Dalam surat tersebut ia menjelaskan tentang kemuliaan, kedermawanan, keutamaan dan keamanahannya dalam menepati janji. Ambilah surat ini, berikan kepadanya agar ia mengetahui akhlak dan kemulian penulisnya. Jika ia menerimanya, maka aku akan menjadi wakil dari pemilik surat ini untuk membelinya.”

Umar bin Yazid menyerahkan surat kepada Sayidah Nargis. Sayidah Nargis kemudian membuka dan membaca isi surat tersebut, beliau menangis bahagia saat membacanya, karena penantiannya akan berakhir.

“Juallah aku ke pemilik surat ini!” pinta Sayidah Nargis.

Umar bin Yazid pun akhirnya menjual budaknya ke Basyar bin Sulaiman dengan harga yang telah ditentukan oleh Imam Ali al-Hadi as, 220 Dinar. Sayidah Nargis nampak sangat bahagia, kemudian beliau berangkat menuju Bagdad bersama utusan Imam Ali al-Hadi as tersebut. Selama perjalanan, Basyar menyaksikan Sayidah Nargis berkali-kali mengeluarkan surat Imam Ali al-Hadi as, menciumnya dan mengusapkan ke tubuhnya untuk bertabarruk.  Basyar heran menyaksikan hal tersebut dan berkata, “Aku heran, bagaimana engkau berkali-kali mencium surat ini padahal engkau tidak mengenal pemiliknya?”

“Wahai yang tidak mengenal kedudukan Keturunan para nabi, dengarkan baik-baik, Aku adalah Putri Malika, putri Yusya’ yang merupakan putra Kaisar Romawi Timur… “ jawabnya sembari menceritakan tentang peristiwa yang telah terjadi di istana Romawi dan mimpi-mimpi benar yang dialaminya hingga akhirnya menjadi tawanan dan dijual di pasar budak.

Setelah mendengar semua cerita Sayidah Nargis, Basyar dapat memahami tentang rahasia misi pentingnya ini. Ia memberikan perhatian khusus dan berusaha keras dalam menjaga amanahnya. Sampainya di kota Samara, ia pun bergegas cepat untuk menyampaikan amanah tersebut Imam Ali Al-Hadi as.[1]