Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

AGAMA TANPA MANUSIA" DAN "AGAMA TANPA TUHAN"

0 Pendapat 00.0 / 5

Agama Tuhan tanpa Manusia: Dogma dalam Ruang Hampa

Agama, dalam pandangan ini, adalah monolog langit yang turun sebagai titah absolut. Manusia ditempatkan sebagai objek pasif—hamba yang wajib tunduk tanpa hak bertanya, mengkritik, atau merenungkan makna. Akal, yang seharusnya menjadi lentera pencari kebenaran, dikubur di bawah timbunan dogma. Agama dianggap "sempurna" hanya jika manusia diam, seolah wahyu ilahi tak perlu bersentuhan dengan realitas sosial, budaya, atau nalar kritis.

Inilah agama yang terperangkap dalam paradoks: ia diklaim "untuk manusia," tetapi justru mengabaikan manusia sebagai subjek yang bernalar, berperasaan, dan berevolusi. Bagai kitab suci yang dibacakan di tengah gurun tak berpenghuni, agama menjadi seruan yang menggema di ruang kosong—indah secara teologis, tetapi mandul secara humanis.

Agama Manusia tanpa Tuhan: Narasi yang Rapuh

Di kutub berlawanan, agama direduksi menjadi proyek manusia belaka: sistem etika, alat kontrol sosial, atau bahkan komoditas politik. Tuhan diusir dari panggung, digantikan oleh klaim-klaim antroposenris yang menjadikan agama sebagai cermin kepentingan kelompok. Ritual dirayakan tanpa makna transenden, kitab suci dibaca tanpa keyakinan akan firman ilahi, dan otoritas agama direbut oleh manusia yang berlomba menjadi "tuhan kecil."

Inilah agama yang kehilangan jiwa. Ia mungkin tampak relevan secara praktis, tetapi tanpa dimensi sakral, ia hanyalah bangunan retorika yang rapuh—seperti mercusuar tanpa cahaya, yang tak mampu membimbing kapal-kapal yang tersesat di laut gelap.

Sintesis yang Hilang: Agama sebagai Jembatan Langit dan Bumi

Agama, dalam esensinya, adalah dialektika antara transendensi dan imanensi. Ia bukan monolog Tuhan atau manusia, melainkan percakapan abadi antara keduanya. Dari Sansekerta, kata agama (a = tidak, gam = pergi) mengisyaratkan "yang tak lekang oleh waktu," tetapi juga "yang mengakar dalam keteraturan." Inilah paradigma yang sering terlupakan: agama adalah wahyu yang diturunkan untuk manusia, tetapi juga dioperasikan oleh manusia.

Krisis Otoritas: Akar Konflik yang Tak Kunjung Usai

Sejarah agama sering kali adalah tragedi penyimpangan otoritas. Setiap gerakan pembaruan mengklaim ingin "memurnikan" ajaran sebelumnya dari distorsi, tetapi ironisnya, mereka terjebak dalam lingkaran yang sama:

1. "Kodifikasi teks" yang melahirkan ragam versi (seperti perbedaan qira’at Al-Qur’an atau variasi kanon Bibel). Perebutan tafsir** yang memicu sekte-sekte saling mengkafirkan.

2. "Politik kuasa" yang mengubah altar suci menjadi takhta duniawi.
Konflik ini bukan sekadar perselisihan teologis, tetapi cermin dari kegagalan manusia menjaga keseimbangan antara otoritas ilahi dan "tanggung jawab insani". Agama tanpa otoritas yang terjaga (seperti institusi kenabian atau imamah) bagai kapal tanpa nahkoda—terombang-ambing di tengah gelombang subjektivitas dan keserakahan.

Visi yang Terkoyak: Antara Kegagalan Masa Lalu dan Harapan Mahdisme

Agama ideal digambarkan sebagai sistem yang utuh:

1. Kitab induk yang terjaga otentisitasnya,

2. Kader pemimpin yang dijamin kesucian dan kompetensinya,

3. "Ajaran universal"yang selaras dengan fitrah manusia dan logika semesta.

Namun, realitas berkata lain. Sejak pendirinya wafat, sebagian besar lembaran sejarah para pemegang kekuasaan di dalamnya berbau anyir darah genosida kelompok “pembangkang’ dan pembersihan, perburuan, penyekapan, permenggalan manusia-manusia teladan, para bijakawan, filosof dan mistikus. Penjajahan berupa ekspansi dan aneksasi dikenang sebagai perluasan agama dan masa kelam berkuasanya para tiran berjubah agamawan diagungkan sebagai masa kejayaan.

Agama justru menjadi panggung pertarungan klaim kebenaran, di mana simbol-simbol suci diinjak-injak demi ambisi kekuasaan. Penelikungan politik, pembantaian Al-Husain sebagai simbol otoritas legal dan lahrnya otoritas-otoritas palsu berjubah khilafab dalam dinasti-dinasti feodalistik, ekspansi dan aneksasi atas nama penyebaran agama adalah bukti: ketika agama kehilangan otoritas sublim, yang tersisa hanyalah fanatisme dan kehancuran.

Akibat pertentangan pemahaman dan sengketa klaim otoritas terutama seputar sumber otoritatif yang merepresentasi ajarannya bahkan dalam identifikasi dan dokumentasi teks-teks referensialnya, masyarakat agama tak terbentuk.

Di tengah kegelapan ini, konsep "Mahdisme" muncul sebagai oase harapan. Ia bukan sekadar doktrin tentang figur penyelamat, melainkan "protes terhadap status quo agama yang korup."

Inilah esensi agama yang sejati: dianut bukan karena kepuasan akan praktik masa kini, melainkan karena keyakinan akan visi masa depan. Seperti biji yang percaya pada musim semi, penganut agama sejati bertahan di tengah musim gersang, menanti hujan rahmat yang akan menghidupkan kembali tanah tandus.

Agama bukanlah monumen mati yang dipuja, melainkan "perjalanan dinamis menuju keadilan semesta". Ia memerlukan kesadaran bahwa:

1. Otoritas ilahi adalah kompas yang menjaga arah,

2. Kritisisme manusia adalah sayap yang membawa agama menyentuh realitas,

3. Harapan eskatologis adalah api yang menjaga iman tetap menyala.

Hanya dengan merangkul ketiganya, agama bisa menjadi jembatan—bukan tembok; menjadi obat—bukan racun; dan menjadi cahaya—bukan bayang-bayang yang menakutkan.

Selamat Nisfu Sya’ban! Semoga malam ini mengingatkan kita: agama ada bukan untuk mengukir masa lalu, tetapi untuk membidik fajar.