SIMPLE AND COMPLEX: SEBUAH ILUSTRASI PARADOKS EPISTEMOLOGIS(2)
Setelah melakukan itu semua, Budi mengambil keputusan untuk membelinya.
Tanpa menunggu tawaran pegawai toko, Budi minta penjelasan rinci tentang cara penggunaan dan fitur-fiturnya.
Kali ini pegawai itu yang kesal karena, setelah cukup lama menjelaskan itu, Budi minta diberi penjelasan tentang garansi dan syarat-syaratnya.
Tidak cukup sampai di situ. Budi minta penjelasan tentang sistem pembayaran tunai dan kredit serta perbandingan persentase bunga sejumlah bank.
Pegawai itu masih harus melakukan satu permintaannya lagi, yaitu memperlihatkan segel dan bukti keaslian barang yang dibelinya.
Penjual merasa lega setelah Budi tidak mengajukan pertanyaan atau permintaan tambahan. Setelah melakukan transaksi, Budi keluar dari toko sembari membawa televisi yang baru dibelinya.
Sesampai di rumahnya, Budi melakukan semua saran pegawai toko. Selanjutnya dia bisa menikmati barang elektronik dan fitur-fiturnya.
Ruwet dan Sederhana
Kata “ruwet” umum dipadankan dengan kata “rumit” atau “kusut”. Dalam komunikasi sehari-hari, “ruwet” cenderung dikonotasikan negatif karena asosiatif dengan kegagalan, kerugian, stress, dan depresi. Sementara lawan katanya adalah sederhana atau simpel. Dalam wawasan umum, termasuk bahkan dalam ontologi, mistisisme (irfan), dan akhlak, kata itu cenderung bermuatan positif. Apalagi frasa sederhana yang kerap dipahami “tidak mewah” bahkan “apa adanya” sehingga identik dengan kerendahan hati dan kejujuran.
Sebaliknya, dalam linguistik modern, terlebih di ranah logika dan sains, kata rumit atau komplek malah bertendensi sangat positif dan bonafid. Sinonimnya adalah kompleks dan canggih alias sophisticated.
Kesederhanaan pun kerap dikesankan sebagai kenaifan. Bila dimaksudkan sebagai suasana hati , maka kenaifan dikategorikan sebagai baik. Tapi akan menjadi buruk jika terkait dengan aktivitas akal atau mental.
Begitu pula dengan “mewah”. Dalam kategori kebendaan, “mewah” lazim dilekatkan dengan kesombongan, maka buruk. Namun, mewah dalam kategori konsep justru baik.
Orang yang sederhana dalam berpikir pada umumnya justru rumit dalam bertindak. Sebaliknya, orang yang rumit dalam berpikir biasanya sangat sederhana dan bersahaja dalam bertindak.
Orang yang begitu betah dalam pikiran sederhana biasanya merasa gatal untuk meremehkan pikiran-pikiran rumit yang runut dan mendetail. Namun, saat terbentur kenyataan dirinya tak tahu beluk implementasi suatu rencana atau konsep, ia pun selebor dan berbuat serampangan. Kepalang basah, saat diingatkan, ia pun berdalih dengan idiom “learning by doing: atau “trial and error”.
Rata-rata orang dan orang rata-rata cenderung menolak info atau ajaran yang tak diketahui atau tak diyakininya. Namun di saat yang sama, ia juga suka menyimak berulang kali info atau ajaran yang telah diketahui atau diyakininya. Baik penolakan maupun pengulangan itu umumnya bukan disebabkan validitas dan kekuatan argumennya. Namun lebih dikarenakan itulah info yang pertama kali mengisi benaknya.
Orang yang sengaja menghindari pikiran rumit dan memilih berpikir sederhana mengira bahwa pikiran sederhana membuahkan tindakan yang juga sederhana. Padahal pikiran yang rumit justru membekalinya detail pengetahuan sehingga implementasinya menjadi begitu sederhana.
Banyak kalangan yang sudah terlanjur tenggelam dalam suatu pandangan atau ajaran berusaha menghindari konsekuensi praktisnya (yang menjadi beban dengan beragam risikonya). Akibatnya, mereka terjebak dalam labirin romantisme what dan why tanpa pernah beringsut kepada how.
Sementara, sebagian pihak yang terbiasa berpikir sederhana, beranggapan bahwa kebenaran suatu pandangan atau ajaran bukan ditentukan oleh validitas argumentasinya, melainkan ditentukan oleh kemudahannya untuk dipahami pikirannya sendiri yang sederhana. Kadang menjadikan kesan personal tentang figur atau animo besar publik alias viral sebagai parameter.
Sebagian orang yang terbiasa dimanjakan oleh pikiran-pikiran sederhana juga cenderung menolak pikiran rumit yang memerlukan proses inteleksi sistematis. Mereka bahkan kerap mencemoohnya sebagai “ruwet” dan muluk-muluk. Semua itu tak lain demi mempertahankan zona nyaman berupa pikiran sederhana.
Orang yang pikirannya sudah terkurung dalam sangkar berpikir sederhana cenderung menggantikan prosedur berpikir rumit terkait keapaan (whatness) dengan kesiapaan (whoness) yang hanya membutuhkan telinga dan otak yang reseptif alias taken for gtanted.
Kelakuan orang yang terbiasa berpikir sederhana juga tak kalah menggelikan. Ia sangat memahami ketidakmampuannya berpikir rumit itu adalah sebuah cacat intelektual. Maka, ia pun tak ingin kekurangannya itu diketahui pihak lain. Modusnya adalah berperilaku ganjil demi mengalihkan perhatian khalayak dari kegembelan berpikirnya. Semisal, mengarang dusta yang njlimet seputar pengalaman supranatural di balik pikirannya yang cacat.
Mohon dicatat: membangun prinsip hidup di atas pikiran-pikiran hasil jalan pintas atau potong kompas, seperti minta saran dukun terkait masalah medis atau belajar agama dari oknum-oknum yang mengajarkan agama lewat caci-maki, fitnah hingga persekusi pihak lain, bukanlah alternatif sama sekali. Justru upaya tersebut hanya akan melahirkan persoalan-persoalan baru yang lebih kompleks sekaligus memerangkap para pelaku hingga pengikutnya dalam labirin keruwetan tanpa akhir.