Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Taqiah Imam Ridha a.s,: Akal dan Hati Menjadi Pilar Jalan Ilahi

0 Pendapat 00.0 / 5

Syiah berdiri di atas dua fondasi agung: akal dan hati, logika dan emosi. Keduanya bukan untuk dipisahkan, melainkan dibangun dan dijalani secara seimbang. Tanpa akal, iman akan tersesat dalam fanatisme buta; tanpa hati, keyakinan menjadi kering dan mati rasa. Dalam agama yang sempurna ini, keduanya harus berpadu.

Kemuliaan Sayyidah Fatimah Az-Zahra ‘alayhas-salam telah dikenal oleh kaum muslimin sejak awal Islam hingga kini. Gelar “Sayyidatun Nisa al-‘Alamin, Badh’atun Nabiyy“, dan sabda Rasulullah “Man aghdhabaha faqad aghdhabani” adalah bukti keagungan beliau. Namun, kenyataannya, ketika Az-Zahra as mengetuk pintu-pintu kaum muslimin demi membela hak suaminya, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as, banyak yang justru menutup pintu-pintu itu. Tidak semua hati tersambung dengan cinta sejati kepada Az-Zahra as.

Siapa yang tidak mengenal kemuliaan Imam Ali as? Beliau adalah gerbang ilmu Nabi, sang pemberani dalam setiap medan pertempuran. Dalam Perang Khandaq, ketika tantangan Amr bin Abd Wudd membuat para kepala menunduk, hanya kepala beliau yang terangkat, menjawab tantangan demi menjaga agama. Namun, dalam Perang Shiffin, ketika musuh mengangkat mushaf demi menipu pasukan Imam, suara kebenaran beliau tenggelam oleh saran Abu Musa al-Asy’ari. Kaum muslimin lebih memilih tipu daya musuh daripada mendengar pemimpin petunjuk.

Imam Husain as pun menerima ratusan ribu surat dukungan dari Kufah, karena mereka mengenali maqam sucinya. Namun akhirnya mereka mengkhianatinya dan membiarkannya syahid dalam kesendirian.

Semua ini menunjukkan bahwa makrifat akal tanpa koneksi emosional tidak cukup. Ziarah dan doa menjadi sarana penting untuk membangun koneksi ini.

Sebagian doa ziarah menyuarakan makrifat rasional, seperti:

السَّلَامُ عَلَيْكُمْ يَا أَهْلَ بَيْتِ النُّبُوَّةِ، وَمَوْضِعَ الرِّسَالَةِ، وَمُخْتَلَفَ الْمَلَائِكَةِ، وَمَهْبِطَ الْوَحْيِ…

Dan sebagian lainnya membangun relasi hati yang mendalam, seperti:

السَّلَامُ عَلَيْكَ يَا وَلِيَّ اللَّهِ، السَّلَامُ عَلَيْكَ يَا حُجَّةَ اللَّهِ، السَّلَامُ عَلَيْكَ يَا نُورَ اللَّهِ…

Salam yang diulang-ulang adalah gema rindu, seolah penziarah berharap jawaban cinta dari yang diziarahi.

Sebagaimana Nabi Musa as yang menjawab panjang atas pertanyaan Allah:

وَمَا تِلْكَ بِيَمِينِكَ يَا مُوسَىٰ
قَالَ هِيَ عَصَايَ أَتَوَكَّأُ عَلَيْهَا وَأَهُشُّ بِهَا عَلَىٰ غَنَمِي وَلِيَ فِيهَا مَآرِبُ أُخْرَىٰ

“Dan apakah yang itu yang di tangan kananmu, wahai Musa?”

Dia (Musa) menjawab, “Ini adalah tongkatku; aku bersandar padanya, dan aku pukul daun-daun dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi manfaat-manfaat lain padanya.”

Karena begitu nikmatnya berdialog dengan Sang Kekasih, beliau tak ingin segera menyudahi.[]