Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Ruh, Kematian dan Peran Signifikan Amal Manusia (3)

0 Pendapat 00.0 / 5

Tasawuf Islam, khususnya dalam tradisi Ibnu Arabi dan Rumi, memandang masalah ruh secara intuitif dan batiniah. Ruh, dalam pandangan sufistik, adalah hakikat ilahi dan pancaran cahaya Tuhan yang termanifestasi dalam diri manusia. Menurut para sufi, ruh manusia memiliki tingkatan dan perjalanan menuju kesempurnaan spiritual yang dapat membawanya pada kedekatan dengan Tuhan.

Amal perbuatan dalam tasawuf tidak hanya dinilai dari sisi lahiriah atau hukum fikih, melainkan juga dari niat dan kualitas batinnya. Tujuan utama seorang sufi dalam beramal adalah fana` fi Allah (melebur dalam Tuhan) dan baqa` billah (kekekalan bersama Tuhan). Amal saleh hanya dianggap efektif bila berasal dari niat yang murni dan membawa kepada penyucian jiwa. Dengan kata lain, amal perbuatan seharusnya membebaskan ruh dari keterikatan duniawi.

Kematian, dalam pandangan para sufi, bukanlah akhir dari kehidupan melainkan kembalinya ruh kepada asalnya. Bagi seorang Salik (pejalan spiritual), kematian adalah “kelahiran kedua”. Rumi dalam Masnawi mengatakan: “Jika kematian itu jantan, suruhlah ia datang padaku agar kupeluk dia erat-erat” Dari sudut pandang ini, kematian adalah sesuatu yang dicintai dan didambakan, karena ia menyingkap tirai duniawi dan mempertemukan ruh dengan Tuhan.

Ketiga perspektif tersebut sepakat mengenai ketidakterikatan ruh dan kelangsungannya setelah kematian, namun memiliki penafsiran dan penekanan yang berbeda. Filsafat menekankan rasionalitas dan perjalanan eksistensial ruh. Amal dipandang sebagai faktor dalam penyempurnaan ruh. Ilmu kalam menekankan aspek ilahiah, normatif, dan pertanggungjawaban. Ruh memikul tanggung jawab atas amal perbuatannya dan kematian adalah pintu menuju penghitungan. Tasawuf menekankan cinta Ilahi, pengalaman batin, dan kembalinya ruh ke asalnya. Kematian adalah kelahiran baru dan amal adalah sarana penyucian dan perjalanan menuju Tuhan.

Titik temu antara ketiganya adalah pengakuan terhadap eksistensi ruh sebagai entitas mandiri dan keyakinan akan pengaruh amal terhadap nasib ruh setelah kematian. Namun, perbedaan dalam memandang tujuan akhir manusia dan interpretasi atas kematian menciptakan ragam cara dalam menyikapi tiga konsep ini. Perenungan terhadap hakikat ruh, peran amal, dan makna kematian membawa manusia pada pemahaman yang lebih dalam tentang diri dan eksistensinya. Filsafat melalui akal, ilmu teologi melalui wahyu, dan tasawuf melalui intuisi hati, masing-masing menyingkap dimensi yang berbeda dari kebenaran ini. Akhirnya, penyatuan ketiga perspektif ini dapat menghasilkan pandangan yang lebih komprehensif terhadap kehidupan manusia—pandangan yang mencakup akal, iman, dan cinta secara bersamaan.


Referensi:

1. Ibnu Sina, Al-Syifa: Bagian Jiwa, disunting oleh Ibrahim Madkour, Dar al-Fikr al-Arabi, Kairo.

2. Mulla Shadra, Al-Asfar al-Arba‘ah, jilid 8, Muassasah al-Nashr al-Islami, Qom.

3. Allamah Thabathaba’i, Tafsir al-Mizan, jilid 13, Daftar Penerbitan Islami.

4. Ibnu Arabi, Al-Futuhat al-Makkiyah, disunting oleh Utsman Yahya, Dar al-Kutub al-‘Arabi, Beirut.

5. Attar Neishaburi, Mantiq al-Thayr, disunting oleh Mohammadreza Shafi‘i Kadkani, Penerbit Sukhan.