Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Bisakah Filsafat (Islam) Sebagai Way Of Life? (2)

0 Pendapat 00.0 / 5

Dari London kita ke Roma, kota antik yang pernah menjadi ibu kota Kekaisaran Romawi. Roma akan menjatuhkan hukuman kepada filsuf Giordano Bruno—satu-satunya filsuf yang diekskomunikasi oleh tiga mazhab besar dalam Kristianitas: Roman Katholik, Calvinis, dan Lutheran. Kongregasi Tahta Suci, the Congregation of the Holy Office, pada 21 Desember 1599 meminta Bruno untuk bertobat dari bidat-bidat (baca: pandangan falsafi) yang dianutnya. Kepada inquisitor-nya, dengan tegas ia menyatakan bahwa ia tidak perlu dan tidak ingin bertobat, bahwa tidak ada yang harus ia tobati, bahwa ia tidak punya pandangan yang harus ditobati, dan ia tidak tahu mengapa ia harus bertobat. Maka pada dini hari yang dingin, 17 Februari 1600, pengikut pandangan heliosentris ini dibawa ke Campo de’ Fiori. Sepotong logam ditusukkan ke mulutnya. Ditelanjangi, diikatkan pada tiang; dan dengan iringan lagu yang mengantarkan pemotongan leher St. John, ia dibakar hidup-hidup.

Coba renungkan! Jika filsafat cuma omong kosong dari orang-orang yang tidak ada kerjaan, jika filsafat tidak ada hubungannya dengan kehidupan sehari-hari, mengapa kota-kota peradaban dunia menghukum para filsuf? Bagi tukang perahu, kemampuan berenang dapat menyelamatkannya dari kematian. Bagi jutaan umat manusia, filsafatlah yang memberikan pencerahan tentang bagaimana menghadapi kematian. Tukang perahu benar. Berenang dapat menyelamatkan kita dari gelombang sungai, tetapi filsafat membantu kita mengarungi gelombang kehidupan.

Socrates sekarang lebih banyak diikuti dan dijadikan teladan ketimbang Arsitophanes. Jika umat Kristiani mencontoh Kristus yang bersabar memikul tiang salib ke Bukit Golgotha, para Socratis melihat kepada Socrates dalam menghadapi kematian. Yang pertama disebut berpegang pada agama. Yang terakhir pada filsafat. Agama dan filsafat, kedua-duanya berguna untuk menghadapi hari-hari kita yang gelap.

Filsafat pernah menyapu air mata seorang napi korban fitnah dan memberikan cahaya baginya dalam gelap kehidupannya. Napi itu Anicius Manlius Severinus Boethius, seorang senator, pejabat tinggi, negarawan, juga filsuf. la orang baik yang terkenal pintar dan bijak, dengan seabrek sukses. Nasib kemudian menjebloskannya ke penjara pengap di Pavia, Italia. Ia dituduh pengkhianat oleh para pendengkinya. Kaisar Theodoric menetapkan hukuman mati baginya. Tentu karena dia kaisar, tidak diperlukan bukti untuk itu. Antara masuk penjara dan jatuhnya hukuman mati ada waktu tenggang.

Dalam kegelapan, kepengapan, dan kesunyian penjara, ia menuliskan penderitaannya. Ia merasa nasib telah memperlakukannya tidak adil. Mengapa orang jahat dimenangkan dan orang baik dikalahkan? Secara mengejutkan, muncul seorang perempuan yang sangat berwibawa dan anggun. Ia duduk di ujung ranjang Boethius, menatapnya dengan iba. “Sekarang waktunya untuk menyembuhkan, bukan mengeluhkan,” kata dewi yang sangat memesona itu, yang turun tiba-tiba dari angkasa. “Bukankah kamu laki-laki yang mereguk susu pengajaranku dan tumbuh besar dengan makananku? Aku berikan padamu senjata untuk melindungimu dan membuat kamu tetap kokoh, tetapi senjata itu sekarang kamu lem-parkan?” lanjut sang Dewi. la melipat kain panjangnya dan mengusap air mata yang memenuhi pelupuk Boethius.

“Ia buyarkan awan deritaku dan dalam cahayanya aku tenggelamkan diriku. Aku mencoba mengingat muka dokterku itu. Aku pusatkan perhatianku kepadanya. Aku lihat, dialah perawatku yang di rumahnya aku telah dipelihara sejak masa mudaku—filsafat. Dewi Filsafat!” begitu cerita Boethius dalam bukunya yang ditulis 1.500 tahun yang lalu, De Consolationi Philosophiae. Buku ini telah diterjemahkan kepada berbagai bahasa. Telah dikomentari dan komentarnya dikomentari lagi. Menjadi bacaan populer bagi peminat sastra Latin klasik. Metriks-metriks puisinya sangat indah sehingga sebagian orang menganggapnya sebagai buku liturgi (buku doa). Consolatio, nama buku itu, sebetulnya merujuk pada genre sastrawi yang sudah kuno, cabang diatrib dalam berargumentasi falsafi. Dalam diatrib, penulis beragumentasi dengan tokoh imajiner (Dewi Filsafat, misalnya). Semua mazhab filsafat menggunakannya.

Boethius berjasa menerjemahkan banyak buku filsafat Yunani ke bahasa Latin. Ia menjadi jembatan penghubung filsafat klasik dengan filsafat abad pertengahan. Ia memengaruhi banyak filsuf sesudah kematiannya. Boethius kita kenang kembali untuk menjawab pertanyaan tukang perahu itu. Filsafat tidak bisa menyelamatkan kita dari kematian, tetapi filsafat dapat memberikan penghiburan di saat-saat kita mendekati kematian. “Setiap tarikan napas kita,” kata Imam Ali, “adalah satu ayunan langkah kita menuju kematian”. Jadi, selama bernapas—terutama pada waktu napas terasa sesak—kita memerlukan kunjungan Dewi Filsafat.

Jadi, bisakah filsafat menjadi way of life? Plato dan Diogenes mewakili dua aliran besar dalam filsafat. Plato melihat filsafat sebagai latihan intelektual untuk memahami objek filsafat. Pada zaman modern, ajaran Plato itu mencapai puncaknya, filsafat analitis (juga sebagian filsafat kontinental). Filsafat menjadi spesialisasi akademis yang jauh dari kehidupan nyata. Meski tidak persis seperti Diogenes, sekarang ada upaya global untuk mengembalikan filsafat sebagai way of life. Filsafat dibahas dalam relevansinya untuk mencari solusi masalah-masalah kemanusiaan. Filsafat dirujuk untuk mencari makna hidup, mengejar kebahagiaan, melepaskan ketakutan, menentukan pilihan antara baik dan buruk.

Hanya dengan mengembalikan filsafat kepada akarnya, filsafat dapat menjadi way of life. la philosophie comme mode de vie. Bukan sekadar discourse philosophique, wacana falsafi.

Lalu, kapan persisnya filsafat dapat menjadi way of life? Seperti terbaca dari judul buku ini: “Filsafat sebagai Way of Life: Kekuatan Memaknai dan Memaafkan dalam Menjalani Kehidupan,” filsafat dapat menjadi way of life ketika ia menjadi kekuatan yang sanggup memaknai kehidupan seraya menebarkan pemaafan.