Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Perempuan Dan Politik dalam Konteks Sayyidah Fathimah as (Part: 1B)

1 Pendapat 05.0 / 5

Menyadarkan Masyarakat akan Kepemimpinan yang Sah

Imam Ali as secara yuridis (masyru’iyat) telah dilantik sebagai pemimpin pasca Rasulullah, kendatipun secara de facto (maqbuliyat) baru terwujud dua puluh lima tahun kemudian. Peristiwa pelantikan ini terjadi pada tanggal 18 Dzulhijah setelah Rasulullah dan kaum muslimin melaksanakan haji Wada’. Ketika rombongan haji sampai di Ghadir Khum, tempat antara Madinah dan Mekah, malaikat Jibril turun dan menyampaikan pesan kepada Nabi Muhamad saw untuk menyampaikan satu pesan penting yang nilainya sama dengan risalah Rasulullah selama dua puluh tiga tahun, “Wahai Rasul, sampaikan apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, jika engkau tidak menyampaikannya maka sama artinya engkau tidak menyampaikan risalahmu..”[3]

Rasulullah saw telah melantik Imam Ali as di hadapan ratusan ribu jemaah haji. Setelah melaksanakan solat berjamaah kemudian Rasululah naik mimbar yang terbuat dari punuk onta. Beliau memulai pidatonya dengan memperkenalkan dirinya, kemudian terakhir beliau mengangkat tangan Imam Ali as hingga ketiaknya terlihat seraya bersabda,”Barang siapa yang menganggapku walinya maka Ali adalah walinya.”

Perbedaan yang terjadi ialah dalam mengartikan kata ‘wali’, ada yang mengartikan sebagai teman atau penolong. Namun, sangat tidak logis dengan melihat berbagai indikasi bahwa kata ‘wali’ diartikan sebagai ‘teman atau penolong’.

Pertama, logiskah Rasulullah saw hanya sekedar untuk mengumumkan pada kaum muslimin jika Imam Ali as sebagai penolong atau temannya, memerintahkan jemaah haji yang sudah terpisah untuk kembali berkumpul di Ghadir Khum, padahal kala itu untuk mengumpulkan orang segitu banyak sulit sekali karena tidak ada sarana seperti pengeras suara sekarang ini? Ditambah, udara gurun pasir yang sangat panas membakar. Logiskah sosok seperti Rasulullah saw membiarkan orang-orang terbakar kepanasan hanya sekedar untuk mendengar mengetahui jika Imam Ali as teman atau penolong Rasulullah?

Kedua, ucapan selamat para sahabat besar terutama Umar bin Khatab, Abu Bakar, Usman bin Affan dan lainnya kepada Imam Ali as, “Bakhin-bakhin laka ya Ali! Ashbahta maulaya wa maula kulli mukminin wa mukminati..”, “Selamat…selamat atasmu ya Ali! Engkau telah menjadi waliku dan wali tiap mukmin dan mukminah.”[4]

Jika maksud dari wali  ialah hanya teman penolong? Apa arti dari ucapan selamat Umar bin Khatab? Apakah para sahabat lain bukan teman dan penolong Rasulullah?

Ketiga, ayat yang diturunkan setelahnya ialah ayat Ikmal atau ayat tentang penyempurnaan ajaran Islam, ”Pada hari ini, telah kusempurnakan bagi kalian agama kalian dan telah kusempurnakan bagi kalian nikmatku…dan Alloh menjagamu dari manusia…”[5]

Karena itu, pasca wafat Rasulullah Sayidah Fathimah as bersama Imam Ali as, Imam Hasan as dan Imam Husein as selama empat puluh pagi mendatangi rumah-rumah Muhajirin dan Anshar untuk mengingatkan kepemimpinan yang sah.”[6]

Perempuan dalam Keluarga dan Politik

Keluarga memiliki peranan yang sangat penting dalam pembentukan masyarakat yang adil dan sejahtera. Sayyidah Fathimah Zahra tidak hanya berperan sebagai seorang ibu yang mendidik anak-anaknya, tetapi juga sebagai seorang istri yang mendampingi suaminya, Imam Ali bin Abi Talib, dalam perjuangannya. Keluarga beliau adalah contoh sempurna dari bagaimana seorang perempuan dapat mempengaruhi kebijakan politik dan mempengaruhi arah sejarah melalui peran dalam keluarga.

Sayyidah Fathimah Zahra juga dikenal karena mendidik anak-anaknya dalam konteks perjuangan moral dan sosial. Putra-putranya, Hasan dan Husain, kelak menjadi tokoh-tokoh yang sangat berpengaruh dalam sejarah Islam, terutama dalam perjuangan melawan ketidakadilan, yang berujung pada peristiwa tragis Karbala. Dengan demikian, peran Sayidah Fathimah Zahra sebagai seorang ibu menunjukkan bahwa perempuan tidak hanya berperan dalam konteks domestik, tetapi juga dalam membentuk pemimpin masa depan yang akan berperan dalam politik dan perjuangan sosial.

Sayyidah Fathimah as dan Perempuan dalam Politik Kontemporer

Dalam konteks zaman sekarang, banyak perempuan yang terlibat dalam politik, baik di level lokal maupun internasional. Sayidah Fathimah Zahra memberi teladan bahwa perempuan, apapun latar belakang dan posisinya, memiliki peran penting dalam menciptakan perubahan sosial dan politik. Perempuan yang terinspirasi oleh nilai-nilai yang dibawa oleh Fathimah Zahra dapat berperan aktif dalam memperjuangkan hak-hak mereka, serta mendukung perjuangan keadilan dalam berbagai ranah kehidupan.

Dalam banyak aspek, pengaruh Sayidah Fathimah Zahra terhadap politik perempuan dapat menjadi contoh penting tentang bagaimana perempuan, bisa menjadi agen perubahan yang signifikan dengan memperjuangkan kebenaran, keadilan, dan martabat manusia.

Kehidupan dan perjuangan Sayidah Fathimah Zahra memberi pesan kuat mengenai pentingnya peran perempuan dalam politik dan kehidupan sosial. Dengan integritas, keteguhan, dan keberanian dalam menghadapi ketidakadilan, beliau telah membuktikan bahwa perempuan tidak hanya berperan dalam urusan domestik, tetapi juga memiliki peran strategis dalam politik, keadilan, dan perubahan sosial, dari perjuangannya untuk membela hak-hak yang benar, serta memberi inspirasi bagi perempuan masa kini untuk terlibat dalam kehidupan politik dengan tujuan yang mulia demi terwujudnya masyarakat yang lebih adil dan sejahtera.

 

[1]  Kaukab ad-Durriyu, jil 1, hal 196 dinukil dari Jami az Zulale Kausar, Mishbah Yazdi hal  146

[2]  Majlisi, Biharul Anwar, jil 28, hal 205

[3]  QS al-Maidah:67

[4] A’lamul Wara‘, hal 132 dan  al-Irsyad, jil 1, hal 177

[5]  QS al-Maidah:3

[6] Kazim Gazwini, Fathimatuz Zahra az Wiladat ta Shahadat, hal 694