Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Bagaimana Masyarakat Indonesia Tetap Setia pada Warisan Evolusi Rasa (2)

0 Pendapat 00.0 / 5

Peran Perlindungan dari Penolakan Rasa Pahit

Jika manusia secara naluriah mencari rasa manis, mereka juga diprogram untuk menghindari rasa pahit. Penolakan ini berfungsi sebagai mekanisme perlindungan terhadap zat beracun yang mungkin ditemukan di alam. Bayi baru lahir secara instingtif meringis atau menolak larutan pahit, menunjukkan bahwa respons ini tertanam dalam biologi kita (Drewnowski et al., 1989).

Meskipun beberapa budaya telah belajar mentoleransi atau bahkan menikmati rasa pahit—seperti kopi, cokelat hitam atau sayuran pahit seperti kale—masyarakat Indonesia sebagian besar tetap setia pada naluri evolusioner mereka. Makanan dan minuman yang terlalu pahit jarang ditemukan dalam diet tradisional Indonesia. Sebaliknya, bahan-bahan seperti asam jawa, jeruk nipis atau cabai pedas memberikan rasa segar tanpa melampaui ke pahitan yang tidak menyenangkan. Demikian pula, popularitas rokok manis mencerminkan penolakan terhadap profil pahit yang disukai di pasar Barat atau Timur Tengah. Dengan memilih alternatif yang lebih manis, orang Indonesia secara tidak sadar sejalan dengan prinsip evolusi untuk menghindari zat berbahaya.

Menentang Pengaruh Lingkungan

Beberapa orang mungkin berargumen bahwa preferensi rasa sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan, seperti iklan, tekanan sosial atau norma budaya. Secara global, industri tembakau telah memanfaatkan pengaruh-pengaruh ini, mempromosikan rokok dengan rasa pahit sebagai simbol kesopanan atau pemberontakan. Namun, meskipun pengaruh perusahaan tembakau multinasional begitu luas, orang Indonesia tetap menolak tren rokok pahit. Preferensi mereka terhadap rokok yang lebih manis menunjukkan kekuatan preferensi rasa evolusioner atas pengaruh lingkungan.

Keteguhan ini menunjukkan betapa kuatnya dorongan biologis yang diwariskan. Meskipun kekuatan eksternal membentuk perilaku di banyak masyarakat, orang Indonesia menunjukkan bagaimana naluri evolusioner yang mendalam dapat bertahan bahkan di tengah tekanan globalisasi. Baik itu menikmati semangkuk bakso yang diberi kecap manis atau menyalakan rokok kretek beraroma cengkeh, orang Indonesia terus menghormati selera yang dulunya menjamin kelangsungan hidup nenek moyang mereka.

Warisan Budaya yang Berakar pada Kelangsungan Hidup

Kecintaan masyarakat Indonesia terhadap rasa manis dan penolakan terhadap rasa pahit lebih dari sekadar refleksi selera pribadi—ini adalah bukti warisan abadi evolusi. Preferensi ini mengingatkan kita bahwa tubuh kita adalah instrumen halus yang dirancang untuk menghadapi tantangan bertahan hidup. Dengan tetap setia pada naluri kuno ini, orang Indonesia mempertahankan hubungan dengan masa lalu mereka sambil menavigasi kompleksitas kehidupan modern.

Saat dunia semakin bergerak menuju keseragaman dalam pilihan makanan dan gaya hidup, Indonesia menonjol sebagai budaya yang tetap setia pada akar evolusionernya. Baik melalui kelezatan manis masakan mereka atau daya tarik aromatik rokok mereka, orang Indonesia membuktikan bahwa kadang-kadang, naluri tertua adalah yang paling layak diikuti.

Di tengah arus globalisasi yang semakin deras, masyarakat Indonesia tetap teguh pada warisan evolusi rasanya. Preferensi terhadap rasa manis dan penolakan terhadap rasa pahit bukan hanya soal selera, tetapi juga cerminan dari naluri bertahan hidup yang telah diwariskan selama ribuan tahun. Namun, pertanyaannya adalah: bagaimana kita bisa mempertahankan warisan ini di era modern yang serba cepat? Mungkin jawabannya terletak pada upaya kolektif kita untuk terus melestarikan budaya kuliner, mendidik generasi muda tentang nilai-nilai tradisional dan menghargai kekayaan rasa yang menjadi identitas bangsa. Dengan demikian, kita tidak hanya menghormati leluhur, tetapi juga menyiapkan fondasi bagi masa depan yang lebih berwarna.