Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Puasa dalam Tafsir Ayatullah Makarim Shirazi: Jalan Takwa dan Kemanusiaan

1 Pendapat 05.0 / 5

Dalam tafsirnya, Ayatullah Makarim menggarisbawahi bahwa puasa bukan sekadar menahan lapar dan dahaga, tetapi adalah jalan menuju takwa—sebuah kesadaran spiritual yang mengakar dalam jiwa.

Setiap kali Ramadhan menjelang, ayat-ayat tentang puasa kembali menggema dalam perenungan kita. Alquran sendiri menyinggung puasa dengan penuh kelembutan dan kebijaksanaan, sebagaimana termaktub dalam QS. al-Baqarah [2]:183-185:

"Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa."

Namun, bagaimana sebenarnya makna terdalam dari ayat-ayat ini?

Dalam khazanah tafsir Islam, salah satu ulama besar yang memberikan perhatian serius terhadap ayat-ayat puasa adalah Ayatullah Nashir Makarim Shirazi. Nama ini tentu tidak asing bagi mereka yang akrab dengan tafsir Tafsir al-Amtsal, sebuah karya monumental yang menghadirkan makna Alquran dalam bahasa yang jernih, argumentatif, dan dekat dengan kehidupan.

Mengenal Ayatullah Makarim Shirazi dan Karya Qurani-nya

Ayatullah Nashir Makarim Shirazi lahir pada tahun 1927 di Shiraz, Iran. Sejak muda, beliau telah menonjol dalam kajian agama dan filsafat. Pendidikan agamanya dimulai di Hauzah Ilmiah Qom, salah satu pusat studi Islam Syiah terkemuka di dunia. Di sana, beliau berguru kepada ulama-ulama besar seperti Ayatullah Borujerdi dan Imam Khomeini. Kecerdasan dan ketekunannya membuatnya cepat menonjol, dan pada usia yang relatif muda, beliau sudah diakui sebagai seorang mujtahid (ahli hukum Islam). Karya-karyanya sangat luas, mencakup berbagai bidang seperti tafsir, akidah, hingga kajian sosial keislaman.

Salah satu karyanya yang paling berpengaruh adalah Tafsir al-Amtsal, sebuah tafsir Alquran yang tidak hanya berbasis keilmuan tradisional tetapi juga berusaha menjawab tantangan zaman modern. Dengan pendekatan rasional dan kontekstual, Ayatullah Makarim Shirazi membawa pembaca memahami Alquran tidak sekadar sebagai kitab wahyu, tetapi juga sebagai pedoman hidup yang dinamis.

Puasa: Jalan Takwa dan Kemanusiaan

Saat membahas ayat tentang puasa, Ayatullah Makarim Shirazi menyoroti QS. al-Baqarah [2]:183:

"Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertakwa."

Dalam tafsirnya, beliau menggarisbawahi bahwa puasa bukan sekadar menahan lapar dan dahaga, tetapi adalah jalan menuju takwa—sebuah kesadaran spiritual yang mengakar dalam jiwa. Takwa, dalam pemaknaan beliau, bukanlah ketakutan yang membelenggu, melainkan kesadaran batin yang membuat manusia lebih dekat kepada Allah dan lebih peka terhadap sesama.

Sebagaimana manusia membutuhkan latihan fisik untuk menjaga kesehatan, jiwa juga memerlukan latihan untuk mencapai kesempurnaan. Dan puasa adalah salah satu bentuk latihan itu. Dalam kondisi lapar dan haus, manusia belajar tentang kesabaran, pengendalian diri dan yang lebih penting kepedulian sosial terhadap mereka yang kurang beruntung.

Puasa: Cahaya di Tengah Kegelapan

Ayatullah Makarim Shirazi juga memberikan perhatian khusus kepada QS. al-Baqarah [2]:185:

"Bulan Ramadhan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Alquran, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (antara yang hak dan yang batil)..."

Beliau menafsirkan bahwa ada hubungan erat antara puasa dan Alquran. Bukan kebetulan bahwa Alquran diturunkan di bulan Ramadhan. Sebagaimana tubuh berpuasa dari makanan, jiwa juga harus berpuasa dari kesia-siaan, agar dapat menangkap cahaya wahyu dengan lebih jernih.

Dalam keadaan perut kosong, manusia lebih mampu merasakan kehadiran Allah, lebih mudah merenungi ayat-ayat-Nya, dan lebih tajam dalam membedakan yang hak dari yang batil. Dengan kata lain, puasa adalah sarana untuk memperkuat hubungan manusia dengan wahyu, sekaligus menguatkan kepekaan sosialnya terhadap ketidakadilan.

Puasa dan Kesetaraan Kemanusiaan

Dalam tafsirnya, Ayatullah Makarim Shirazi juga menyoroti aspek sosial puasa. Ia mengingatkan bahwa puasa bukan hanya ibadah individual, melainkan juga memiliki dimensi kolektif. Dalam puasa, seorang raja dan rakyat jelata merasakan lapar yang sama. Seorang kaya dan miskin menahan haus yang sama.

Puasa, dengan demikian, adalah simbol kesetaraan manusia. Di hadapan Allah, tidak ada perbedaan berdasarkan status sosial. Yang membedakan hanyalah ketakwaan, sebagaimana ditegaskan dalam QS. al-Hujurat [49]:13.

Menjalani Puasa dengan Kesadaran Baru

Dari pemaparan Ayatullah Makarim Shirazi, kita belajar bahwa puasa bukan sekadar ritual tahunan, tetapi sebuah perjalanan spiritual yang mendalam. Ia adalah sarana untuk membentuk jiwa yang lebih bertakwa, lebih sadar akan nilai-nilai kemanusiaan, dan lebih peka terhadap wahyu.

Ketika kita berpuasa, marilah kita melihatnya tidak hanya sebagai kewajiban, tetapi juga sebagai kesempatan untuk menjadi manusia yang lebih baik—bukan hanya bagi diri sendiri, tetapi juga bagi sesama. Sebab, sebagaimana dikatakan oleh Ayatullah Makarim Shirazi, "Puasa bukan sekedar menahan lapar, tetapi menyalakan cahaya dalam jiwa, memperkuat kehendak dan semakin mendekati derajat kemanusiaan yang luhur."

Sumber bacaan: Makarim, Shirazi, Nashir. Tafsir al-Amtsal. Jilid 1.