Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Al-Ahzab 33 Bukti Ahlulbait Adalah Maksum

0 Pendapat 00.0 / 5

Ayat ke-33 dari surat Al-Ahzab secara jelas menunjukkan kemaksuman Ahlulbait as dari segala dosa, kesalahan dan maksiat. Konklusi ini merupakan bentuk kelaziman dari kata ar-rijs الرجس yakni bermakna kotoran rohani (bukan kotoran materi atau jasmani) pada ayat tersebut.

Kita dapat mengkaji topik ini dimulai dari kata ar-rijs الرجس secara bahasa. Di dalam kitab Mufradât alfâdz al-Qur’ân disebutkan bahwa ar-rijs itu pada dasarnya adalah sesuatu yang dibenci atau tidak disukai seperti hal yang buruk atau kotor. Hal tersebut bisa ditinjau berdasarkan syariat yang maksudnya disini adalah hukum fikih, dan juga dapat ditimbang oleh akal manusia.

إمّا من جهة العقل، و إمّا من جهة الشرع، و إمّا من كلّ ذلك كالميتة، فإنّ الميتة تعاف طبعا و عقلا و شرعا، و الرِّجْسُ من جهة الشّرع: الخمر و الميسر، و قيل: إنّ ذلك رجس من جهة العقل، و على ذلك نبّه بقوله تعالى: وَ إِثْمُهُما أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِما [البقرة/ 219]، لأنّ كلّ ما يوفي إثمه على نفعه فالعقل يقتضي تجنّبه، و جعل الكافرين رجسا من حيث إنّ الشّرك بالعقل أقبح الأشياء، قال تعالى: وَ أَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزادَتْهُمْ رِجْساً إِلَى رِجْسِهِمْ‏ [التوبة/ 125]، و قوله تعالى: وَ يَجْعَلُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِينَ لا يَعْقِلُونَ‏ ]يونس/ 100]

Bisa dari sisi akal, bisa dari sisi syariat atau pun dari keduanya seperti bangkai, karena baik secara tabiat, syariat maupun akal, bangkai itu adalah sesuatu yang tidak disukai atau dibenci. Ar-Rijs dari sisi syariat, seperti arak (minuman keras) dan perjudian, dikatakan pula bahwa keduanya itu adalah Rijs (sesuatu yang dibenci) dari sisi akal, oleh sebab itu Allah Swt memperingatkannya: “Tetapi dosanya lebih besar dari manfaatnya” (Al-Baqarah: 219). Sebab segala sesuatu yang dosa atau keburukannya melebihi manfaatnya, akal menghukumi untuk meninggalkannya. Dan juga orang-orang kafir dijadikan sebagai Rijs karena akal memandang syirik/kafir adalah hal yang paling buruk, Allah Swt Berfirman: “Adapun (bagi) orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit, maka (dengan surat itu) akan menambah Rijsan (kekafiran) mereka pada Rijsihim (kekafiran mereka)” (At-Taubah: 125). Dan Allah Swt berfirman : “Dan Allah menjadikan Rijs bagi orang-orang yang tak berpikir” (Yunus: 100).

Zujâj berkata :

الرّجس- في اللغة- كل ما استقذر من عمل، فبالغ اللَّه في ذمّ أشياءسماها رجساً

“Ar-Rijs – secara Bahasa – segala hal yang dianggap jijik dan kotor dalam sebuah perbuatan, maka Allah Swt mengungkapkan celaan pada sesuatu dengan kata Rijs.”

Ibnu Kalbi mengatakan:

رجس من عمل الشيطان، أي مأثم

“Rijs dari perbuatan setan, yakni bermakna dosa atau kesalahan.”

Berdasarkan Pernyataan para ahli bahasa ini, maka dapat disimpulkan bahwa makna dari Rijs itu adalah kotoran atau keburukan yang menyebabkan jiwa manusia merasa benci dan jijik terhadapnya, baik itu yang bersifat jasmani ataupun rohani.
Untuk lebih jelasnya, kita dapat menemukan Rijs sebagai kotoran jasmani disebut dalam ayat Al-Quran berikut ini:

قُلْ لَّآ اَجِدُ فِيْ مَآ اُوْحِيَ اِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلٰى طَاعِمٍ يَّطْعَمُهٗٓ اِلَّآ اَنْ يَّكُوْنَ مَيْتَةً اَوْ دَمًا مَّسْفُوْحًا اَوْ لَحْمَ خِنْزِيْرٍ فَاِنَّهٗ رِجْسٌ

“Katakanlah, ‘Tidak kudapati di dalam apa yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan memakannya bagi yang ingin memakannya, kecuali (daging) hewan yang mati (bangkai), darah yang mengalir, daging babi karena ia Rijs (Najis).’” (Al-An’am: 145)

Di sisi yang lain, kita juga mendapati ayat yang menjelaskan Rijs sebagai kotoran rohani atau keburukan batin:

فَمَنْ يُّرِدِ اللّٰهُ اَنْ يَّهْدِيَهٗ يَشْرَحْ صَدْرَهٗ لِلْاِسْلَامِۚ وَمَنْ يُّرِدْ اَنْ يُّضِلَّهٗ يَجْعَلْ صَدْرَهٗ ضَيِّقًا حَرَجًا كَاَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِى السَّمَاۤءِۗ كَذٰلِكَ يَجْعَلُ اللّٰهُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِيْنَ لَا يُؤْمِنُوْنَ

“Maka, siapa yang Allah kehendaki mendapat hidayah, Dia akan melapangkan dadanya untuk menerima Islam. Siapa yang Dia kehendaki menjadi sesat, Dia akan menjadikan dadanya sempit lagi sesak seakan-akan dia sedang mendaki ke langit. Begitulah Allah menimpakan Rijs (siksa) kepada orang-orang yang tidak beriman.” (Al-An’am:125)

Berangkat dari sanalah kita bisa menyimpulkan bahwa maksud dari ar-rijs di dalam surat Al-Ahzab ayat 33 adalah segala perbuatan yang buruk berdasarkan syariat atau Urf (diketahui secara umum), yang mana fitrah manusia pun tidak menyukainya. Sebab Allah Swt berfirman :

وَ يُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيراً

“Dan Dia membersihkan kalian sebersih-bersihnya.”

Tidak bisa kita bayangkan bahwa pembersihan ini adalah pembersihan dari kotoran jasmani, sebab tidak ada faedahnya ta’kid (penegasan) menggunakan Masdar (Asal kata kerja dalam bahasa Arab) jikalau hanya pada masalah jasmani. Sehingga maksud dari pembersihan ini adalah dari kotoran maknawi dan rohani yakni bersih dari segala perbuatan maksiat, dosa dan kesalahan lainnya.

Di sisi lain, ayat ini sama persis seperti ayat yang menunjukkan mengenai kesucian Sayyidah Maryam sa:

وَاِذْ قَالَتِ الْمَلٰۤىِٕكَةُ يٰمَرْيَمُ اِنَّ اللّٰهَ اصْطَفٰىكِ وَطَهَّرَكِ وَاصْطَفٰىكِ عَلٰى نِسَاۤءِ الْعٰلَمِيْنَ

“(Ingatlah) ketika Malaikat (Jibril) berkata, ‘Wahai Maryam, sesungguhnya Allah telah memilihmu, menyucikanmu, dan melebihkanmu di atas seluruh perempuan di semesta alam (pada masa itu).’” (Ali Imran: 42)

Maka Jelaslah bahwa Iradah Takwiniah Tuhan untuk menghindarkan Ahlulbait as dari segala kotoran maknawi dan rohani adalah segala amal buruk yang diakui secara Urf dan syariat, dan tentunya Iradah tersebut dikaitkan kepada manusia pilihan, yang bersih dari segala aib, kecacatan serta keburukan.

Kesimpulan lain dari pembahasan diatas adalah bahwa tidak mungkin kita nisbatkan Ahlulbait as kepada istri-istri Nabi saw, karena tidak ada seorang pun yang mengklaim bahwa istri-istri Nabi saw itu suci dan maksum serta terhindar dari segala dosa dan kesalahan. Oleh sebab itu ayat ini khusus untuk Ahlulbait as yang suci dan maksum dari segala dosa dan maksiat serta kesalahan Yakni Ahlul kisa (orang-orang yang berada kain Kisa) dan mereka adalah Rasul saw, Imam Ali as, Sayyidah Fatimah as, Imam Hasan as dan Imam Husein as, bahkan di Sebagian riwayat dikatakan sampai kepada Imam Mahdi as.

Dalil lain yang bisa kita katakan bahwa istri-istri Nabi Saw tidak masuk dalam kategori Ahlulbait as yang maksum, adalah adanya ayat-ayat mengenai istri-istri Nabi saw di mulai dari ayat ke-28 – 34, sedangkan Khitob (pesan atau pernyataan) ayat–ayat tersebut ditujukan kepada istri- istri Nabi Saw menggunakan kata al-azwâj (pasangan) dan terkadang pula dengan kata nisâunnabi (istri- istri Nabi). Yang jadi pertanyaan adalah apa alasan terjadinya perubahan antara kata-kata tersebut menjadi Ahlulbait as? Maka bisa kita katakan bahwa tidak ada jalan lain, alasan perubahan tersebut adalah perubahan objek dari khitobnya, sehingga khitobnya kepada ahlulbait as bukanlah kepada istri-istri nabi saw.