SEKELUMIT TENTANG "GAIB" DAN "KEGAIBAN" DALAM.KONTEKS MAHDISME
Menyelidiki Eksistensi dan Realitas
Eksistensi dalam pengertian primer meliputi segala yang ada, yang dikenali maupun tidak dikenali, diyakini adanya dan tidak diyakini adanya. Dengan kata lain, keberadaan tidak ditentukan oleh pengetahuan, penerimaan dan penolakan.
Eksistensi meliputi dua; a) eksistensi internal yang lazim disebut ide dan mental dan diatribusi subjektif berupa pikiran dan perasaan; dan b) eksistensi eksternal yang lazim disebut realitas, dan diatribusi objektif) berupa fakta dan fenomena.
Eksistensi eksternal atau realitas adalah eksistensi yang dikenali dam diyakini oleh diri subjektif. Dengan kata lain, yang diyakini atau diterima dengan atau tanpa bukti adalah realitas, sedangkan yang tidak diyakini dengan atau tanpa bukti bukanlah realitas.
Realitas meliputi a) segala yang diyakini dan dipastikan eksistensinya dengan indera; b) yang diyakini dan dipastikan eksistensinya tanpa indera.
Realitas yang terinderakan secara personal maupun secara metodologis disebut benda dan diatribusi materiall, fisikal dan bendawi. Sebagian masyarakat umum menyebutnya dunia nyata, dunia yang tampak, kenyataan dan sebagainya.
Realitas yang tak terinderakan mencakup a) realitas yang diyakini dan dipastikan eksistensinya dengan akal abstrak yang disebut realitas yang dipahami; b) realitas yang diyakini dan dipastikan eksistensinya tanpa akal abstrak yang disebut realitas yang dialami.
Menyelidiki Terma Gaib
Para filsuf metafisika dan para mistikus menyebut tealitas yang tak terinderakan (yang dipahami dan yang dialami) dengan realitas immaterial, metafisikal atau astral dan semacamnya. Kitab suci Al-Quran memberinya nama "gaib".
Allah SWT berfirman: “Allah tidak akan memberitahukan kepadamu tentang hal-hal yang gaib, akan tetapi Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya di antara para utusan-Nya.”[1]
Secara bahasa, yang gaib digunakan untuk merujuk pada hal-hal yang tidak dapat dinderakan. Yang dimaksud dengan gaib dalam terminologi Al-Qur’an dan Hadits adalah hal-hal yang tidak diketahui penyebabnya secara umum.
Hal-hal yang tidak tampak atau gaib dapat dibagi dalam dua kategori pembagian,
Pembagian pertama :
Gaib partikular. Yaitu hyang namun tampak melalui pendidikan, pemikiran dan riyadhah atau kontemplasi .
Gaib total yang hanya bisa diketahui dan diperoleh oleh Allah SWT, dan Dia memberitahukannya kepada siapa saja yang Dia kehendaki.
Pembagian kedua
Gaib yang diungkap. Yaitu realitas gaib yang tak kasat mata yang diwahyukan Allah kepada para nabi dan rasul. Bagian ini mencakup mukjizat, agama, dan semua berita tak terlihat lainnya.
Gaib tak terungkap. Yaitu realitas gaib yang hanya diketahuui Allah SWT dan tidak seorang pun dapat mengetahuinya.
Bagian kedua adalah realitas gaib, yang tidak diketahui oleh selain Tuhan. Ia disebut karena tak dapat dijangkau dengan indera, akal dan hati. Zat adalah salah satunya.
Banyak orang karena merasa rasionalis dan mempercayai logika sebagai sistem validasi pikikran, menganggap sesuatu yang "tak masuk akal" sebagai tidak benar dan harus ditolak. Padahal tak dinalarkan tak mesti tak benar.
Ada dua hal tak masuk akal.
1. "Tak masuk akal" karena yang dipikirkan meniscayakan kontradiksi an paradoks. Karena ditolak oleh akal epistemologis, ia dianggap sebagai irrasional.
2. "Tak masuk akal" karena yang dipikirkan adalah sesuatu yang tak berquiditas dan tak mempunyai keapaan sebagai kemasan eksistensial. Ia tak terjangkau oleh rasio namun dapat diterima dengan rasio ontologis. Inilah realitas supra rasional.
Menyelidiki Kegaiban
Tidak keluar dari tema filosofis gaib adalah kegaiban dalam konteks Mahdisme.
Beberapa orang mungkin tidak setuju apakah Mahdisme menjadi bagian dari isu filsafat atau hanya sebuah titik tambahan di tatanan tradisional filsafat Islam. Sebagian berpendapat bahwa Mahdisme lebih terkait dengan keyakinan dan kebiasaan para pembuat sejarah untuk membedakan antara penelitian doktrinal dengan penelitian filsafat dalam metode dan fokus subjeknya.
Namun, apakah Mahdisme juga dapat dianggap sebagai masalah filsafat? Tentu saja, karena gagasan ini menyentuh pola pikir manusia tentang takdir, tujuan, dan hakekat hidup sejak zaman kuno. Tesis yang diajukan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini bisa melibatkan beragam bidang pengetahuan seperti sosiologi, psikologi, antropologi, filsafat, dan kepercayaan (teologi).
Sejumlah tokoh sejarah filsafat, seperti Plato, Al-Farabi, Nietzsche, dan Bernard Shaw, menawarkan jawaban-jawaban tentang pertanyaan-pertanyaan esensial ini. Bagaimana hasilnya? Apakah jawaban-jawaban ini berhasil atau gagal memenuhi harapan manusia?
Jika Mahdiisme telah tersemat kuat dalam hati nurani dan fitrah manusia, maka gagasan ini bukan lagi sekadar ide, melainkan sebuah keyakinan yang didorong oleh pengharapan akan pemenuhan janji ilahi. Dengan keyakinan ini, orang akan aktif menunggu kedatangan "penolong" yang dijanjikan, sehingga sikap dan persiapan sebelum kedatangannya menjadi sangat penting.
Jadi, apakah kita dapat mempertimbangkan Mahdisme dalam kerangka filsafat umum? Pertanyaan-pertanyaan esensial tentang nasib manusia, tujuan hidup, dan perjalanan menuju kesempurnaan merupakan pokok pikiran dalam paham ini.
Pendekatan Al-Farabi terhadap "kota ideal" dan pentingnya persetujuan masyarakat terhadap pemimpinnya menunjukkan pengertiannya akan hubungan antara kebijaksanaan intelektual masyarakat dengan kesuksesan politik. Pemimpin yang bijaksana menurut Al-Farabi adalah kombinasi dari filsuf rasional dan figur kenabian, yang mampu menghubungkan kekuatan intelektual dan imajinatif dengan kebenaran dan prediksi masa depan.
Dalam konteks ini, Mahdisme dianggap sebagai gagasan filosofis superior karena berkaitan langsung dengan akhir hidup manusia dan memunculkan isu-isu filosofis yang dalam. Transformasi gagasan ini dari sekadar ide menjadi keyakinan kuat menunjukkan kedalaman dan kekuatan pikiran manusia.
Pengertian tentang kegaiban juga penting dalam konteks tersebut. Meskipun beberapa mazhab memandangnya sebagai sesuatu yang misterius atau mitis, dalam perspektif ajaran Ahlul Bait Nabi, kegaiban telah terbebas dari konotasi negatif dan diterima sebagai salah satu prinsip keyakinan yang rasional.
Dengan demikian, penyelidikan tentang Mahdisme dan kegaiban tidak hanya terbatas pada ranah doktrinal, melainkan juga harus dipahami dalam kerangka filsafat untuk memperoleh wawasan yang lebih dalam tentang akar pemikiran dan keyakinan tentang masa depan dan penyelesaian eksistensi manusia.