Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Ushul Fikih; Sebuah Perbandingan Antara Madrasah Ahlul Bait dan Ahlusunah

0 Pendapat 00.0 / 5

Pemikiran ushul fikih bertujuan mencari jawaban yang terkandung dalam syariat Islam dan menempatkan kaidah-kaidah yang mempunyai potensi ruang lingkup luas di dalam syariat serta mampu menghadapi tuntutan masalah manusia kapan pun dan dimana pun. Pemikiran ushul fikih bertanggung jawab besar mengembangkan pemikiran dalam rangka memenuhi tuntutan zaman. Adalah jelas bahwa tempat dan waktu terus mengalami perluasan kapasitas dan perkembangannya. Sehingga hal ini menjadikan pemikiran ushul fikih memiliki tugas rutin untuk melaksanakan kewajibannya sebaik mungkin, demikian pula dengan perkembangannya yang tidak boleh berhenti bahkan harus terus tumbuh.

Disiplin ilmu ushul fikih selalu memberikan pembaruan bagi orang yang mengalami kelemahan dan kejumudan dalam pemikiran ushul, sehingga dengan demikian pemikiran ushul tetap langgeng. Pemikiran ushul fikih yang islami berupaya menghubungkan pelbagai pemikiran yang memilki kesamaan dengan ushul. Dan pemikiran ushul fikih juga harus berkewajiban untuk mengontrolnya.

Mungkin saja pemikiran ushul mempunyai hubungan dekat ataupun jauh dengan pelbagai bidang agama atau hukum positif, akademi atau non akademi, seperti pelbagai disiplin ilmu, teori-teori bahasa, undang-undang atau akedemi modern. Pemikiran ushul juga memilki hubungan yang dekat dan jauh dalam kaitannya dengan pemikiran Ahlusunah dan Syiah. Dua mazhab ini sangat kaya dengan pemikiran akan tetapi keduanya memiliki perbedaan pandangan, baik secara metodologis maupun pendiri/tokoh sentralnya. Meskipun demikian keduanya secara keilmuan tetap saling membantu dan melengkapi sehingga keduanya mampu mengharumkan keilmuan Islam dan memajukannya. Mazhab Imamiyah berperan penting di bidang pemikiran umum yang berjalan selama dua abad yang lalu.

Pada dasarnya pemikiran ushul fikih yang bersifat umum mengalami perkembangan yang cepat dan pesat karena kedua mazhab besar Islam ini satu sama lain saling bergotong royong. Mazhab Ahlusunah mengadopsi apa yang dimiliki oleh mazhab Syiah, baik dari sisi metode maupun pandangan-pandangannya, dan mazhab Syiah pun melayani kebutuhan saudaranya dengan baik dan memberikan persepsinya secara bebas. Maka tak ayal lagi, kedua mazhab Islam ini pun mengalami perkembangan yang pesat sepanjang masa.

Sebagaimana kedua mazhab ini telah mediskusikan masalah Sunah sebagai bahan kajian, lalu menguraikannya secara ilmiah dengan bentuk dan metode yang berbeda-beda. Meskipun pada akhirnya kesimpulan akhir dari hasil kajian masing-masing mazhab berbeda, namun sudah barang tentu kita menyikapinya secara wajar, dewasa dan bijaksana. Kita harus mampu memaparkan tema yang penuh dengan dinamika. Dan salah satu tema yang sangat dinamis adalah tema syariat Islam, dimana kita harus mampu memberikan perbandingan pandangan di dalamnya. Dari situlah kita akan menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang bisa memuaskan kedua mazhab ini. Dua mazhab besar ini memberikan kontribusi yang sangat besar untuk memajukan pemikiran ushul fikih islami yang umum dan mampu memenuhi tuntutan yang dimaksudkan oleh ilmu ushul.

Kedudukan Sunah dalam Pandangan Kaum Muslim

Sunah menduduki posisi yang khusus dalam pandangan kaum muslim setelah Al Quran al Karim, dan kaum muslim sepakat akan hal itu, tetapi hanya segelintir saja yang menolaknya, seperti kaum Khowarij dan Zanadiqoh. Sunah menjadi sumber rujukan kedua sebagai landasan penetapan syariat Islam. Seandainya saja Sunah tidak ada maka syariat tidak akan sempurna dan hanya tinggal dasar-dasar secara umum dan hukum yang terpotong-potong.

Sunah menurut bahasa berarti jalan yang ditempuh yang bersifat terus-menerus. Menurut istilah fiqih, yang dimaksud dengan Sunah terkadang memiliki kesamaan dengan hukum istihbab (hukum Sunah) lawan dari bid’ah. Terkadang juga memiliki arti yang kedua menurut istilah ilmu kalam. Adapun kesepakatan di antara mazhab Islam adalah bahwa sunah berarti perkataan Nabi saw, perbuatan, atau keputusannya.

Mazhab Imamiyah mempunyai dalil-dalil yang diambil dari Ahlul Bait Nabi saw, dimana mereka adalah hujah-hujah untuk umat setelah Nabi saw. Sebab itulah mereka memperluas definisi Sunah hingga mencakup Sunah para imam Ahlul Bait. Sehingga istilah Sunah menurut mereka berarti perkataan seorang maksum (manusia yang terjaga dari dosa), perbuatan dan keputusannya.

Bagi yang membutuhkan kebenaran maka Sunah merupakan perkara yang jelas yang tidak membutuhkan penjelasan dan pembuktian. Seandainya saja tidak ada dalil yang membuktikan Sunah maka peninggalan Nabi dan pengajarannya akan menjadi sia-sia belaka. Andaikan Sunah tidak ada maka jawaban-jawaban yang diberikan dari pertanyaan kaum muslim pasti tidak berfaedah karena jawaban tersebut tidak berdasarkan pijakan yang jelas. Di samping itu, ayat-ayat Al Quran pun tidak akan dipahami dengan baik dan benar dan ketaatan kepada Nabi saw akan sirna dan patut dipertanyakan. Tanpa Sunah, tidak ada artinya mempelajari perintah dan larangan Nabi saw. Berkaitan dengan hal ini, Allamah Sayyed Muhammad Taqi Al hakim berkata: ”Sungguh hampir saja aku tidak memahami arti Islam tanpa adanya Sunah.”

Sunah yang sampai pada tingkatan tertentu akan memberikan kejelasan sedangkan membangun bukti tanpa berdasarkan Sunah tidak akan memilki arti sama sekali. Karena yang bisa dijadikan bukti/dalil adalah ilmu maka para pakar ilmu ushul fikih mengatakan yang bisa dijadikan dalil adalah Kitab, Sunah, ijma’ dan akal. Kita harus menguasai keempat hal tersebut. Sebenarnya para ahli fikih dan dan para imam empat mazhab telah membahas dan menetapkan bahwa Sunah itu sebagai hujah (bukti). Dan mereka pun memperluas cakupan pembahasan, seperti Imam Syafi’i dalam kitabnya “Al um”, dalam kitabnya “Irsyadul fuhul ila ilmu ushul”, Syeih Muhammad Abu zahra dalam kitabnya “Ushul fiqih”, Syeih Doktor Wahbah Az zahili dalam kitabnya “Ushul figih al Islami”. Dan masih banyak lagi dari orang-orang terdahulu dan sekarang.

Sayyed Muhammad Taqi Al Hakim ikut berkomentar dalam kesempatan ini ketika para ahli ushul dan para imam empat mazhab menjadikan Sunah sebagai dalil dengan alasan berikut:

1. Al-quran: Al-quran yang menunjukan kebenaran Sunah Nabi saw sebagai dalil dengan firman-Nya: “Taatlah kalian pada Allah dan taatlah pula pada Rasul-Nya dan pemimpin yang datang dari kalian, jika kalian berseteru pada sesuatu maka kalian kembalikanlah pada Allah dan Rasul-Nya...? Allah SWT berfirman :”....maka apa yang datang pada Rasul kalian ambillah dan apa yang dilarang olehnya maka jauhilah...” Allah SWT berfirman: ”Barang siapa yang taat pada Rasul maka ia telah taat pada Allah...” Al Qozali berdalil dengan firman Allah SWT: ”Tidaklah keluar dari ucapan (Muhammad) dari hawa nafsunya melainkan wahyu yang diturunkan.” Sebagian wahyu yang dibacakan maka dinamakan Kitab (Al-quran) dan sebagian yang lain yang tidak dibacakan dinamakan dengan Sunah. Sunah Nabi saw bagian dari wahyu Ilahi yang wajib ditaati.

2. Sunah( hadis): Sebagian mereka berdalil Sunah dengan Sunah itu sendiri, seperti sabda Rasul saw pada haji wada’: “Aku tinggalkan pada kalian dua perkara yang tidak akan tersesat kalian dengan keduanya selama-lamanya, yaitu Kitab Allah dan Sunah Nabi.” Sayyed Al Hakim memberikan komentar atas dalil di atas: ”Dalil ini sangat aneh, karena menimbulkan daur (rotasi) (daur=A butuh B, B butuh A). Karena sesuatu tidak mungkin membuktikan untuk dirinya sendiri.

3. Ijma’: mereka juga berdalil tentang keabsahan Sunah dengan ijma’. Sayyed Al Hakim memberikan komentar, ijma’ jika sumbernya dari Sunah maka ini juga menghasilkan daur, karena ada juga orang yang tidak mengetahui bahwa ijma’ itu sebagai dalil. Maka tidak mungkin ijma’ dijadikan sebagai dalil.

4. Akal: Akal mengatakan bahwa Nabi saw terjaga dari dosa, kesalahan dan lupa. Jika kenabiannya sudah tertetapkan maka keterjagaannya dari dosa pun akan tertetapkan pula. Jika ismah-nya sudah tertetapkan maka Sunahnya adalah syariat. Maka perkataan Nabi saw, perbuatan dan keputusannya tidak mungkin bohong. Perbuatan, perkataan dan keputusannya menjadi bagian dari risalah yang bergantung pada terpeliharanya Nabi dari dosa, salah dan lupa. Kaum muslim pun sepakat terhadap pendapat di atas. Sayyed Muhammad Taqi Al Hakim mengomentari: ”Secara akal dari bukti-bukti yang ada mungkin dapat disebutkan bahwa Sunah itu hujah dan mengingkarinya sama saja dengan mengingkari kenabian. Karena tidak mungkin maksiat muncul dari Nabi, seperti salah dalam tablih, lupa atau lalai yang menghilangkan kepercayaan [manusia terhadapnya] atau yakin dengan apa yang disampaikan sebagai tugas dari Allah SWT, padahal boleh jadi ada kemungkinan salah, lupa dan lalai di dalamnya.”. Meskipun dalil di atas masih diperdebatkan dan dipermasalahkan namun kemudian beliau menjawabnya untuk menghilangkan keraguan dan kesamaran sehingga dalil itu disifati sebagai dalil yang kuat. Dan juga sebagai ganti dari dalil Al-quran yang tidak membutuhkan pemikiran luas.

Pakar ushul empat mazhab ingin mengantarkan pembahasan ini seelegan mungkin dengan mencari dalil bagi orang-orang yang mengingkari Sunah sebagai hujah dengan berdalil bahwa A-lquran telah menyifati dirinya sebagai penjelas segala sesuatu. Kalau saja Al-quran butuh pada Sunah maka ia bukan lagi sebagai penjelas segala sesuatu dan keberadaan Al-quran akan sia-sia belaka. Allah SWT telah menjamin Al-quran dengan menjaganya, sedangkan Dia tidak menjamin untuk menjaga Sunah. Mereka menolak dalil yang mengatakan bahwa Al-quran yang memberikan petunjuk pada Sunah. Maka penjelasan Sunah harus dilihat seperti kedudukan penjelasan Al-quran. Meskipun Al-quran menjadi penjelas segala sesuatu, namun ini tidak berarti mengesampingkan Sunah. Karena banyak syariat yang diambil dari Sunah, seperti bagian-bagian dari kewajiban dan syarat-syaratnya, Sunah-Sunah yang membatalkan dan larangan-larangannya. Dan itu banyak terdapat di fiqih pada bab mua’malat dan iqo’aat.

Pada kajian ini mereka mengatakan bahwa Zanadiq dan kaum Khawarij telah sepakat pada sebuah hadist yang berbunyi: ”Apa saja yang datang pada kalian itu adalah dariku, maka hendaklah kalian merujuk Al-quran, jika sesuai dengan Kitab Allah maka aku yang mengatakannya dan jika bertentangan aku tidak pernah mengatakannya. Bagaimana mungkin aku bertentangan dengan Al-quran karena sebab Al Quran aku mendapatkan petunjuk.” Imam Syafi’i telah mengatakan hadis yang sama: “Seseorang meriwayatkan untuk memperkuat hadist ini pada sesuatu yang kecil dan tidak besar.” Mereka menolak karena hadis di atas dianggap buatan dan bertentangan dengan Al-quran, sementara Al-quran memerintahkan supaya kita mengambil Sunah Rasul saw.

Tujuan mencocokkan hadis dengan Al-quran adalah untuk membedakan antara hadis yang benar dan palsu. Dan itu sebagai dasar bagi para ulama ushul fikih Imamiyah untuk menyelesaikan pertentangan yang muncul dari dalil-dalil syar’i. Mereka memiliki banyak riwayat yang benar yang sesuai dengan Al-quran dan mereka akan mencampakkan ke dinding kalau saja ada hadis yang bertentangan dengan Al-quran.

Pemikiran yang bertentangan dengan Al-quran tidak bisa dijadikan sebagai dalil, dan tidak penting menisbatkannya pada kaum Khowarij dan Zindig, karena akan menyebabkan sia-sia belaka. Karena menetapkan Sunah pada Sunah akan menjadi daur (siklus), demikian pula membatalkan Sunah dengan Sunah adalah perkara yang tidak mungkin.

Dua madrasah besar Sunni dan Syiah sebagai unsur yang bertanggung jawab pada kajian-kajian ilmiah yang beraneka ragam. Metode keduanya harus mampu menjelaskan sejauh manakah kebutuhan akan kajian-kajian ushul. Syathiby dan lainnya juga memahami sebagaimana para pakar ushul fikih Ahlusunah memahami tentang hadis yang menyatakan bahwa Sunah menjadi tempat rujukan Al-quran, lalu dia mengomentarinya: “Cara yang semacam ini jelas salah, karena ini telah dilakukan oleh orang-orang terdahulu.” Akan tetapi di halaman selanjutnya dia mengatakan: “Apabila hadis bertentangan dengan Al-quran maka hadis itu telah dusta.”

Sunah berkewajiban menjawab dengan mengatakan bahwa hadis-hadis yang benar adalah yang sesuai dengan Al-quran dan tidak membelakanginya. Karena banyak yang berpegang teguh pada hadis hanya dengan anggapan saja tanpa mengoreksi apakah hadis tersebut benar atau tidak. Maka dengan berlalunya zaman, mereka mengetahui cara untuk menolak hadis-hadis palsu.

Apabila sebuah hadis memiliki bukti yang didukung oleh Al-quran maka hadis itu akan menjadi hujah sehingga tidak akan ada hadis-hadis lain yang menafikannya. Dan saat itu pula Al-quran akan menjadi hakim tentang kebenaran sebuah hadis. Terkadang Al-quran sebagai saksi tetapi tidak jelas pada dirinya dan membutuhkan petunjuk dari hadis yang lain. Karena banyak dari permasalahan yang terjadi di dalam Al-quran tetapi tidak bisa diungkapnya, maka dibutuhkanlah hadis sebagai penyingkapnya. Dengan catatan bahwa hadis itu sesuai dengan Al-quran.

Pada akhirnya pembahasan hadis yang dijadikan sebagai rujukan harus sesuai dengan wahyu dan syariat bukan seperti kata ijtihad. Sebagain mereka berkeyakinan bahwa Nabi saw terkadang berijtihad, sedangkan ijtihad itu berpotensi salah dan lupa. Apakah mungkin terjadi kesalahan dan lupa pada Sunah Rasul saw. Juga tidak benar sebagian mereka yang berpendapat demikian “bahwa ijtihad Rasul saw pada hukum-hukum dasar Al-quran dan inti syariat.” Yang benar, yaitu yang mengatakan bahwa Sunah berdasarkan ‘ismah (terjaga) Nabi saw dari dosa, kesalahan dan lupa.

Syathiby mengatakan dalam kitabnya yang berjudul Al Muwafaqat bahwa hadis itu datang dari Allah SWT murni atau hasil dari ijtihad Nabi saw melalui wahyu yang benar yang berdasarkan Al-quran atau Sunah, kedua-duanya tidak mungkin ada pertentangan berdasarkan ayat yang artinya ‘apa yang diucapkan bukan dari hawa nafsu melaikan wahyu yang telah diturunkan.’ Seandainya perkataan Nabi itu boleh salah, maka tidak bisa berpegang dengannya dan harus mencari kebenaran. Sesungguhnya Allah SWT tidak akan membiarkan Nabi saw berijtihad salah, maka Dia akan segera mengembalikan pada kebenaran sebelum beliau mengamalkannya.

Pendapat di atas sama sekali tidak benar, karena jelas bahwa Nabi saw tidak akan berbicara sesuai hawa nafsunya melainkan melalui wahyu yang diturukan padanya. Karena itu seluruh perkataannya adalah hadis. Tidak benar pembagian Sunah pada wahyu dan ijtihad. Seandainya ijtihad itu benar apakah itu perkara yang harus dilakukan? Dan apa kebutuhan Nabi saw pada ijtihad yang menghasilkan pada sebuah hukum, yang terkadang sesuai dengan realita dan terkadang tidak sesuai. Dan apakah ijtihad mampu menghasilkan sebuah hukum yang datang dari wahyu secara langsung?

Sesungguhnya pemikiran ijtihad Nabi saw yang diyakini oleh empat mazhab Ahlusunah membutuhkan pembahasan dan kajian yang cukup mendalam. Dan tentu bukan di sini tempatnya. Ini adalah perbedaan yang mendasar di antara dua mazhab ushul, yaitu madrasah Imamiyah dan madrasah Ahlusunah.(taqrib.info)