Bekal Perjalanan Akhirat
Dalam tradisi spiritual Islam, para Imam Ahlul Bait a.s. dikenal sebagai mata air hikmah dan pemandu umat dalam memahami hakikat kehidupan. Salah satu momen penting yang sarat makna adalah nasihat yang disampaikan Imam Hasan al-Mujtaba a.s. kepada sahabatnya, Junadah ibn Abi Umayyah, saat beliau terbaring sakit menjelang wafat.
Nasihat pertama yang diucapkannya dengan kelembutan dan ketegasan spiritual adalah:
“Bersiaplah untuk perjalananmu dan carilah bekal untuk perjalanan itu sebelum tibanya ajal.”
Ungkapan ini mengandung makna yang sangat dalam. Imam Hasan a.s. tidak sekadar memberi wejangan kematian, tetapi mengingatkan bahwa kehidupan dunia ini hanyalah satu tahap dari perjalanan panjang manusia. Perjalanan itu bukan sekadar perpindahan fisik dari alam dunia ke alam barzakh dan akhirat, melainkan perpindahan eksistensial yang memerlukan kesiapan ruhani, intelektual, dan moral.
Perjalanan menuju akhirat adalah perjalanan yang tidak diketahui kapan akan dimulai, namun pasti akan dilalui oleh setiap manusia. Karena itulah, bekal menjadi keharusan. Namun bekal yang dimaksud bukanlah harta, kedudukan, atau kemasyhuran, melainkan amal saleh, keikhlasan, akhlak mulia, dan hati yang jernih. Imam Hasan a.s. menekankan bahwa kesiapan menghadapi kematian bukan terletak pada pengetahuan tentang ajal, tetapi pada kesungguhan dalam menata hidup yang bermakna.
Riwayat lain menguatkan pesan tersebut. Diceritakan bahwa Imam Ali a.s., ayah dari Imam Hasan a.s., kerap kali menangis di malam hari saat semua manusia terlelap. Suara tangisnya begitu menggetarkan, hingga terdengar oleh orang-orang yang tinggal di sekitar masjid Kufah. Tangis beliau bukan karena penderitaan duniawi, melainkan karena kesadaran mendalam akan beratnya perjalanan akhirat.
Salah satu ucapannya yang paling menggugah adalah:
“Bersiaplah dan persiapkanlah, sesungguhnya engkau telah dipanggil untuk melakukan perjalanan.”
Imam Ali a.s. menggambarkan bahwa dunia bukanlah tempat tinggal abadi, melainkan tempat singgah sementara. Imam menyerukan agar manusia tidak tertipu oleh gemerlap dunia, karena di hadapan mereka terdapat perjalanan yang jauh lebih sulit, berliku-liku, penuh ujian, dan tidak seorang pun mampu menghindarinya.
Dalam pandangan para Imam a.s., kematian bukanlah akhir, tetapi awal dari kehidupan yang hakiki. Karenanya, hidup di dunia harus dijalani dengan orientasi akhirat. Hal ini selaras dengan firman Allah SWT dalam Al-Qur’an:
“Dan hendaklah setiap jiwa memperhatikan apa yang telah dia persiapkan untuk hari esok.”
(QS. Al-Hasyr [59]: 18)
Menimbang Hakikat Bekal
Apa yang dimaksud dengan bekal itu? Dalam banyak riwayat dan ayat, bekal terbaik yang disebutkan adalah takwa, kesadaran mendalam akan kehadiran Allah yang membentuk seluruh laku dan niat. Bekal lain yang turut menyertainya adalah amal saleh yang dilakukan dengan ikhlas, ilmu yang diamalkan, sedekah yang bermanfaat, dan warisan kebaikan yang terus mengalir pahalanya.
Namun lebih dari itu, bekal juga berarti kesiapan mental untuk menghadapi kematian kapan saja. Ini bukan soal hidup dalam ketakutan, melainkan hidup dalam kesadaran. Orang yang sadar akan keterbatasan waktu hidup akan lebih bijak dalam memilih prioritas, dalam membangun relasi, dan dalam menata ibadah. []