Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Ruh, Kematian dan Peran Signifikan Amal Manusia (2)

0 Pendapat 00.0 / 5

Amal saleh sebagai sarana pertumbuhan dan penyucian ruh. Imam Ali bin Abi Thalib as berkata, “Amal saleh akan mengangkat ruh menuju ketinggian.” (Ghurar al-Hikam, hadis 10672). Semnetara Imam Shadiq as mengatakan: “Sesungguhnya ruh menjadi bercahaya karena ketaatan kepada Allah, dan menjadi gelap karena maksiat.” (Bihar al-Anwar, jilid 67, hal. 243).

Amal saleh menyertai ruh di saat kematian ketika ruh berpisah dari jasad, amal perbuatan manusia tidak ditinggalkan, bahkan akan menyertainya. Imam Shadiq as berkata: “Siapa yang ingin diringankan sakaratul maut-nya, hendaknya ia menyambung silaturahmi dan berbuat baik dalam hidupnya.” (Al-Kafi, jilid 2, hal. 100). Imam al-Baqir as berkata: “Ketika seorang mukmin wafat, amalnya akan menjelma dalam rupa yang indah dan masuk bersamanya ke dalam kubur.” (Tafsir Qummi, tafsir ayat 27 surat Ibrahim) dan Imam Shadiq as berkata: “Amal saleh akan menjadi teman bagi manusia di dalam kuburnya, membahagiakan dan menenangkannya.” (Bihar al-Anwar, jilid 6, hal. 249)

Dalam filsafat Islam, khususnya dalam pemikiran para filsuf seperti Ibnu Sina dan Mulla Shadra, ruh didefinisikan sebagai substansi non-material dan independen dari materi. Ibnu Sina menganggap ruh manusia sebagai entitas non-fisik, berdiri sendiri, dan tidak bisa binasa, yang akan terus hidup setelah terpisah dari tubuh. Ia mendefinisikan kematian sebagai pemisahan jiwa dari tubuh, bukan sebagai kehancuran jiwa. Mulla Shadra dalam filsafatnya yang dikenal sebagai hikmah muta’aliyah (hikmah transendental) dengan teori “gerak substansial” (harakah jauhariyah) percaya bahwa ruh mengalami penyempurnaan dalam perjalanan eksistensial manusia. Ia meyakini bahwa ruh pada awalnya muncul secara fisik (jismaniyah al-huduts), namun secara bertahap menjauh dari materi dan mencapai tingkat ketidakterikatan total dengan materi (tajarrud tam). Menurutnya, perbuatan manusia memainkan peran penting dalam perjalanan ini, apakah menuju penyucian atau kejatuhan. Amal baik memperkuat ketidakterikatan dan cahaya ruh, sedangkan amal buruk menyebabkan kegelapan ruh.

Ilmu teologi, yang berfokus pada penjelasan keyakinan-keyakinan agama dengan pendekatan rasional dan tekstual, memandang ruh sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang dengannya kehidupan manusia dimulai saat ia ditiupkan ke dalam tubuh. Dalam Al-Qur’an, surat Al-Isra`, ayat 85 disebutkanan: “Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: ruh itu termasuk urusan Tuhanku..”. Para teolog menganggap ruh sebagai entitas non-material, namun mereka lebih menekankan pada deskripsinya berdasarkan ayat dan hadis.

Terkait amal, para teolog menaruh perhatian besar pada prinsip keadilan ilahi. Amal manusia dicatat secara rinci dan menjadi dasar ganjaran atau hukuman di hari kiamat. Amal tersebut tidak hanya berpengaruh di dunia, tetapi juga di alam setelah kematian, yaitu alam barzakh. Keyakinan terhadap barzakh sebagai tahap antara dunia dan akhirat, di mana ruh memiliki bentuk kehidupan tersendiri, memiliki kedudukan penting dalam ilmu teologi.

Kematian dalam perspektif ilmu ini dipandang sebagai perpindahan dari dunia ke alam lain. Ruh tetap ada dan menjalani perhitungan atau memperoleh nikmat dan azab sesuai dengan amal masing-masing. Para Teolog Syiah menekankan peran syafaat dan keadilan, serta menganggap niat dan amal manusia sebagai penentu utama nasib akhiratnya.

Bersambung...