Berhati-Hati Terhadap Fatamorgana Dunia: Renungan atas Nasihat Imam Ali a.s.
Dalam sebuah surat yang penuh hikmah kepada Salman Farisi, Sang Pembuka Gerbang Ilmu, Imam Ali bin Abi Thalib a.s., mengukir peringatan yang menggugah hati: “Amma ba’du, ketahuilah bahwa perumpamaan dunia ibarat seekor ular: permukaannya lembut saat disentuh, namun bisannya mematikan. Seorang anak kecil yang polos akan terpikat oleh kelembutannya, sementara sang arif bijak menjauhkan diri, mengenal bahaya yang tersembunyi di balik pesonanya. Maka, berpalinglah dari segala kemilau yang memukau di dunia ini, sebab hanya secercah saja darinya yang setia menjadi sahabat sejatimu.”
Metafora ular dalam nasihat Imam Ali bukan sekadar kiasan, melainkan cermin hakikat dunia yang seringkali menipu. Dunia, dengan segala kemegahannya, ibarat lautan yang tenang di permukaan namun menyimpan pusaran dahsyat di dasarnya. Ia menghiasi diri dengan kilau emas, memikat dengan janji-janji palsu, dan mengikat hati dengan angan-angan yang tak berujung. Namun, di balik riuhnya pujian dan gemerlap harta, racun keserakahan, kehampaan, dan penyesalan senantiasa mengintai.
Lantas, apakah dunia lantas harus ditolak dan dimusuhi? Imam Ali a.s. menegaskan bahwa dunia adalah kendaraan suci bagi seorang Mukmin. Ia bagai kapal yang mengarungi samudra fana menuju pantai keabadian Ilahi. “Perbaikilah kendaraanmu,” sabdanya, “niscaya ia akan membawamu sampai kepada Tuhanmu.” Di sini, Sang Imam tidak mengajak kita membenci dunia, melainkan menguasainya dengan kebijaksanaan. Dunia adalah alat, bukan tujuan; sarana beramal, bukan kubangan kesombongan.
Suatu ketika, seorang lelaki mencela dunia di hadapan Imam Ali a.s. dengan nada merendahkan. Sang Imam segera meluruskan: “Dunia adalah negeri kebenaran bagi yang menempuhnya dengan jujur. Negeri keselamatan bagi yang memahami seluk-beluknya. Ia ladang bekal bagi jiwa yang arif, tempat turunnya wahyu Ilahi, dan rumah suci tempat para malaikat bersujud. Mereka yang bijak akan memetik rahmat-Nya di dunia dan menjadikannya jembatan menuju surga yang kekal.”
Dalam kata-kata ini, Imam Ali a.s. mengajak kita melihat dunia melalui dua lensa: sebagai ujian sekaligus anugerah. Dunia adalah medan tempur antara nafsu dan akal, antara ketamakan dan keikhlasan. Namun, ia juga adalah panggung pengabdian, tempat manusia mengejawantahkan nilai-nilai ilahi dalam keseharian. Barangsiapa menjadikan dunia sebagai sahabat, ia akan tersesat. Tapi barangsiapa menjadikannya sebagai teman perjalanan, dunia akan menjadi tangga menuju cahaya-Nya.[]