"FANTASI TEOLOGIS"
Ketika indera menangkap sebuah benda, maka pastilah ia menjadi objek bendawi yang konkret, personal dan khas.
Benda itu tak bernama. Dengan kata lain, indera hanya menangkap sosoknya dan sifat-sifat khas yang membentuknya, seperti ukurannya, warnanya, aromanya, bunyinya dan sebagainya. Indera tak menangkap nama benda itu.
Pada tahap ini semua yang berindera seperti kucing dan Agus (kecuali yang sakit) mampu menangkap benda itu sebagai objek atau sesuatu di luar dirinya.
Benda yang diindrakan itu adalah fakta objektif atau objek faktual yang terkoneksi dengan subjek pengindera, bukan gambarnya. Inilah yang disebut realitas bendawi atau fakta terinderakan. Buah dari penginderaan subjek pengindera terhadap objek terinderakan itu adalah pengetahuan. Dengan kata lain, mengetahui sebuah benda melalui indera berarti terkoneksinya pengindera dengan terindera berupa gambaran khas dalam dirinya.
Setelah penginderaan terjadi, Agus melakukan abstraksi atau melucuti sifat-sifat khas dan personal fakta terinderakan itu lalu membuatnya menjadi konsep partikula atau objek terpilkirkan yang impersonal atau telanjang dari sifat-sifat khasnya dan efek-efek konkretnya.
Objek nir sifat-sifat personal atau impersonal itu diberi nama umum "apa" atau "ke-apa-an (esensi atau quiditas) dibagi oleh akal menjadi dua bagian, yaitu batang penyandang (disebut jauhar atau substansi) dan sifat-sifat umum yang disandangnya (disebut aksiden), seperti bentuk umum dan fungsinya. Akibat pelucutan dan pembelahan ini, objek terpikirkan itu menjadi konsep universal (yang berlaku atas semua benda khas itu dan semua benda yang sama ke-apa-annya dengan benda lain).
Setelah mengolah objek terpahami menjadi gambaran universal, subjek mengungkapnya secara lisan dan tulisan dengan sebuah kata atau nama umum tertentu sebagai simbol dari konsep universal benda itu, gelas, misalnya.
Proses penginderaan yang dilanjutkan dengan pemguniversalan atau peng-apa-an dan penamaan umum ini berulang terus terhadap aneka benda khas.
Mayoritas manusia meyakini bahwa apapun yang bisa dinderakan dan bisa diapakan sebagai konsep universal atau apa adalah realitas atau fakta, sedangkan yang tak tertangkap dengan indera dan -karenanya- tak terapakan bukanlah realitas alias tiada. Nama apapun yang diberikan atas sesuatu yang tak terinderakan dan tak terkonsepkan sebagai apa adalah buah delusi.
Menurut mereka, kata Tuhan yang ditetapkan oleh pengguna bahasa Indonesia atau God oleh pengguna bahasa Inggris bagi sesuatu yang tak tertangkap dengan indera dan tak ternalarkan dengan akal, adalah kata tak bermakna yang diyakini tanpa nalar akibat ketelanjuran atau tergesa-gesa membangu. kepercayaan dari penamaan sebelum penginderaan terhadap fakta objektifnya dan sebelum penguniversalannya.
Bersambung