Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Peran Agama Dalam Masyarakat (1)

0 Pendapat 00.0 / 5

“Religion, in welcher Form sie auftritt, bleibt das ideale Bedürfnis der Menschheit.”

—Anselm von Feuerbach

Anselm von Feuerbach, yang ucapannya saya kutip di atas, adalah ahli hukum terkenal. “Agama, dalam bentuk apa pun dia muncul,” begitu katanya, tetap merupakan kebutuhan ideal umat manusia.” Buat Feuerbach, peran agama menentukan dalam setiap bidang kehidupan. Manusia, tanpa agama, tidak dapat hidup sempurna. Anselm mempunyai anak yang cerdas-Ludwig von Feuerbach. Seperti memperkukuh kesenjangan antar generasi, Ludwig von Feuerbach tersohor sebagai filsuf materialis yang mempersetankan agama. “Der Mensch ist was er iszst” adalah ucapannya yang sering dikutip. Manusia adalah apa yang ia makan. Makanan menentukan kehidupan manusia; termasuk kehidupan beragamanya.

Dua Feuerbach yang saya ceritakan di atas melukiskan dua perspektif tentang agama. Feuerbach tua berkata bahwa agama berperan dan menentukan dinamika pembangunan. Sebagian orang mungkin keberatan dengan hal ini: agama sama sekali tidak punya peran apa-apa dalam pembangunan. Kalaupun ada, perannya kecil dibandingkan dengan kenaikan GNP dan pendapatan perkapita. Pendapat ini sejalan dengan Feuerbach junior. Saya sendiri mendukung keduanya: Agama bisa berperan dan tidak berperan, bergantung pada Anda; bergantung pada peran yang Anda berikan bagi agama; bergantung pada bagaimana Anda memandang agama.

Saya akan menyampaikan dua perspektif ini—perspektif idealistik dan perspektif materialistik. Kemudian, dengan pengetahuan saya yang awam, saya akan mencoba menampilkan perspektif Islam. Tetapi sebelum sampai ke situ, saya terlebih dahulu akan menjelaskan apa yang terkandung dalam pengertian agama.

Dimensi-Dimensi Agama

Kita sering berbincang tentang agama, dan berakhir dengan perbedaan yang meruncing hanya karena masing-masing memandang agama dari dimensi-dimensi yang berbeda. Satu pihak memandang bahwa kesadaran sedang bangkit, karena melihat pengunjung masjid yang melimpah dan peringatan keagamaan yang meriah. Pihak yang lain menunjukkan mundurnya perasaan beragama dengan meningkatnya tindakan kriminal, perilaku antisosial, dan kemerosotan moral. Kedua pihak tidak akan bertemu, sebelum ditunjukkan kepada mereka bahwa agama yang mereka bicarakan tidaklah sama. Pihak pertama membicarakan agama dalam dimensi ritual, pihak kedua dalam dimensi sosial.

Peneliti sosial pun sering bertengkar ketika mengukur gejala agama, karena masing-masing menggunakan indikator yang berlainan. Ada penelitian yang mencoba meneliti pengaruh agama terhadap kesehatan mental. Ditemukan bahwa tidak ada perbedaan signifikan antara orang yang beragama dan orang yang tak beragama dalam hal kesehatan mental. Jumlah penderita penyakit mental kedua kelompok itu hampir sama. Pokoknya, bohonglah orang yang mengatakan bahwa agama menyebabkan orang lebih tabah, lebih tenteram, dan lebih tahan dalam menghadapi guncangan hidup. Gordon W. Allport, seorang psikolog sosial terkenal, keberatan dengan kesimpulan ini. Mereka salah mengukur, kata Allport. Perasaan keagamaan tidak dapat diukur dengan menanyakan berapa kali mereka datang ke gereja. Keagamaan (religiosity) harus diukur dengan a comprehensive commitment (keterlibatan yang menyeluruh) dalam seluruh ajaran agama. Peneliti pertama menggunakan dimensi ritual. Allport melihat agama dalam dimensi sosial.

Setiap agama, paling tidak, terdiri atas lima dimensi: ritual, mistikal, ideologikal, intelektual, dan sosial.’ Dimensi ritual berkenaan dengan upacara-upacara keagamaan, ritus-ritus religius, seperti shalat, misa, atau kebaktian. Dimensi mistikal menunjukkan pengalaman keagamaan yang meliputi paling sedikit empat aspek: concern, cognition, trust, dan fear. Keinginan untuk mencari makna hidup, kesadaran akan kehadiran Yang Mahakuasa, tawakal, dan takwa adalah dimensi mistikal. Dimensi ideologikal mengacu pada serangkaian kepercayaan yang menjelaskan eksistensi manusia vis-a-vis Tuhan dan makhluk Tuhan yang lain. Pada dimensi inilah, misalnya, orang Islam memandang manusia sebagai khalifatullah fi al-ardh, dan orang Islam dipandang mengemban tugas luhur untuk mewujudkan amar Allah di bumi. Dimensi intelektual menunjukkan tingkat pemahaman orang terhadap doktrin-doktrin agamanya—kedalamannya tentang ajaran-ajaran agama yang dipeluknya. Dimensi sosial—disebut Glock dan Stark sebagai consequential dimensions—adalah manifestasi ajaran agama dalam kehidupan bermasyarakat. Ini meliputi seluruh perilaku yang didefinisikan oleh agama.

Semua agama mempunyai dimensi-dimensi di atas, walaupun titik beratnya berlainan. Pada satu agama saja terdapat penonjolan yang berbeda untuk dimensi-dimensi tertentu. Di kalangan Islam, misalnya, ada yang menonjolkan dimensi ritual. Orang-orang ini umumnya sibuk membicarakan Sunnah dan bid’ah pada gerakan-gerakan shalat, tetapi tidak peka terhadap masalah-masalah sosial. Kalau saya tidak salah lihat, Katolik mempunyai titik berat dimensi ritual yang lebih banyak daripada Protestan. Secara keseluruhan, menurut Edward Mortimer dalam Islam and Power, Islam lebih banyak menekankan dimensi sosial ketimbang dimensi ritual, sehingga Mortimer melihat Islam sebagai a political culture. Kita akan membicarakan lebih lanjut dimensi-sosial agama Islam ini pada akhir tulisan ini. Marilah kita lihat bagaimana peran agama dalam masyarakat yang membangun, menurut dua perspektif. Tanpa berlarut-larut dalam uraian semantik, saya akan membatasi pengertian masyarakat yang membangun sebagai masyarakat yang meningkatkan kualitas hidupnya sesuai dengan kerangka nilai (value judgement) tertentu.

Peran Agama menurut Perspektif Idealistik dan Materialistik

Membagi pandangan tentang agama menjadi dua perspektif saja sebenarnya menyederhanakan persoalan. Berbagai aliran pemikiran, sebenarnya, terletak di antara dua ekstrem ini. Beberapa di antaranya bahkan merupakan gabungan keduanya. Marxisme, misalnya, dekat dengan perspektif materialistik, walaupun ia tidak mengabaikan peran gagasan dalam menimbulkan perubahan sosial. Gagasan adalah penting, tetapi pada akhirnya, faktor penentu sejarah umat manusia adalah materi. Alfred North Whitehead (1933), sebaliknya, memandang bahwa gagasanlah yang paling menentukan walaupun praktik-praktik kehidupan juga penting. Roger T. Bell, yang meneliti masyarakat Jamaika, boleh dibilang sebagai pengikut paham campuran. Di Jamaika, perubahan gagasan dan materi saling berinteraksi dan menimbulkan perubahan sosial.

Bersambung...